Dan sejak itu, perzinahan itu selalu terjadi disetiap pertemuan, dan aku mulai mendapati kegelapan di wajahku. Tak ada lagi cahaya itu. Seolah terhempas jauh melayang, dalam setiap lenguhan panjang yang aku lepaskan, ketika sampai pada puncak pergulatanku dengan Lina. Sirna sama sekali. Secara ghaib aku rasa, Tuhan seolah menberikan stempel di jidatku bertuliskan, “Penzina”. Ah, sialan!
Aku akui memang, bahwa selepas kuliah, dan mulai mengenal kehidupan yang sesungguhnya. Aku mulai jarang melakukan semua yang biasa ku lakukan selama masa kuliah dulu; sholat wajib dan juga yang sunah, dzikir setiap lepas melaksanakan shalat, membaca Al Quran dan juga buku-buku tentang ke agamaan yang senantiasa menambah keimananku.
Awalnya aku tidak menyadari semua kehilangan itu, lalu lambat laun aku menyadarinya dengan terlambat. Seperti saat ini. Ketika pertama kali mulai bekerja, aku masih bisa melakukan semua hal itu. Yang mungkin karena saat itu tuntutan pekerjaan yang masih belum terlalu tinggi. Tapi akhirnya perlahan, tuntutan pekerjaanku semakin hari semakin bertambah tinggi, dan akupun semakin jarang melakukannya. Sampai akhirnya berhenti sama sekali melakukannya.
…
Aku sendiri jadi sering melihat kegelapan itu di wajah orang lain. Entah karena sebab yang sama, atau karena sebab lain. Tapi bisa aku lihat tatapan mata yang menyirat satu kesedihan, seolah memendam rindu yang tertahan. Serupa erangan jiwa yang merasakan penderitaan hidup sekian lama. Meski kehidupan mereka penuh dengan gelak tawa dan kesenangan. Aneh..
Apa yang telah Tuhan lakukan kepada kami semua? Begitu banyakkah dosa-dosa yang kami buat? Begitu larutkah kami dalam kemaksiatan dan melupakan semua perintah Nya? Semua pertanyaan itu bergentayangan memenuhi isi kepalaku yang kosong ini.
Aku akui, kehidupanku sendiri berubah drastis. Hati ini semakin hari serasa semakin keras bagai batu. Emosiku jadi mudah terpancing, kesedihan dan hampa senatiasa terasa di dalam hati. Sebagaimana kebingungan dan kegelisahan yang semakin hari semakin menjadi. Demikiankah yang dirasakan oleh mereka itu? Entahlah..
…
Pagi ini, aku terjaga dan berdiri di depan cermin. Dan menemukan wajahku yang menjadi gelap sama sekali. Seperti mendung dalam awan hitam, yang menghalangi sinar matahari. Awan-awan hitam yang datang tanpa menghujami bumi dengan hujan. Menjadikan kehidupan di bumi gelap gulita, meski malam belum saatnya tiba.
Aku mulai tak mampu melihat rupa wajahku sendiri. Gelap! Gelap sama sekali. Menjadi manusia tanpa rupa wajah. Hanya hitam. Sejenak aku mulai panik! Dan membasuh wajahku beberapa kali, namun masih sama aku dapati. Aku coba menggunakan sabun pembersih muka, dan tetap sama. Kepanikanku menjadi lebih beralasan kini.
Aku mungkin masih bisa melihat kesekelilingku. Tapi bagaimana dengan rupaku?! Apa yang akan terjadi jika mereka melihat diriku seperti ini. Oh, Tuhan.. Ada apa ini? Begitu marahkah Engkau kepadaku yang telah melupakan Mu? Tapi mengapa harus seperti ini?!
Langkah kaki ini ragu untuk melangkah keluar rumah. Di dalam kepalaku selalu bertanya, apakah mereka akan ketakutan melihat diriku ini? Manusia tanpa wajah! Akh, mereka pasti akan lari ketakutan ketika mereka mendapati hal yang demikian. Tapi aku harus melakukan aktifitas hidupku, bukan? Akhirnya aku memaksakan diri melangkah keluar rumah, sambil berjalan dalam kepala yang tertunduk. Semoga mereka tidak melihat.
Akupun sampai ke kantor, duduk di meja kerjaku. Meski sepanjang perjalanan tadi, aku selalu mendapati pandangan mata dengan ekspresi sedikit ketakutan dan merasa aneh dari orang lain. Tapi aku selalu berusaha menutupinya dengan topi yang aku pakai.
“Hei, kamu siapa?” tanya Shinta, seorang rekan kerjaku. Sejenak aku tidak menyadari jika pertanyaan itu ditujukan kepada diriku. Tapi ketika Shinta menyakinkan pertanyaannya,”Iya, kamu! Kamu siapa? Ngapain duduk di meja itu?”
Aku gelagapan dan sedikit bingung mendapati pertanyaan itu, “Ini aku , Shin.. Reno”
Dahi Shinta berkerenyit, menatap aku penuh selidik, mencari kebenaran ucapanku.
“Itu kamu? Reno?.. Benaran Reno? Kok kamu beda, yah?”ucapnya kemudian. Sementara aku hanya tersenyum, membayangkan diriku sendiri dengan wajah yang tidak bisa kulihat bagaimana rupanya sekarang. Dan mungkin Shinta mengenali diriku bukan karena wajahku, tapi karena suaraku. Jika memang dia mengenaliku,mungkin pertanyaan-pertanyaan tadi tidak akan sempat keluar dari mulutnya.
Seharian di tempat kerja, dengan tatapan mata yang berkali-kali mengarah kepadaku, penuh dengan perasaan heran dan asing. Membuat diriku tak nyaman berada di sini. Ingin rasanya segera pergi meninggalkan tempat ini. Dan bersembunyi di rumah, menghindari semua orang. Tapi waktu berjalan serasa begitu lamban, begitu terlihat senang menyiksa diriku dalam keadaan seperti ini. Seperti tengah mentertawakan diriku.”Rasain lo!”
...
Seharian ini, aku hanya menetap di rumah setelah sebelumnya mengajukan cuti. Semua peristiwa yang kemaren aku alami sudah cukup menjadi alasan diriku untuk minta istirahat di rumah menenangkan diri, daripada bekerja dengan kondisi yang tidak nyaman dan tidak fokus pada pekerjaan. Untungnya Atasanku mengerti akan keadaanku ini.
Selama di rumah, aku berusaha untuk kembali meraih cahaya yang hilang dari wajahku. Kembali melakukan ibadah rutin dan sunah yang telah lama aku tinggalkan. Bahkan hampir setiap hari aku bangun di sepertiga malam mengahap Tuhan, memohon pengampunan atas semua dosa-dosa yang aku lakukan selama ini. Ah, hati ini terasa damai dan tenang seperti dulu lagi. Indah rasanya hidup bila jauh dari gelisah dan hampa.
Perlahan-lahan, aku mulai melihat cahaya yang menerangai wajahku kembali. Wajahku kembali bisa aku lihat di dalam cermin. Kegelapan itu sirna seketika. Ketika ku tatap diri ini lekat-lekat dalam cermin, betapa aku bisa melihat keteduhan terpancar dan wajah dan mataku. Ya, Tuhan.. terima kasih..
Kini hidup terasa begitu indah ku jalani dengan segenap hati yang begitu damai dan jauh dari hampa dalam gelisah. Seolah kini telah mantap dengan arah kehidupan yang akan kujalani. Merasa bahagia setiap kali menikmati perubahan hari demi hari. Menyambut semua dengan senyuman tersungging. Indahnya..
….
Waktu cutiku telah selesai, kini aku harus kembali bekerja dan melakukan rutinitas sebagaimana biasanya. Tidak ada yang berubah dari rutinitas kehidupanku sehari-hari, kecuali hanya diriku saja yang memandang kehidupan ini berbeda. Cahaya di wajahku begitu terlihat dalam keceriaan dan semangat diri. Begitu bisa menarik banyak orang untuk tersenyum dan merasa senang terhadapku. Dan masih banyak lagi…
Aku tetap mencoba menjaga semua kegiatan yang ku lakukan saat masa cuti kemarin. Melaksanakan semua ibadah wajib dan sunah, disela-sela kesibukanku bekerja. namun perlahan-lahan, kembali rutinitas itu mulai berangsur tergeser dari waktu-waktu yang seharusnya. Bahkan mulai hilang satu persatu dengan berbagai macam alasan yang kubuat. Untuk kemudian aku dilanda kembali gelisah dan hampa yang sulit untuk aku mengerti sebabnya.
Kehampaan membawa diriku dalam tanya, “Apa yang sebenarnya terjadi?” Namun jawaban sepertinya akan tetap jatuh entah di lautan mana, sebelum sampai pada diriku. Kegelisahan itu mengantarkan juga bayangan indah sosok Kayla tanpa busana. Teringat kembali pergulatan kami saat bercinta, erangan dan juga rintihannya. Ah, aku rindu Kayla. Dimanakah dia?
…..
Aku bangkit dari ranjang hotel. Melangkah gontai menuju kamar mandi, dalam lelah setelah pergulatan yang terus menerus dengan Kayla tadi. Tubuh serasa lebih enteng, seolah seluruh beban yang sedari kemarin begitu terasa, hilang seketika. Aku basuh wajah ini beberapa kali, menghilangkan rasa kantuk untuk meraih kebugaran tubuh lagi. setelah itu menatap diri dalam cermin.
Sejenak aku menundukan pandangan menghindari bayangan diri dalam cermin. Merasakan penyesalan sebaagaimana sebelumnya. Ketika mendapat bayangan hitam kembali aku lihat di sekitar wajahku. Semua kembali terulang. Ya, Tuhan…. Apa yang telah aku lakukan?!
….
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini