Lelaki itu masih suka memberi kabar kepada semua orang. Dengan sepeda tuanya, mendatangi setiap rumah penduduk di kampung ini. Masih sambil tersenyum kepada setiap orang, maka berita itu disampaikan kepada mereka. Namun bukan maksud hatinya, jika kemudian airmata, duka dan kecemasan menggelayut disetiap wajah-wajah itu, setelah kabar-kabar itu tersampaikan. Lelaki itu hanya melangkah gontai membawa sesal, meninggalkan pekarang rumah mereka yang kini tengah berkalang mendung dan juga hujan.
Ia berharap. Selalu berharap, bahwa kabar yang disampaikan senantiasa membawa kebahagiaan bagi semua penduduk kampung. Tapi, bukankah kehidupan selalu menjadi misteri bagi siapapun? Kecuali bagi Sang Pemilik Sekalian Alam.
Pernah disuatu waktu, dimana setiap kali dia datang ke setiap rumah penduduk, kabar yang dibawanya selalu saja menghantarkan kesedihan. Seperti kabar yang ia sampaikan kepada keluarga Bapak Saiful, dimana tersampaikan bahwa anak gadisnya yang tengah mengadu nasib-bekerja di negeri orang. Dikabarkan tengah berada dalam perawatan intensif di sebuah rumah sakit, setelah berhasil melarikan diri dari rumah majikannya. Karena selama bekerja, dirinya kerap mendapatkan siksaan dari sang majikan. Yang telah membuat hampir seluruh tubuhnya melepuh penuh luka dan koreng. Betapa hancurnya hati Pak Saiful, saat mendapat kabar yang demikian. Ia tak menyangka bahwa anak gadisnya, yang bercita-cita ingin merubah keadaan dan tarap hidup keluarganya yang miskin, malah mendapatkan musibah seperti itu.
Lalu kabar duka juga menghampiri keluarga Haji Duloh keesok harinya. Dimana Haji Duloh mendapat kabar, bahwa anak lelakinya yang tertua, yang tengah menuntut ilmu di sebuah sekolah pemerintahan di kota, telah meninggal dunia. Setelah mendapat hukuman dari para seniornya. Ditubuh anak lelaki Haji Duloh itu, penuh luka lebam dan juga tulang yang patah, setelah dihajar habis-habisan oleh para seniornya. Hancur sudah harapan Haji Duloh atas anaknya, yang memiliki cita-cita akan membangun desa-desa yang terbelakang suatu saat nanti.
Lalu kabar-kabar serupa diterima oleh hampir seluruh penduduk kampung secara bergantian. Kepada Ijah, yang mendapat kabar dari suaminya yang seorang pedagang kaki lima, bahwa lapaknya dihancurkan oleh satpol PP dan kini tengah mendekam dalam penjara. Karena suaminya Ijah sempat membuat batok kepala seorang satpol PP berlumuran darah, dihantam sebuh botol.
Kepada Emak Rasti, tentang anak gadisnya yang menderita AIDS. Karena ternyata anak gadisnya itu selama ini, bekerja sebagai pelacur selama hidup di kota. Kepada keluarga Mbah Paijo, tentang anak dan menantunya. Yang tengah berusaha meminta pertolongan kepada rumah sakit di kota, agar mereka berkenan untuk mengobati anak mereka yang mengalami kelainan pada wajahnya. Namun setelah berbulan-bulan terlantar di rumah sakit. Anak menantunya dan juga cucunya meninggal dunia, sebelum mendapatkan perawatan apapun dari rumah sakit yang mereka datangi.
Melihat semua kejadian itu, betapa sedih hati Lelaki pemberi kabar itu. Pekerjaan yang begitu ia cintai ini, ternyata lebih sering menghantarkan kesedihan dan duka di hati para penduduk, dibandingkan kabar yang membahagiakan. Tapi disaat para penduduk itu, meski mereka mendapatkan kabar duka itu, mereka selalu saja mengucapkan terima kasih yang begitu besar kepada Lelaki itu. Maka, sejenak kesedihan itu bisa terobati, hingga Lelaki itu kemudian mengerti. Betapa kabar itu harus tetap tersampaikan dalam keadaan apapun. Karena semua kabar itu selalu ditunggu dan diharapkan kedatangannya oleh para penduduk kampung.
Seperti yang terjadi pada seorang gadis bernama, Muthia, yang selama berbulan-bulan mendekati satu tahun. Kehilangan kabar dari kekasihnya yang pergi merantau meninggalkan dirinya dengan sebuah janji; bahwa kekasihnya akan segera kembali untuk kemudian melamar dirinya. Mewujudkan semua mimpi-mimpi mereka berdua dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci. Namun kabar dari sang kekasih tak kunjung datang. Sampai akhirnya Lelaki itu datang membawa kabar, tentang sebuah pernikahan yang akan segera digelar oleh kekasih Muthia, dengan gadis lain. Betapa hancur hati Muthia saat itu. Tapi bukankah hal itu lebih baik bagi kehidupan Muthia kemudian, di banding berlama-lama menunggu tak jelas berita. Dan akhirnya kemudian, beberapa bulan setelah itu, Muthia menikah dengan seorang pemuda yang juga mencintai dirinya. Hidup Muthia bahagia pada akhirnya.
Begitulah kehidupan Lelaki pemberi kabar. Semua dijalaninya, meski saat ini teknologi sudah sedemikian canggih. Namun, bagi mereka yang kehidupannya selalu terlupakan oleh pemerintah, tertinggal. Kehadiran Lelaki pemberi kabar begitu sangat berarti. Hati Lelaki itupun senantiasa bahagia menjalani tugasnya yang mulia itu, bersahabat dengan seluruh penduduk kampung yang ia datangi.
Namun, tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa, meski setiap saat Lelaki itu berkeliling kampung sebagai pemberi kabar. Tapi dalam kehidupannya, Lelaki itu sendiri tak pernah mendapatkan kabar dari orang-orang yang ia cintai. Anak-Istrinya yang telah meninggalkan dirinya bertahun-tahun yang lalu. Pada saat ia pulang ke rumah selepas tugas, dan ia mendapati rumahnya dalam keadaan kosong. Dan Lelaki itu hanya menemukan secarik kertas dari istrinya;
Maafkan aku, Pak. Aku tidak sanggup hidup terus menerus dalam kesulitan seperti ini denganmu. Mungkin Bapak bisa berbahagia dengan pekerjaan Bapak. Bisa menerima upah dari pekerjaan Bapak yang kecil itu. Tapi aku? Maafkan aku, Pak. Aku tidak bisa hidup seperti ini terus. Aku tidak sanggup, Pak.
Maafkan aku juga, yang telah lancang membawa anak-anak kita tanpa seijinmu. Karena aku tidak ingin masa depan mereka akan sama seperti kita, miskin. Aku ingin hidup mereka lebih baik dari yang sekarang.
Maafkan aku.
Wassalam
Istrimu, Lastri
Maka selama bertahun-tahun Lelaki yang selalu membawa kabar untuk semua orang itu. Ia sendiri selalu menunggu dan berharap ada kabar tersampaikan untuk dirinya, dari anak-istrinya. Hingga detik ini, harapannya tak pernah terpenuhi.
Betapa kemudian Lelaki itu semakin tahu akan arti menunggu sebuah kabar. Semangat untuk menjalani tugasnya itu semakin tinggi. Tidak pernah dia perduli akan panas terik matahari yang menyengat, atau hujan yang turun dengan deras membasahi jalan tanah menuju rumah-rumah penduduk. Tidak pernah pula dia mengeluh lelah, meski jalan-jalan yang dilewati senantiasa becek penuh lumpur, penuh dengan batu-batu yang menghalangi laju sepedanya, jalan yang menanjak tinggi dan juga curam.
Tidak pernah pula dia merasa keberatan jika harus bolak-balik beberapa kali dalam sehari, ketika ada surat yang terlewat diberikan kepadanya, sedang dirinya dalam keadaan sakit dan lelah. Tidak pernah keberatan pula jika tiba-tiba kesialan menimpa sepeda bututnya, hingga ia harus berjalan kaki menuju rumah-rumah penduduk kampung. Lelaki itu tidak ingin para penduduk kampung terlalu lama menunggu kabar yang mereka harapkan datangnya. Sebagaimana dirinya yang masih saja menunggu.
…
Hingga suatu hari, hampir seluruh penduduk kampung berkumpul disebuah tempat pemakaman. Setelah malam tadi, sebuah kabar mengejutkan tersampaikan kepada mereka melalui angin malam. Tentang lelaki pemberi kabar, yang telah menghembuskan nafas terakhirnya sambil tersenyum bahagia.
Duka menghampiri semua wajah yang datang ke pemakaman itu. Isak tangis dan airmata jatuh atas rasa kehilangan dan juga rindu akan sosok Lelaki sederhana, yang senantiasa di harapkan kedatangnya. Sebuah ikatan persaudaraan penuh cinta, yang terjadi begitu saja diantara mereka. Telah membawa mereka dalam sebuah perpisahan abadi hari ini.
…
Seminggu setelah kepergiaan Lelaki itu. Para penduduk kampung disibukkan oleh pesan terakhir yang disampaikan Lelaki itu.
“Bagaimana jadinya ini? Bagaimanapun juga, permintaan dari orang yang sudah meninggal itu harus dipenuhi,” ucap Jamal, suami Ijah, yang telah kembali ke kampung itu. Ucapan Jamal itu kemudian di amini oleh hampir seluruh penduduk kampung. Sudah yang ketiga kalinya mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan. Membahas tentang pesan terakhir Lelaki pemberi kabar.
“Tapi, bagaimana caranya? Ada yang punya usul?!” tanya Pak Haji Duloh yang memimpin pertemuan itu. Seketika ruang pertemuan itu menjadi gaduh dengan suara-suara tak jelas, karena mereka semua berbicara secara bersamaan, sibuk sendiri-sendiri.
Tok!..Tok!..Tok!.. Palu di pukulkan ke atas meja. Haji Duloh merasa harus segera menertibkan suasana kegaduhan itu.
“Harap tenang..! Saudara-saudara, tenang! Tolong bicara yang tertib!” seru Pak Haji Duloh. Suara gaduh itu perlahan-lahan mulai berhenti.
“Saya mengerti akan perasaan saudara-saudara sekalian. Lelaki pemberi kabar itu memang sudah seperti keluarga kita semua. Kita tidak dapat memungkiri perasaan cinta yang kita semua miliki untuknya. Saya paham itu! Tapi masalah pesan terakhir dari Lelaki pemberi kabar itu, merupakan pesan yang sulit kita penuhi. Tolong bantu saya, saudara-saudara! Tolong jangan ribut seperti ini” ucap Pak Haji Duloh lagi.
Seluruh penduduk kampung diam. Mereka sendiri kebingungan dan tidak tahu bagaimana caranya mereka bisa memberi satu usulan yang akan membantu mereka. Untuk memenuhi permintaan terakhir dari Lelaki pemberi kabar itu. Sebuah pesan yang sederhana sebenarnya. Lelaki pemberi kabar itu hanya berpesan,”Tolong sampaikan kata maaf saya untuk anak-istri saya. Saya mohon, tolong penuhi permintaan terakhir saya ini. Biar saya bisa tenang di alam sana. Saya mohon..”
Sebuah pesan terakhir yang sesungguhnya sangat sederhana untuk bisa dipenuhi. Namun mereka tidak pernah berfikiran saat itu, saat mereka menyanggupi permintaan terakhir dari Lelaki pemberi kabar itu, bahwa mereka akan mengalami kesulitan untuk memenuhinya.
“Itu salah Pak Haji sendiri! Kenapa kemarin itu Pak Haji Duloh menyanggupi permintaan dari Lelaki itu?!” teriak Pak Saiful. Dan kembali, ucapan itu di amini oleh para penduduk yang lain yang sudah putus asa. Ruangan itu kembali gaduh.
Entah siapa yang salah, tapi apakah salah bagi mereka semua, para penduduk kampung itu? Ketika saat ini mereka kebingungan dan tidak tahu, bagaimana cara untuk memenuhi satu pesan terakhir dari Lelaki Pemberi kabar itu. Lelaki yang telah mengabdikan diri untuk membahagiakan hati seluruh penduduk, yang setiap saat menunggu sebuah kabar tersampaikan kepada mereka. Lelaki yang tidak pernah mengeluh, yang tidak pernah perduli akan cuaca panas dan hujan selama menjalani tugasnya. Lelaki yang telah mereka anggap sebagai bagian dari keluarga mereka, yang mereka cintai pada akhirnya.
Meskipun mereka sangat ingin, untuk menyampaikan pesan terakhir itu. Menyampaikan kepada keluarga dari Lelaki Pemberi kabar itu, kepada anak-istrinya. Adakah mereka tahu, dimana kini anak-istrinya berada? Karena bahkan, sampai akhir hidup dari Lelaki pemberi kabar itu. Ia sendiri masih selalu menunggu datangnya kabar dari anak-istrinya itu. Adakah kiranya kamu tahu? Tolong sampaikan kabar ini untuk mereka; tentang sebuah permintaan maaf dari seorang Lelaki pemberi kabar yang telah mereka tinggalkan, yang kini telah pergi menghadap tuhan. Aku mohon, tolong sampaikan. Tolong..
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini