“Itu masalah kamu dan keluarga kamu, Jo. Saya tidak mau tahu itu,” ucap pak Elfan dengan santai tanpa merasa terbebani.
“Tapi, Pak…”
“Akh, sudahlah.. jangan mencari-cari alasaan. Saya tidak mau tahu anak kamu sakit, istrimu melahirkan atau apapun itu. Yang pasti kamu telah lalai dalam bekerja, terlalu lama kamu tidak masuk bekerja. Keputusan saya sudah bulat. Silahkan keluar sekarang!” Pak Elfan sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Bejo.
Bejo diam mencoba bertahan dalam gejolak rasa di dadanya, tatap matanya tiba-tiba berubah gelisah. Satu lembar kertas yang tadi diberikan pak Elfan, diremas-remas dengan geram. Dan tiba-tiba, dalam satu hentakan, Bejo mengangkat meja kerja pak Elfan, sehingga meja itu terangkat dan jatuh terbalik. Naas, pak Elfan yang tidak menduga hal itu terjadi, terjatuh dengan tubuh yang tertimpa meja itu. Wajah dan mata Bejo seketika berubah merah penuh amarah dan kebencian, sepertinya sudah tidak lagi mampu bertahan. Dihampirinya pak Elfan sang Manager HRD itu, setelah sebelumnya Bejo mengunci pintu ruangan.
Pak Elfan yang masih dalam rasa terkejutnya, tiba-tiba mendapat satu hantaman keras di wajahnya. Bejo dengan bernafsu menginjak-nginjak wajah pak Elfan.
“Mampus, Lo!! Mampus!!” Itu saja yang keluar dari mulut Bejo sambil berkali-kali wajah pak Elfan terus dihantam kakinya, hingga darah keluar dari hidung, bibir dan pelipisnya. Tak puas sampai disitu, Bejo mengangkat tinggi-tinggi kursi yang tadi dipakainya duduk . Lalu tanpa ampun lagi, dihantamkannya keras ke tubuh pak Elfan.
“Ampun, Jo!!…Ampuuun..!!..Aduch!! Toloooooong..!!” teriak pak Elfan dalam mengaduh dan menjerit kesakitan. Semua karyawan yang tadi sedang santai beraktifitas di pagi itu, terkejut mendengar teriak yang datang dari ruang kerja pak Elfan. Semua berlari berhambur mendekati ruangan itu, tapi mereka mendapati pintu ruang kerja Pak Elfan dalam keadaan terkunci. Semua orang kebingungan. Akhirnya beberapa orang termasuk securiti, berusaha untuk mendobrak paksa pintu itu.
‘U-udah, Jo. Pleaseee.. udah, Jo. Maafin saya, Jo!“ Pak Elfan terus mengiba-ngiba dalam ketakutan. Sementara Bejo tak bergeming dari kemarahannya yang telah sampai pada puncak. Tiba-tiba mata Bejo menangkap satu tas besar yang bersandar di pojok ruangan. Tas besar itu berisi Stick Golf dan dengan gerakan cepat, kini telah berada dalam genggaman tangan Bejo.
Pak Elfan semakin ketakutan melihat apa yang kini ada dalam genggaman Bejo.
“Udah, Jo! Ampuni saya!! Tolooong…..!!” pak Elfan semakin jatuh dalam rasa ngeri membayangkan bagaimana rasanya ketika stick Golf itu menghantam tubuhnya yang sudah tak berdaya itu. Sementara Bejo yang sudah kalap, seperti kesurupan, datang menghampiri pak Elfan sambil tersenyum menyeringai.
“Lo pikir…, Lo bisa terus berbuat sesuka hati karena punya kuasa, Hah?!!,” bentak Bejo dengan wajahnya yang mendekat dengan wajah pak Elfan.
“Cuih..!” Ludah meluncur dari mulut Bejo dan tepat mengenai wajah pak Elfan. “Nih, lo rasain pembalasan gua!!”
Stick Golf diangkat tinggi-tinggi oleh Bejo dan dalam satu ayunan keras, jatuh tepat mengenai tulang kaki, rusuk, tangan dan seluruh tubuh pak Elfan.
“Aduh! Aduh! Ampun, Jo…!.Ampuuunn…! Maafin saya, Jo! ” Pak Elfan hanya bisa mengiba sambil mengaduh.
Dan tiba-tiba pintu ruangan berhasil dibuka dengan paksa, BRAAKK..!! Semua orang berhambur memasuki ruang kerja pak Elfan, berdiri terkesima melihat pemandangan di depan mereka. Dimana bejo tengah mengangkat Stick Golf tinggi-tinggi, telah siap untuk dihujamkan. Entah kepada siapa, mereka belum mengetahui jelas. Sebagian mereka melihat kaki yang tergeletak di bawah kaki Bejo dan sayup-sayup terdengar suara erangan Pak Elfan dalam kesakitan. Seketika mereka mulai mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi di ruangan itu.
……
“Minggiirr…!! Biar gua mampusin orang itu sekalian! Minggiiirr….!!” Bejo masih berteriak-teriak dalam meronta dalam cengkeraman hampir seluruh karyawan di kantor itu. Mereka merasa kewalahan menghadapi amukan Bejo. Akhirnya mereka semua berinisiatif untuk mengikat tubuh Bejo pada sebuah kursi. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya bisa meredam amuk kemarahan Bejo, untuk tidak meronta-ronta lagi. Tapi setidaknya hal itu sudah cukup bisa membuat Bejo tidak berkutik.
“Nih, lo minum dulu deh, Jo” ucap Udin teman kerja Bejo, sambil menyodorkan segelas air dan dibantunya air itu untuk bisa di minum oleh Bejo. Mereka berdua selama ini memang teman dekat di kantor ini, sama-sama bekerja sebagai OB.
Semua orang berkerumun dalam ruangan itu, menghentikan semua aktifitas kerja mereka, sibuk membicarakan apa yan baru saja terjadi. Sebuah peristiwa yang mengejutkan mereka di pagi ini.
“Emang masalah apaan, sih?,” tanya seorang karyawati kepada seorang teman lelakinya.
“Gak tau, tiba-tiba aja tadi ada suara gaduh dan teriak minta tolong dari ruangan pak Elfan. Dan waktu semua orang melihat, si Bejo lagi mukulin pak Elfan pake stick Golf itu,” jawab temannya sambil menunjukan Stick Golf , yang di ujung kepalanya ada sedikit berkas darah. Stick yang tadi dipakai Bejo untuk menghajar pak Elfan.
“Gua gak nyangka kalau Bejo yang pendiam itu, bisa senekat itu.”
“Semua orang juga kaget kalee.. gak cuma elo doang. Tapi memang begitu kejadiannya.”
Tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui apa yang menjadi sebab semua peristiwa menghebohkan itu terjadi. Mereka hanya mengetahui, siapa Pak Elfan sebenarnya dan sebagian dari mereka begitu senang dengan apa yang telah Bejo lakukan terhadap Pak Elfan. Karena hampir semua karyawan itu, memang tidak menyukai lelaki itu.
..
“Sadis juga lo, Jo. Gua gak nyangka kalo elo bisa senekat itu. Tapi gua senang dengan apa yang udah lo lakuin. Salut gua sama lo! Sekali-kali orang seperti Pak Elfan memang harus diberi pelajaran!” ucap Udin sambil menepuk-nepuk pundak Bejo.
“Emang kenape?! Lepasin gua! Biar gua mampusin itu orang!” ucap Bejo sambil berusaha melepaskan semua ikatan di tubuhnya.
“Sabar, Jo. Bener-bener udah gila lo yah? Nekat bener…”
“Kenape gua mesti sabar?! Memang dengan sabar semua masalah itu bisa selesai?! Gak khan?! Gua bosan dengerin semua ocehan tentang kesabaran dan kebaikan itu,” ucap Bejo lagi tambah sewot mendengar ucapan Udin.
“Iya, tapi jangan kebablasan, Jo… “
”Hidup ini memang penuh hal-hal yang harus dimaknai dalam kebaikan. Gua tau! Gua jadi orang gak bego-bego amat. Tapi tidak selamanya semua masalah itu harus disikapi dengan perasaan yang lemah lembut lagi pemaaf. Itu membuat orang semakin berbuat semena-mena dan merendahkan kita. Gila apa?! Rasul saja pernah berperang meskipun Beliau adalah manusia paling sempurna. Apalagi gua yang cuma manusia biasa!!”
“Udah udah, tenangin diri dulu deh, Jo. Diam disini. Minum lagi mendingan,” ucap Udin, mulai kebingungan menghadapi diri Bejo yang sampai saat ini masih saja meluap-luap dalam kemarahan. Bahkan air yang ia coba untuk diberikan, ditepis Bejo dengan menggunakan kaki sehingga gelas itupun jatuh. Praang..!! Semua orang menoleh kearah Bejo dalam terkejut..
”Biar! Biar gaduh sekalian!” teriak Bejo. Mereka semua menggelengkan kepala melihat sikap Bejo yang sulit untuk diajak kompromi.
Sementara Pak Elfan masih dikerumuni banyak orang. Mereka sibuk dengan peralatan P3K. Tubuh Pak Elfan yang disandar ke tembok, wajahnya babak belur berlumuran darah, darah itu juga mengotori pakaiannya. Sementara Ambulance dan Paramedis yang dipanggil belum juga datang
…..
Setelah kejadian itu, meski akhirnya berdamai dan Bejo tidak dipenjara atas perbuatannya kemarin itu. Bejo tetap dipecat juga dari pekerjanya, tanpa pesangon tentunya, karena status dia saat itu memang bukan pegawai tetap, hanya pegawai kontrak.
Di rumahnya, Bejo jadi sering melamun. Sepertinya sedikit menyesali perbuatannya, yang pada akhirnya membuat kehidupan keluarganya berada dalam kesulitan. Karena tidak ada lagi penghasilan yang dimiliki untuk menghidupi mereka sekeluarga. Suatu malam menjelang tidur, saat berada di dalam kamar bersama istrinya. Matanya sulit untuk ia pejamkan…
“Sudahlah, Pak. Tidak usah dipikirkan lagi. Toh, biar bagimana juga kamu memang sudah dipecat sama Pak Elfan. Dan itu juga yang jadi alasan Bapak mengamuk di kantor kemarin itu,” ucap istri Bejo, Ijah. Sambil menyandarkan tubuhnya dipunggung Bejo, memeluk erat tubuh suami tercinta.
“Iya, Mak. Aku cuma bingung, bagaimana dengan hidup kita sekarang? Anak-anak kita masih pada sakit, sedangkan uang yang kita miliki sudah hampir habis. Mau makan apa kita nanti?”ungkap Bejo dengan nada suara yang penuh dengan kesedihan.
“Yaa.., yang sabar aja kitanya, Pak. Mau bagimana lagi?,” ucap Ijah sambil menghela nafas panjang. Sesak yang sama juga dia rasakan sebagaimana dirasa suaminya saat ini. Lalu lanjut Ijah berkata lagi,” Yang penting sekarang, Bapak jangan bersedih terus.. Bapak harus semangat lagi cari usaha dan jangan lupa berdoa sama Gusti Allah. Biar jalan kita dimudahkan, Pak..”
Bejo membalik tubuhnya menghadap Ijah dengan satu pandangan haru,”Makasih ya, Mak. Makasih atas kesabaran, kesetiaan dan keikhlasannya. Aku..aku sayang sekali sama kamu, Mak.”
Ijah tersenyum, lalu menjatuhkan tubuhnya lagi, memeluk erat tubuh suami tercinta,”Sama-sama, Pak. Aku juga sayang sama Bapak. Yang sabar ya,Pak...”
Bejo membalas pelukan itu sambil tersenyum. Di Belainya lembut rambut kepala Ijah penuh kasih. Malam itu mereka tidur berpelukan hingga pagi menjelang. Setangguh apapun seorang lelaki, seganas apapun dia. Pada akhirnya akan tunduk di hadapan seorang perempuan yang mencintainya dengan penuh ketulusan dan kesabaran. Keputus-asaan akan berubah menjadi semangat yang berkobar-kobar, lelah yang dirasa seketika akan hilang, tiada lagi dirasa. Di dalam hatinya hanya ada keingian dan tekad untuk membahagiakan Perempuan yang dicintainya itu. Seperti itulah sosok Ijah bagi Bejo saat ini dan juga nanti
…
Waktu terus berlalu. Bejo dan Ijah mencoba untuk bangkit lagi dari keterpurukan hidup mereka. Ijah dengan sisa uang yang masih ada, dengan cermat mencoba untuk bisa memanfaatkannya dengan membuka warung yang menjual makanan kecil setiap pagi. Ada pisang goreng, bakwan, tempe dan juga minuman ringan seperti kopi dan teh manis. Dan dengan bermodalkan perhitungan manajemen yang seadanya namun cermat, usaha itupun mulai berkembang. Hingga kemudian , setiap pagi Ijah pun mencoba menjual sarapan pagi untuk semua orang, dari nasi uduk sampai dengan nasi campur yang murah meriah.
Sementara Bejo, sudah hampir sebulan ini bekerja pada Haji Mabrur, orang kaya di kampung mereka, yang memiliki banyak usaha. Dan Bejo bekerja di salah satu tempat usaha yang dimiliki Haji Mabrur. Dengan perasaan senang, karena selain baik hati, Haji Mabrur selalu memperlakukan para perkerjanya seperti keluarganya sendiri. Tidak jarang, pak Haji selalu menasehati mereka, memberi semangat dan petuah tentang hidup. Mengarahkan mereka semua agar bisa hidup mandiri.
Meski penghasilan Bejo masih jauh berbeda dengan panghasilannya saat masih bekerja di perusahaannya dulu. Tapi, kehidupan mereka kini terasa lebih bahagia dan lebih bisa dinikmati. Mungkin juga karena bimbingan dari Haji Mabrur yang mengenalkan Bejo kembali kepada Tuhan. Untuk bisa bersyukur, ikhlas dan berdoa dalam setiap hal yang dikerjakan. Bejo mulai rajin lagi sholat 5 waktu, jauh berbeda dengan keadaaan dirinya dulu, saat masih bekerja diperusahaannya dulu.
…
Suatu hari, saat Bejo menerima gaji bulanan dari Haji Mabrur. Dengan wajah bahagia Bejo berjalan dengan cepat untuk sampai ke rumah, karena tak sabar untuk menyerahkan hasil keringatnya itu kepada Ijah, istri yang dicintainya. Sepanjang jalan, Bejo selalu menebar senyum sumringah, menyapa semua orang yang ditemuinya di jalan.
Ya, kebahagiaan itu begitu dirasa Bejo. Penghasilan yang mungkin tidak seberapa itu, telah mengembalikan kepercayaan dirinya lagi sebagai lelaki, sebagai seorang suami dan bapak dari anak-anaknya. Kepercayaan diri yang sempat hilang sebelumnya.
Tapi tiba-tiba tanpa disadari Bejo, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dari arah yang tidak diduga, menabrak Bejo. Tubuhnya terpental cukup jauh, tergeletak berlumuran darah, dan dia tak sadarkan diri. Dari dalam mobil, seseorang terlihat celingukan memperhatikan keadaan sekitar Lalu orang tersebut keluar dari dalam mobil sambil tetap memandang keadaan sekitar kejadian. Kemudian berjalan mendekati tubuh Bejo yang terkapar tidak jauh dari mobil itu.
Setelah berada di depan tubuh Bejo.“Cuih! Mampus lo sekarang! Lo pikir semua masalah sudah selesai begitu aja!” ucap orang itu sambil tersenyum licik penuh kemenangan. Pandangan mata yang menyiratkan dendam, seolah telah terpuaskan melihat keadaan Bejo saat itu. “Gua gak akan lupa semua hal yang udah lo lakukan sama gua tempo hari! Yang sudah membuat diri gua menanggung malu di hadapan semua orang. Anjing!!”
Tidak lama kemudian, dengan bergegas meninggalkan tempat kejadian dengan memacu mobilnya dengan kencang…
….
“Lepas! Lepasin ini semua!” teriak Bejo dalam meronta-ronta, berusaha melepaskan semua selang infus, serta balutan perban di kepala, kaki dan tanganya. Membuat panik para suster rumah sakit itu, Ijah dan juga Haji Mabrur, yang saat itu berada di tempat itu.
“Pak! Tenang, Pak .!” teriak Ijah sambil menangis melihat sikap suaminya seperti itu.
“Lepas! Bapak bilang lepasin semua ini! Bapak harus ketemu Pak Elfan, harus!! ” ucap Bejo lagi sambil mencoba bangkit dari tempat tidur namun dihalangi para suster, Ijah dan juga Haji Mabrur. Akhirnya Bejo bisa tenang kembali setelah seorang suster menyuntikan obat penenang ke tubuhnya. Semua terjadi setelah Pak Haji Mabrur mengatakan kepadanya, bahwa polisi telah menangkap pelaku yang telah membuat Bejo seperti ini adalah Pak Elfan.
“Ijah, kamu tunggu sini. Biar bapak saja yang pergi ke kantor Polisi,” ucap Haji Mambrur kepada Ijah kemudian.
“Makasih, pak Haji. Maaf sudah merepotkan bapak,” ucap Ijah menanggapi apa yang dikatakan Pak Haji Mabrur kepadanya.
…
Bejo mulai terjaga dari tidurnya dan dalam samar pandangan matanya. Bejo memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ada Ijah, istrinya, Pak Haji Mabrur dan…
“Pak Elfan?” Bejo terkejut saat melihat pak Elfan juga ternyata berada di kamar perawatan ini.
Wajah Pak Elfan tertunduk dalam perasaan bersalah dan juga malu yang ia rasakan bersamaan saat ini. Sebelumnya, Pak Haji Mabrur menyampaikan keinginan Bejo untuk mencabut tuntutan atas peristiwa penabrakan itu. Sehingga saat ini, Pak Elfan bisa datang berkunjung untuk menjenguk Bejo, yang sebelumnya hampir menemui ajal akibat ulahnya itu.
“Ma-Maafkan saya lagi, Jo…,”, ucap pak Elfan pelan sambil tertunduk di sisi ranjang. Tapi apa yang dilakukan Bejo kemudian sungguh di luar dugaan?! Bejo malah menarik tangan Pak Elfan hingga jatuh menabrak tubuhnya. Lalu dengan erat Bejo memeluk tubuh pak Elfan.
“Tidak, Pak Elfan… Saya yang salah. Saya yang telah menghadirkan dendam di hati bapak selama ini. Maafkan saya, Pak..Maafkan saya,” ucap Bejo dalam berlinang airmata. Dan pak Elfan pun jatuh dalam tangis penyesalan yang sama. Suasana di kamar perawatan itu mendadak menjadi penuh dengan keharuan. Semua orang hampir meneteskan airmata secara bersamaan, ketika melihat adegan Bejo dan Pak Elfan saat itu. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi pada diri setiap orang. Meski sepintas lalu, mereka hidup dalam kemarahan, kebencian dan dendam.
Setelah lama berada di kamar itu, berbincang sambil tertawa. Pada akhirnya Pak Elfan berpamitan untuk pulang, sebab dirinya memang selepas keluar penjara tidak langsung pulang ke rumah.
“Saya pamit dulu ya, Jo, Pak Haji, Ijah…Terima kasih atas semuanya,” ucap Pak Elfan sambil mengulurkan tangan memberi salam kepada mereka satu persatu.
“Iya iya, sama-sama, Pak Elfan. Semoga hari ini menjadi jalan petunjuk buat kita semua ya, Pak” ucap Pak Haji Mabrur menyambut uluran tangan Pak Elfan sambil menepuk-nepuk bahunya.
“I-iya, Pak Haji. Saya menyadari akan kekeliruan sikap saya selama ini. Terima kasih!”
Pada saat itu, tiba-tiba pintu ruang kamar itu terbuka dan terlihat sosok Udin memasuki kamar itu dengan tergesa, dengan wajah menunjukan kemarahan. Entah bagaimana semua terjadi, semua berlangsung dengan cepat dan tiba-tiba. Udin seketika menubruk tubuh pak Elfan dengan sebuah belati yang tepat dihujamkan ke jantung pak Elfan.
“Mampus! Mampus lo, sekarang!” hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Udin, sambil tangannya yang tengah memegang belati itu, berkali-kali dihujamkan ke tubuh pak Elfan. Semua orang dalam kamar itu menjerit histeris melihat adegan itu. Tidak ada yang menduga kejadian itu akan terjadi. Entah apa yang ada dalam benak Udin, teman satu kerja Bejo, saat ini
Hanya Udin yang terlihat tersenyum menyeringai penuh kepuasan, dengan belati yang kini penuh bersimbah darah dalam genggaman tangannya. Sedang ditangan kirinya menggenggam selembar kertas yang telah diremas-remas dengan geram, bertulisankan Surat PHK!! Tubuh Pak Elfan kemudian ambruk dalam bersimpuh di bawah kaki Udin, lalu jatuh ke samping. Mati!
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini