Menurut cerita Nenek, Emak Udin itu diculik oleh Burung Besi Raksasa. Dulu. Saat Udin masih belajar berjalan. Tak ada yang bisa menyelamatkan Emak, karena Bapak juga telah lama tertidur di dalam tanah. Udin Memang tak mengenal dengan baik siapa orang tuanya, tidak mengetahui bagaimana sebenarnya wajah Bapak dan juga Emak. Jadi selama ini, Udin mengetahui tentang kedua orang tuanya hanya lewat cerita Nenek saja, dan juga lewat foto yang terpajang di dinding.
“Bagus kalau begitu. Kamu memang anak yang berbakti, Din” ucap Nenek sambil tersenyum bangga. “Tapi ada syaratnya, Din. Supaya kamu bisa mengalahkan Burung Besi Raksasa itu”
“Syarat? Syarat apa itu, Nek?” tanya Udin.
“Iya, supaya kamu bisa mengalahkan Burung Besi Raksasa itu. Maka kamu harus jadi anak yang rajin di sekolah. Rajin belajar dan harus menjadi juara kelas.” Nenek menjelaskan.
“Begitu ya, Nek?”
“Iya. Dan jangan lupa, kamu juga harus rajin mengaji dan sembahyang. Biar kelak kamu menjadi seorang Kesatria”
“Kesatria? Seperti dalam dongeng Nenek?”
“Iya. Kesatria yang akan menaklukan Burung Besi Raksasa itu, dan kemudian mengendalikannya sesuai perintah sang Kesatria”
Udin mengangguk mengerti.”Baiklah, Nek. Udin akan rajin belajar, akan jadi juara di kelas, akan rajin mengaji dan juga sembahyang!”
Nenek tersenyum senang melihat tekad cucunya. Dan Memang, Udin membuktikan kata-katanya. Saat masuk sekolah, dia begitu rajin belajar dan mengikuti semua pelajaran disekolah dengan serius. Demikian juga saat dalam pengajian. Dia rajin mengaji dan juga sembahyang. Wajar, jika kemudian Udin selalu mendapat peringkat pertama di kelas. Hal itu membuat nenek begitu bangga terhadap cucu satu-satunya itu.
….
Surat yang aneh. Ada satu kejadian yang setiap saat membuat Udin selalu dibuat heran dan bertanya-tanya. Setiap Bulan, Nenek selalu mendapat kiriman surat dari Pak Pos. Setelah menerimanya, biasanya Nenek langsung pergi ke Kantor Pos. Setelah itu pergi ke kota, masuk ke sebuah Bank yang ada disana. Sampai saat ini, Udin belum mengetahui dengan pasti surat apa yang diterima nenek sesungguhnya.
Seperti hari ini sepulang sekolah, Udin mendapati Nenek yang duduk termenung di teras rumah sambil menggenggam surat dalam tangannya. Wajahnya terlihat sedih, sepertinya habis menangis. Udin melihat itu selepas pulang sekolah. Dengan perlahan, Udin mendekati Nenek yang tak menyadari kehadirannya.
“Nek…” sapa Udin pelan. Nenek sempat terkejut mendengar sapaan Udin. Dan dengan segera dia hapus airmatanya. Dan memaksakan diri untuk tersenyum.
“Sudah pulang kamu, Din? Nenek kaget kamu tiba-tiba sudah di depan nenek” ucap Nenek sambil mengulurkan tangannya. Udinpun mencium tangan Nenek.
“Nenek habis nangis, yah?” tanya Udin kemudian.
“Eh, enggak kok. Cuma dari tadi mata nenek memang perih, sepertinya kemasukan kotoran atau debu, gitu” sanggah Nenek sambil mengusap kembali matanya. Seolah mencoba menyembunyikan tangisnya tadi.
“Ooh, kirain Udin tadi Nenek habis nangis” Udin mencoba menerima alasan Nenek. Sepertinya dia mengetahui kebiasaan yang terjadi setiap saat Nenek menerima surat. Itu sebab Udin menyebutnya surat yang aneh. Dia tidak ingin memperpanjang lagi pertanyaan.
“Enggak, Din.. Nenek baik-baik saja. Kamu langsung makan, yah? Nenek sudah siapkan dimeja, tuh.”
Udinpun masuk ke dalam rumah. Sementara Nenek menatap dirinya yang berlalu masuk. Hatinya semakin merasakan sakit di dalam dada. Lirih dia mengucap,”Kasian kamu, Din. Emak kamu m
masih belum juga bisa pulang untuk menemuimu.” Lalu ditatapnya Surat yang baru saja dia terima. Tertera nama Menantunya dibagian akhir tulisan dalam surat itu.
Maafkan saya, Mak. Aku titip Udin.
Salam Hormat
Ijah
Tak terasa, airmata Nenek kembali jatuh.
……………..
10 tahun kemudian
Untuk pertama kalinya dalam hidup Udin, dia bertatapan langsung dengan sosok ibunya. Namun semua yang terjadi saat itu, jauh berbeda dengan adengan yang biasa kita saksikan di depan televisi. Dimana dalam setiap adegan untuk sebuah pertemuan antara seorang Ibu dengan Anak, selalu menghadirkan suasana yang mengharu biru. Penuh dengan adegan peluk cium serta tangisan yang mengharukan. Tapi hal itu tidak terjadi antara Udin dan Emak.
Udin hanya diam, saat Emak berdiri di hadapannya. Demikian pula dengan diri Emak, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Karena anaknya hanya diam mematung menatap dirinya lekat-lekat. Dengan tatapan mata yang merasa aneh dan merasa asing terhadap dirinya.
“Emak…” hanya kata itu yang keluar dari mulut Udin. Lalu kembali dalam diamnya.
“Iya, Din. Ini Emak,” jawab Emak mencoba tersenyum kepada Udin. Meskipun sebenarnya dia begitu Ingin memeluk tubuh Udin, karena luapan rindu yang dia punya selama bertahun-tahun tertahan untuk anak kandungnya. Namun udin tetap tak bergeming dari diamnya. Cukup lama mereka berdua seperti itu. Sampai akhirnya Emak mencoba mendekati anaknya yang kini telah beranjak dewasa. 17 tahun sudah dirinya meninggalkan Udin bersama mertuanya.
Direngkuhnya kepala Udin dan dibenamkan dalam pelukan didadanya sambil mengucap, “Maafkan Emak, Din..”
Namun Udin masih tetap diam. Dia sama sekali tidak membalas pelukan Emak yang selama ini selalu diharapkan kehadirannya. Entah apa yang terjadi. Mungkin perasaan asing menyelimuti dirinya saat ini. Bukankah memang tak mudah mengakrabkan diri dengan orang yang sebelumnya tidak pernah kita temui? Jadi bisa saja semua yang dilakukan Udin saat ini adalah sesuatu yang wajar.
Terlebih saat ini, duka mendalam masih dirasakan Udin. Kemarin, baru saja Udin melepas kepergian Nenek untuk selama-lamanya. Kembali ke pangkuan Tuhan. Dan kini, saat duka masih begitu dirasakan Udin. Udin harus berhadapan dengan satu lagi peristiwa baru dalam hidupnya, pertemuan dengan Emak.
Udin sudah mengetahui kebenaran tentang Emak jauh-jauh hari. Kini dia bukan lagi anak kecil yang tidak bisa memahami dan menerima kenyataan hidup. Ya, semasa kecil Udin dulu, Nenek bercerita tentang Burung Besi Raksasa yang telah menculik Emak. Namun, seiring waktu, diapun mengetahui baik dari cerita sebenarnya melalui Nenek dan juga surat aneh yang setiap bulan Nenek terima. Emak tidak diculik. Emak pergi menjadi seorang TKW di Negeri orang. Semata karena keharusan, dimana setelah kematian Bapak. Emaklah yang kemudian menjadi Kepala keluarga. Dan demi memenuhi kebutuhan hidup dan juga demi masa depan Udin kelak. Meski dengan Berat hati, Emak meninggalkan Udin yang masih Bayi, meninggalkan Emak, dan juga kampung halaman mereka.
Setelah beberapa tahun bekerja di Negeri Orang, dengan rutin mengirimkan uang kepada Nenek. Yang kemudian uang tersebut ditabung oleh Nenek untuk bekal sekolah Udin kelak. Yang terjadi kemudian adalah, Emak dipersunting seorang lelaki dari Negeri dimana Emak bekerja. Lalu mereka menikah. Entah, itu sebuah keberuntungan atau sebuah petaka. Meski merasa bahagia karena mendapatkan pendamping hidup baru, tapi disisi lain Emak harus berpisah dengan Udin dan juga Nenek. Karena suaminya tidak mengijinkan Emak untuk pulang, selain karena keadaan. Alasan yang lain adalah karena kemudian adik-adik tiri Udin lahir satu persatu. Hal tersebut membuat Emak tidak bisa pulang untuk bertemu Udin dan juga Nenek.
….
Waktupuan terus berlalu..
Di sebuah tempat pekuburan. Terlihat seorang lelaki berseragam Pilot tengah berjongkok di depan sebuah makam. Terlihat gagah dan juga mempesona. Itulah Udin. Yang kini tengah berziarah ke makam Nenek. Angin berhembus pelan, membuat para daun kering yang ada di sekitar pekuburan itu berpindah tempat, meloncat, berhenti dan terbang lagi. Mengikuti irama hembusan angin yang menerpanya.
“Nek, Udin kangen sekali sama Nenek. Betapa Udin ingin sekali Nenek bisa melihat langsung bagaimana Udin kini telah menjadi Kesatria seperti cerita nenek dulu,” ucap Udin setelah Doanya terucapkan. Bias rindu begitu terlihat diwajahnya yang sesekali tertunduk dalam haru. Tangan kirinya memegang nisan yang terbuat dari kayu.
“Nenek tahu? Hari ini adalah penerbangan Udin yang ke 100. Dan Udin akan melakukan penerbangan ke Negeri dimana Emak dan Adik-adik Udin berada. Bertemu mereka dan juga bertemu dengan Bapak baru Udin, Nek. Udin dan Emak kini semakin dekat semenjak kepergian Nenek dulu, juga dengan adik serta bapak baru Udin, Nek.” Lalu Udin diam sejenak. Di-elusnya nisan yang bertuliskan Nama Neneknya tercinta.
“Udin hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih kepada Nenek. Karena Nenek, Udin sekarang telah berhasil menjadi Pilot, menjadi Kesatria Burung Besi Raksasa. Semua karena bimbingan dan petunjuk yang Nenek berikan kepada Udin selama ini. Terima kasih, Nek. Udin sayang sama Nenek. Udin kangen sekali sama Nenek.” Tak terasa airmata itu jatuh menetes pelan. Seiring hembusan angin yang semakin kencang berhembus. Lalu Udin bangkit berdiri. Diciumnya nisan Nenek. “Udin pergi, Nek. Dan akan segera kembali lagi ke sini. Doakan Udin selalu ya, Nek.”
Udinpun membalik arah tubuhnya, dan perlahan melangkah meninggalkan tanah pekuburan itu. Bersiap untuk berangkat melaksanakan tugas sebagai seorang kesatria Burung Besi Raksasa, yang kini berada dalam kuasanya. Terbang melintasi angkasa. Dimana matahari, hujan dan awan begitu dekat. Dan semua yang ada di tanah, terlihat kecil. Lautan, gunung, dan sungai dilintasinya dalam hitungan detik. Kini Udin akan pergi menuju Negeri dimana Emak, adik-adiknya , serta bapak barunya berada. Pergi bersama Burung Besi Raksasa..
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini