Tidak ada seorang pun yang akan tahu rencana Tuhan, apa yg Tuhan kehendaki atas dunia dan kehidupan ini, atas diri kita sebagai manusia. Perkenalkan namaku Anto Kubil, seorang laki-laki yang lahir dari rahim seorang Ibu yang seorang pelacur. Aku tercipta dari benih seorang laki-laki yang Ibu sendiri tak tahu pasti, dari lelaki yang mana benihku ini berasal.
Aku terbiasa dipanggil Kubil, walaupun sebenarnya nama pemberian Ibunda tercinta adalah Yanto Priyanto, nama dengan pengulangan kata “anto”, yang ketika ku tanyakan hal itu kepada Ibu mengapa seperti itu, ibu hanya menggelengkan kepalanya. Ya, itu mungkin karena Ibu sudah terbiasa dengan kata pengulangan yang dipengaruhi oleh pekerjaan Ibu dulu. Yang selalu berulang-ulang disetiap semalam melayani para lelaki hidung belang, lagi dan lagi
Ya, aku Kubil. Dipanggil Kubil karena katanya tubuhku ini penuh dengan kudis dan kutil. Kudis yang bukan hanya ada disekujur tubuh, tapi juga di wajahku dengan kulit yang mengeriput kecil-kecil berwarna merah dan juga putih. Serta tonjolan-tonjolan kecil yang menyerupai kutil.
Kata ibu, aku ini mirip dengan Pangeran dari negeri dongeng, dari cerita yang dulu sering ibu dengar saat Ibu masih kecil. Tapi ketika ucapan Ibu itu aku sampaikan kepada semua orang, sebagian orang tertawa sambil berkata “Iya, elo emang kaya pangeran, tapi pangeran yang dikutuk!” Ucapan mereka itu cukup menambah keyakinanku akan ucapan Ibu, bahwa aku adalah seorang Pangeran, meski hanya seorang Pangeran yang tengah dikutuk. Ya, aku adalah Pangeran Kubil.
Lalu dimana istanaku?..
Istanaku adalah bangunan megah yang berdiri kokoh di atas sanggahan balok dan bambu. Dimana dinding istanaku terbuat dari kardus industri, tanpa jendela tanpa kaca dan pintu. Istanaku terletak tak jauh dari Istana milik Bapak President. Hanya berjarak 20 kali belokan ke kanan, 32 kali belokan ke kiri, dan 10 jalan lurus. Sebuah Istana yang berdiri di samping rel kereta api, tidak terlalu jauh juga dari tempat ibu dulu biasa menjajakan kenikmatan kepada banyak lelaki. Tapi sekarang, Ibu adalah Ratu di Istana itu. Istana yang kami bangun dengan janji untuk selalu bersama dalam kondisi apapun, dalam suka dan duka
Suara deru kereta yag melintas adalah nyanyian syahdu yang didendangan untuk diriku. Selalu saja mampu membawa diriku terlelap dalam mimpi malam yang indah. Belum lagi suara irama melayu yang sayup-sayup terdengar dari tempat dimana ibu dulu bekerja. Perpaduan nada-nada indah sebagai teman yang selalu aku rindukan setiap saat mereka hilang. Ketika ada penertiban yang tiba-tiba saja ramai dilaksanakan. Semua menjadi sepi, membuat diriku gelisah dan merindu, untuk bisa mendengar lagi, lalu kembali bisa meraih lelap. Tapi untungnya mereka selalu kembali dan kembali…
Aku Kubil, Pangeran Kubil. Orang-orang selalu menyanjung dan memuja diriku setiap saat aku melintas di depan mereka, memandangku dengan tatapan mata yang terpesona dan kagum. Atau dengan malu-malu mereka saling berbisik, mengucap kata puja-puji serta sanjungan kepadaku.
Dan kadang aku selalu mendapat sambutan meriah dari anak-anak kecil setiap kali aku datang ke daerah mereka. “Kubil jelek..! Kubil jelek…!” atau “Kubil gila..! Kubil gila…!” dan ”Kubil kudis…! Kubil kutil..! Kubil bintil..!” Betapa bangganya aku menerima semua kemeriahan dalam sambutan mereka yang penuh cinta itu. Terkadang para pemuja itu histeris manakala melihatku dan kemudian memukul dan melempari aku dengan batu, sandal atau apapun yang bisa mereka raih. Ya, layaknya seorang selebritis. Tapi aku adalah seorang Pangeran yang mereka puja dan sanjung-sanjung.
Hidangan makananku adalah anugerah yang diberikan dari para pemuja, dari sebuah Restoran yang cukup besar. Dimana setiap saaat dengan segala kehormatannya mereka melemparkan semua hidangan itu ke tempat sampah. Hidangan yang tak pernah berhenti untuk selalu mereka berikan dengan cuma-cuma untuk aku, Pangeran Kubil.
Setiap hari aku selalu pergi berburu atas titah Ibu dengan menunggangi kedua kaki yang tak sama panjang, berbalut pelana sandal jepit warna warni yang aku dapati dari setiap pemuja yang histeris saat mereka melihat diriku. Dan dengan segala rasa hormat mereka kepadaku, mereka melemparnya tepat di wajah ini. Oh, betapa hebatnya aku.
Aku berburu di setiap sudut-sudut rimba jalan kota, di setiap danau selokan, di pasar-pasar tradisional, di gedung perkantoran ataupun di Mall. Senjataku adalah senjata pusaka pemberian ibu, sebuah besi yang panjang dengan ujung kepalanya berbentuk seperti mata pancing. Dan sudah barang tentu juga, aku tidak akan terlupakan sebuah karung besar tempat aku menyimpan semua hasil buruanku.
Kegiatan berburu yang selalu menarik bagiku meski dalam terik matahari. Disaat lelah, aku selalu berhenti dan melepaskanya rasa kantukku dengan bersandar di pohon-pohon rindang berlantai keramik, hutan pertokoan yang terlupakan lagi sepi. Semilir angin yang berhembus seolah membelai lembut wajahku, sejuknya udara kabut asap pabrik dan knalpot, menjadikan tempat peristirahatan ini menjadi semakin sempurna.
Buruanku adalah hewan kelinci berlabel air mineral, Ular kardus, Babi panci rombeng, Kijang plastik, dan masih banyak lagi. Ketika senja mulai datang, aku kembali pulang ke istana. Disambut Ibunda Ratu dengan senyuman terindah dan kemudian Ibunda membawa hasil buruanku. Aku sendiri tak pernah tahu kemana Ibunda Ratu membawa seluruh hasil buruanku setiap hari. Yang terlintas dalam pikiranku hanyalah semua itu Ibu berikan untuk semua rakyat memujaku, mereka yang membutuhkannya. Atau untuk acara pesta para pejabat Istana. Aku selanjutnya akan terlelap di atas ranjang terbaik, ranjang tanah yang berlapiskan tumpukan kardus, busa dan koran bekas.
Aku adalah Kubil, Sang Pangeran. Hari ini aku harus bertempur, berperang melawan puluhan prajurit lalim yang berseragam coklat, hijau dan juga bertopi. Karena mereka akan merebut dan menghancurkan istanaku. Istana yang aku bangun bersama Ibunda Ratu dengan janji. Aku tidak rela!
Mereka yang selama ini ditakuti oleh hampirsemua pemujaku, mereka yang terkenal kejam tanpa belas kasih dan mereka yang terkenal tak pernah kalah dalam pertempurannya. Tapi tidak untuk hari ini. Aku Pangeran Kubil dan Ibuku adalah adalah Ratu dari Istana yang kami bangun dengan janji, dengan seluruh jiwa raga kami. Tidak akan ku biarkan mereka mendekat dan menyentuh sedikitpun Istanaku ini.
Lihat, Ibu! Lihat! Bagaimana ganasnya Putra kebanggaanmu ini melawan keberingasan mereka! Tak ada rasa gentar dihatiku sedikitpun, aku rela mati hari ini. berbekal senjata pusaka pemberian ibu. Aku ayunkan dengan cepat dan lincahnya ke semua arah, menghantam mereka bertubi-tubi. Tanpa perduli meski mereka bersenjatakan lengkap dengan tameng, penutup kepala dan sepatu tapal besi. Sesekali senjata pusakaku berbentur dengan senjata mereka yang melonjong hitam. Sementara Ibunda bersembunyi dalam gemetar di dalam Istana…
?Jangan mendekat!! Lihat apa yang telah kalian lakukan pada ibunda Ratu?! Lihat..!!” teriakku marah saat melihat Ibunda yang ketakutan seperti itu.
Namun bagaimanapun juga mereka memang terkenal pantang menyerah, mereka yang memang tak pernah kalah, mereka yang memang tak pernah berbelas kasih. Mereka yang pada akhirnya di waktu hari semakin gelap, secara tiba-tiba menghantamkan senjata mereka yang lonjong hitam itu tepat di tengah batok kepala ini.
Oh, apa yang terjadi?! Tiba-tiba lautan darah mengalir memenuhi seluruh wajah dan kepalaku. Sesaat pandanganku terhalangi oleh darah yang jatuh menutupi kedua mata ini. Aku tidak merasakan sakit ketika senjata mereka yang lonjong hitam itu menghantam batok kepala ini. Yang aku rasakan adalah sebuah sentuhan yang melembutkan segala rasa dihati ini. Aku tertegun sesaat dan tersadar. disaat aku mendengar terikan Ibunda Ratu dalam tangisan, ”Antoo…!!”
Ibu berlari cepat berhambur keluar Istana menuju ke arahku. Namun sebelum sampai, tiba-tiba tangan-tangan kasar menahan tubuh Ibu yang kemudian meronta-ronta menyebut namaku…Antoo..!! Antoo…!!
Aku beranjak dari ketertegunanku dan berlari geram menuju mereka yang menahan tubuh Ibu. Senjata pusaka aku acungkan kelangit setinggi-tingginya, ku kibaskan berputar siap untuk menerjang. Namun tiba-tiba.., BUKK!! Sentuhan lembut itu kembali menghantam batok kepalaku. Aku mencoba untuk tetap berdiri, menopang tubuh pada senjata pusaka dalam genggaman. Tapi.., “BUK!! BUK!! BUK!! Sentuhan-sentuhan yang penuh dengan kelembutan itu terlalu menyentuh alam sadarku. Akupun terlena dan jatuh!
Dalam terkapar, dalam samar pandangan kedua mata yang terhalangi luapan darah. Dalam keterlenaan yang hampir sampai, aku masih bisa melihat bagaimana Ibu masih terus menjerit dan meronta…
Saat itu, saat semua belum terlalu gelap dalam pandanganku. Aku masih bisa melihat bagaimana Istana yang aku bangun dengan janji bersama Ibunda Ratu, telah rata dengan tanah. Dan kemudian aku semakin terlena dalam gelap pandanganku. Semakin gelap dan hilang sama sekali.
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini