Ada masa dimana kebahagiaan dalam cawan itu, kita reguk lupa hingga tak bersisa. Sedangkan kesedihan yang kita tuang, meluber melewati batas tampung cawan itu. Lalu membasahi wajah dengan airmata. Tapi diantaranya, gelembung-gelembung hampa menjadi bagian dari setiap tetes rasa yang kita tuangkan kedalam cawan.
Atau di dalam keramaian pasar, supermarket dan mall. Erangan itu pun terdengar lirih dalam bising suasana yang ada. Melepas hasrat dalam rupa gambar tentang keinginan-keinginan dan hayalan, berdiri di depan etalase toko, termenung di setiap kedai makan. Apakah kau dengar itu?.
Jika sejenak saja, kau berkenan untuk melihat tempat-tempat yang pernah aku singgahi. Disana telah banyak aku lukis tentang semua erangan itu. Menggambar setiap wajah yang diam termenung. Aku merabanya kedalam hatiku sendiri. Membuat bayangan diantara mereka. Menjadi cermin yang sama, melukiskan kenyataan tentang diri.
Aku bersama seseorang di dalam bis kota, pernah melukis kebahagiaan dua hati yang baru saja saling mengenal. Menghabiskan waktu demi waktu, sebisa mungkin selalu bersama. Dimana ada dirinya, disitu pula ada aku. Aku mencumbunya dengan jemari yang menggenggam erat jemari tangannya, aku mengecup dirinya dalam senyum bahagia akan kebersamaan yang ada. Kami bersetubuh dalam ruang dan waktu berdua, dalam nuansa penuh bunga-bunga. Diantara banyak manusia dalam bis kota ini. Tapi serasa hanya ada aku dan dia disana.
Aku juga pernah melukisnya di sebuah kedai makan, sudut-sudut kursi penonton sebuah bioskop. Supermarket, taman, pantai dan masih banyak lagi tempat-tempat itu. Tapi kini, sebagaimana telah aku katakan, semua hanya meninggalkan erangan dari jiwa yang terluka dan merasa sepi.
Semua kebahagiaan yang telah aku reguk habis dari cawan itu, menciptakan banyak hampa didalam hati kami berdua. Hingga pertengkaran, perdebatan dan caci maki senantiasa mengisi kehampaan itu. Merubahnya kembali, menjadi tetesan airmata yang senantiasa jatuh atas rasa sakit yang kami rasa pada akhirnya. Demikianlah erang-erangan itu mulai terdengar setiap saat. Mencari semua kenangan dalam banyak lukisan yang aku buat di semua tempat itu. Membawa banyak tanya dan juga rasa sesal,
Tutup matamu sejenak, lalu jadikan indera telingamu menjadi mata yang menangkap semua erangan dan rintihan itu. Aku yakin kau akan menemui sebagaimana juga diriku. Atau kau coba berdiri di depan cermin. Tatap lekat-lekat dirimu di dalam cermin itu, adakah kau dengar erangan itu kemudian? Bersyukurlah jika kau tidak mendapatkannya.
Kini aku selalu mencoba bersembunyi dengan menutup kedua telingaku, menghindari suara erangan dan rintihan itu. Yang kini mulai mengganggu kehidupanku. Setiap saat erangan itu semakin keras terdengar, hampir di setiap sisi kehidupan yang aku jalani. Ketika aku berteriak? Mereka sama sekali tidak berhenti.
Wajah-wajah termenung itu semakin sering aku temui. Erangan itu terkadang berubah menjadi tangisan yang memilukan hati ini. Aku tak kuasa untuk terus menerus mendengar semua itu. Aku berharap bisa tertawa lepas sebagaimana mereka tertawa, tapi dalam tawa mereka pun, aku masih mendengar erangan itu. Dan juga dalam senyuman yang terkembangkan. Bukan hanya dalam diam mereka!
Seberapa jauh keinginan dan harap itu sebenarnya, bisa membuat jiwa-jiwa itu merintih dan mengerang? Bukankah dalam hidup kita harus memiliki semua keinginan dan harapan itu? lalu mengapa semua itu membawa jauh hati setiap manusia tenggelam dalam sepi sendiri menunggu semua terwujud? Sabar dalam penantian waktu datangnya. Tapi lelah dirasa dalam rentang waktu itu sendiri.
Aku tidak mampu menghindari semua erangan itu. wajah-wajah letih semakin berharap pada kesemuan. Pergi pada sisi sepi malam melepas imaji, melukis rupa rasa dalam merintih. Meraih yang paling mungkin dari setiap doa yang dilepas. Meski hampa selalu berselang hadir dalam setiap helaan nafas. Menciptakan erangan itu, lalu jatuh pada tangis.
Cobalah untuk kau dengar semua itu. Karena aku mendengarnya keluar dari dalam diriku sendiri.
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini