Akh, tatapan mata itu lagi. Mengapa mereka selalu melepas tatapan mata seperti itu, seolah mereka benar-benar perduli. Tidak, mereka tengah mentertawakan diriku saat ini. Menyalahkan semua hal yang terjadi pada anakku adalah karena kesalahan diriku. Sudahlah! Janganlah kau perdulikan kami. Tidak perlu kau berpura-pura merasa iba, tapi sebenarnya kau tidak menginginkan aku dan anakku berada di dekat kalian.
“Stop! kiri depan, Bang!” teriakku kepada supir angkot yang aku naiki . Dan tak lama kemudian angkot itupun berhenti. Bergegas aku turut sambil menyeret Rangga, anakku. Aku ingin segera pergi menghindari tatapan mata itu. Tidak bisakah mereka untuk tidak memperdulikan kami?! Saat aku membayar angkot ini, seorang lelaki muda yang duduk dikursi depan, di samping supir pun, melepas pandangan yang sama kepada anakku. Ingin rasanya aku mencabik-cabik wajah pemuda itu.
…
Aku tarik tangan Rangga untuk cepat-cepat menghindar dari tatapan mata-mata itu. Dan seperti biasa, dia hanya mengikuti apa yang aku perbuat dengan pandangan kosong tanpa ekspresi. Ah, kenapa dengan dirimu, Nak?! Tidakkah kau lihat bagaimana mereka melecehkan dirimu?! Tapi percuma berbicara denganmu, kau tak akan pernah mengerti dan akan sulit untuk kamu mengerti hal-hal seperti ini. Sedangkan untuk membedakan angka 1 dan 2 pun kau butuh berbulan-bulan untuk mengerti itu.
“Baru pulang, Bu Rangga?,” tiba-tiba suara sapaan mengejutkanku, saat sudah berada di dalam gang menuju rumahku. Seketika langkahku terhenti. Seorang tetangga yang kebetulan sedang berada di luar rumah, Ibu retno. Dia salah satu tetangga yang cukup baik kepada kami selama ini. Dia satu-satunya tetangga yang begitu baik memperlakukan Rangga, seolah Rangga selayaknya anak-anak lain.
“E-eh, iya, Bu. Baru pulang..” jawabku cepat dalam gugup, karena sedari turun dari angkot aku tergesa-gesa jalan tanpa menoleh ke kiri-kanan jalan.
Ibu Retno tersenyum, lalu ia juga tersenyum kepada Rangga. “Eh, Rangga, kok, diem aja ditanya sama ibu? Ayo, jawab doong… Rangga habis pulang sekolah, yah?,” tanya Ibu Retno dengan lembut dan penuh kasih. Lalu ia berjalan menghampiri Rangga. Membungkukan tubuhnya. Sementara Rangga malah menyembunyikan wajahnya di belakangku. Karena mendapati sikap anak Rangga yang bersembunyi, Ibu Retno menegakan kembali posisi tubuhnya, sambil tangannye membelai lembut rambut kepala Rangga.
“Ya, sudah, Bu. Kami permisi dulu,” ucapku kemudian. Dan Ibu Retno hanya tersenyum sambil menganggukan kepala.
Saat melangkah meninggalkan Ibu Retno, aku melihat Rangga sempat menoleh ke arahnya, sambil tersenyum. Dan akupun melihat Ibu Retno melambaikan tangan kepada Rangga. Ah, cuma dia satu-satu orang yang benar-benar tulus dalam memberi perhatian kepada Rangga di daerah tempat tinggalku.
…
Rangga akhirnya tertidur juga. Setelah sebelumnya dia berteriak-teriak marah, memukuli diriku, dan melempar semua barang yang ada dirumah. Hanya karena aku ingin mengganti seragam sekolahnya. Setelah dia merasa lelah dengan semua yang dia lakukan. Akhirnya dia mau untuk aku gantikan pakaiannya.
Kamu memang berbeda, Anakku. Semua orang yang melihatmu, pasti bisa langsung mengetahui kalau dirimu memang berbeda. Wajahmu bulat seperti bulan. Dokter menyebutnya Moon Face, dengan mata yang menyipit dengan sisinya seolah tertarik. Jidatmu yang melebar panjang, mulutmu yang tak pernah berhenti terbuka mengeluarkan air liur. Kau memang berbeda, Anakku...
Entah mengapa kau selalu mengamuk jika menginginkan sesuatu yang ibu tidak mengerti apa maksudnya. Atau ketika Ibu tidak berkenan memenuhi maumu, atau saat Ibu memintamu melakukan hal-hal kecil untuk dirimu sendiri. Seperti makan, mandi dan berganti pakaian. Dirimu selalu saja berteriak-teriak marah, melempar apapun yang bisa kau lempar, memukuli ibu sedemikian rupa.
Ataukah kamu sendiri merasakan kemarahan sebagaimana ibu, Nak? Kamu marah dengan keadaanmu yang tidak normal itu? Kamu marah dengan kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu? Kamu marah kepada Ibu yang telah melahirkan kamu dengan keadaan seperti ini?! Kamu marah. Marah pada semua yang ada?! Maafkan ibu, Nak… Semua memang salah Ibu.
…
Ya Tuhan, mengapa Engkau bebankan kepada anakku semua kesalahanku? Aku mungkin rela dengan semua hukuman yang akan Engkau berikan kepadaku. Tapi mengapa semua Engkau limpahkan semua kepada anakku? Apa salahnya kepada-Mu? Aku tak sanggup membayangkan kehidupannya kelak. Ketika aku tak lagi ada dalam kehidupan ini, ketika kau memanggilku pulang.
Kehidupan inipun masihlah dipandang bagi hamba-hambamu yang terlahir sempurna itu, adalah kehidupan yang keras dan berat. Lalu Bagaimana dengan anakku?! Bagaimana dia akan menjalani kehidupan yang kejam dan keras ini kelak? Sedang dia tak pernah tahu mana hitam, mana putih?.
Aku belai lembut rambut kepala Rangga, begitu lelap dia tertidur. Wajahnya seolah tersenyum. Akupun tak mengerti apa yang ada dalam mimpinya hari ini. Begitu indahkah mimpi itu bagimu, Nak? Tidurlah.., bermimpilah.., biarkan tidurmu menjadi satu-satu jalan bagi dirimu untuk sejenak menghilang dari kehidupan ini. Hilang dari tatapan mata mereka kepadamu, yang merasa iba sekaligus risih dan juga takut. Tidurlah, Nak… Tidur dan bermimpilah..
…
Di dapur aku diam termangu. Bayang-bayang masa lalu kembali hadir. Dulu disini. Aku dan suamiku bertengkar.
“Tidak.Tidak! Tidak mungkin dia itu anakku. Tidak mungkin!” ucap Mas Hendro saat itu. Aku mendapati perkataannya itu yang seolah menuduh diriku. Tentu saja aku tidak terima.
“Mas! Jadi kamu menuduh aku berselingkuh dengan lelaki lain, begitu?!” teriakku membela diri.
Seketika Mas Hendro membalikan arah tubuhnya membelakangi aku.“Aakh! Aku gak tau! Yang pasti tidak mungkin dia anakku. Tidak mungkin anakku seorang idiot! Tidak ada dalam keluargaku itu keturunan idiot!!”
“Mas!!”
Setelah itu Mas Hendro mengemasi semua barangnya dan tak pernah kembali lagi. Mungkin dia malu memiliki anak yang terbelakang seperti Rangga. Atau mungkin dia sendiri tak tahu harus berbuat apa untuk kehidupan Rangga kelak. Sebagaimana yang aku rasa saat ini. Sungguh, hati ini setiap saat serasa tercabik-cabik disaat membayangkan kehidupannya kelak. Apakah mungkin dia bisa merasakan kehidupan sebagaimana orang yang normal? Kegembiraan dalam bermain, sekolah setinggi-tingginya, jatuh cinta, menikah dan memiliki keturunan. Ya, Tuhaaan… Apakah mungkin?
Dada ini begitu sesak, sesesak-sesaknya ku rasa. Sakit! Sakit rasanya jika mengingat semua itu. Bagaimana aku bisa percaya kepada kebaikan semua orang itu? Jika seorang lelaki yang seharusnya menjadi ayah bagi dirinyapun pergi. Dan setiap saat aku mendapati pandangan mata yang sama seperti tadi. Ya, Tuhan,… Airmata itupun jatuh.. satu persatu. Perlahan, lalu menjadi lebih deras ketika sesak semakin terasa atas ketidak berdayaanku merubah semua keadaan ini. Dalam bayanganku, anakku berdiri dalam linangan airmata, dalam gemetar ketakutan. Dimana orang-orang di sekelilingnya mengejeknya, “Anak bego..! Idioot..! Bocah bego.. idioot…!” Mereka berkeliling meneriakan kata-kata itu sambil tertawa.
Tidak! Tidak akan aku biarkan mereka melakukan semua itu kepada buah hatiku tercinta. Tak akan aku ijinkan!!
Seketika tangisku terhenti, berubah menjadi kemarahan yang tercerminkan dari desahan nafasku yang memburu. Aku raih sebuah pisau dan bergegas berjalan menuju kamar dimana Rangga tidur. Maafkan ibu, Nak!
….
“Astagfirullah, Len..” ucap Ibu Retno tak percaya atas apa yang baru saja aku ceritakan kepadanya. Di tangan ini masih menggegam pisau.
“Sudah. Sudah.., syukur kalau kamu cepat tersadar, Nak” Ibu Retno mencoba menenangkan aku yang tengah menangis meraung-raung dalam pelukannya. Diraihnya pisau dari genggaman tanganku dan tangisku pun semakin pecah.
“A-aku gak sanggup, Bu... A-aku gak bisa membayangkan kehidupan anakku nanti, Buu…” ucapku disela-sela tangis. Tangisan yang ingin ku lepas dalam peluk ini. Aku tak mampu untuk menghentikan tangis ini. Sesak itu semakini menjadi-jadi. Tidak! Aku tidak ingin menghentikan tangis ini. Selama ini, semua itu hanya terlepas dalam tetesan airmata yang bisu. Aku ingin semua terlepas dalam tangisan yang meraung-raung saat ini. Aku lemah! Bagaimana aku bisa menjadi seorang ibu bagi anakku?! Rangga butuh seorang Ibu yang tegar yang setiap saat ada dan kuat untuk membela dirinya. Tidak seperti diriku saat ini.
Kesedihanpun tergambar dari wajah Ibu Retno. Dia tidak percaya saat mendapati diriku berdiri di depan rumahnya dengan tubuh gemetar, penuh keringat yang membasahi sekujur tubuhku. Di tanganku sebuah pisau tergenggam dengan erat dan dia semakin tak percaya bahwa aku tadi berniat untuk menghabisi nyawa Rangga, anakku.
..
Di dalam kamar itu, aku dan Ibu retno berdiri menatap Rangga yang masih tersenyum, terbuai dalam mimpi indah tidurnya. Aku masih sesegukan, sisa tangis masih tertinggal. Dengan penuh kasih, selayaknya seorang ibu, direngkuhnya tubuhku.
“Lihatlah, Lena… Dia adalah Rangga anakmu. Anakmu, Len?! Apa yang salah darinya?” ucap Ibu Retno kemudian.
Aku hanya bisa diam dan masih dalam sisa tangisku
“Jangan pernah kau lihat dia sebagai anak yang berbeda, Len. Lihatlah dia sebagai anak yang sama seperti juga anak-anak yang lain dan dia adalah anak yang istimewa! Perlakukan dia selayaknya anak yang tidak terbelakang. Ajarkan dia tentang kemandirian hidup, bukan ketakutan. Jangan biarkan dia selalu tergantung kepadamu, Len”
Sesaat aku tertegun mendengar ucapan Ibu Retno. Dan beliau membalas tatapan itu dengan senyuman.
“Aku merasa tak bisa melakukan semua itu seorang diri, Bu” ucapku lirih.
Ibu Retno kembali tersenyum. Ditatapnya diriku lekat-lekat,”Ingat, Sayang.. Tuhan selalu memiliki tujuan atas apapun yang telah Dia ciptakan, tidak terkecuali Rangga. Mintalah.., minta pertolongan kepada-Nya. Mintalah perlindungan- Nya.. Untuk kehidupan Rangga hari ini dan esok. Percayalah.., Dia Maha Mendengar dan Maha mengabulkan”
Akupun terduduk di sisi tubuh Rangga yang tertidur. Aku belai rambut kepalanya. Airmatapun jatuh lagi satu-satu. Ku kecup kening Rangga. Maafkan Ibu, Nak..
“Kau tak akan pernah tahu apa yang dapat dilakukan oleh anak istimewa seperti Rangga, Len. Jika dirimu setiap saat dihantui ketakutan” ucap Bu Retno lagi. Aku tatap sesaat Ibu Retno, kembali ia hanya membalas dengan senyuman.
“Maafkan..,maafkan, Ibu, Nak” ucapku lirih mendekap kepala Rangga. Hari ini dan seterusnya, kamu adalah anak Ibu yang paling istimewa, spesial! Yang lebih hebat dari mereka. Kita akan merubah tatapan itu menjadi satu tatapan penuh kekaguman akan dirimu, Nak. Ya, mereka harus mengetahui bagaimana sempurnanya kamu diciptakan.
..
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini