“Hen.. Hendra,” samar-samar aku mendengar suara memangil-manggil namaku, lalu sentuhan lembut terasa di pipiku.
“Hen,kita sudah sampai, Sayang..” ucap suara lembut itu lagi. Dengan bersusah payah, aku coba untuk bisa membuka mata ini. Tapi… Akh! Kepala ini terasa berat sekali. Pening. Dan dalam samar pandanganku, aku menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita yang aku kenal tersenyum menatap diriku. Dia adalah Tante Siska.
“Udah sampai kita, Tante?” tanyaku sambil memegang kepalaku yang terasa berat ini. Tante Siska hanya menganggukan kepala. Lalu ia pun membuka pintu, keluar dari mobil, dan berjalan memutar menghampiri pintu dimana aku duduk.
Dibukanya pintu mobil itu,”Yuk, tante bantu kamu turun”
Lalu diletakannya tanganku di bahunya, sementara tangan kanannya melingkar di pinggangku. Membantu diriku untuk turun dari mobil dan berdiri.
“Kamu mabuk berat tadi, Sayang..” ucap Tante Siska, sambil tangannya mengelus lembut pipiku.
“Oh. Eh, iya yah?” jawabku setengah sadar dan tidak. Lalu Tante Siska mengecup pipiku. “Emmuaach..! Nanti kita ketemu lagi yah.?!” Ucapnya lagi sambil tangannya masuk ke dalam saku celanaku. “Dan ini buat saku kamu selama kita pisah, yah.” Dikecupnya lagi bibirku.
Aku hanya diam, masih dalam keadaan sadar dan tidak. Aku hanya mampu menganggukan kepala. Lalu Tante Siska kembali berjalan memutari mobil, membuka pintu dan kemudian masuk kedalamnya. Tidak lama kemudian mobil itu melaju. Masih sempat ia melambaikan tangan kepadaku dan melepas ciuman jarak jauh. Aku membalas lambaian tangan itu dan berhenti saat mobil itu hilang dari pandangan di sebuah tikungan.
Aku melangkah gontai menyusuri jalan setapak yang masih tanah menuju rumahku. Suasana malam yang dingin dan semilir angin yang berhembus membuat dingin itu semakin terasa. Tapi karena efek dari berbotol-botol minuman beralkohol yang aku tenggak. Dingin ini tidak begitu terasa olehku, hanya burung hantu yang bertengger di atas pohon yang merasakan bagaimana dinginnya malam. Sesekali ia menggoyangkan tubuh, bulunya bermekaran, seolah mencoba mengusir dingin yang semakin menjalar dalam tubuhnya.
Aku berjalan dalam langkah yang goyah, menembus kabut yang mulai turun sebatas lututku. Samar-samar aku melihat jalan itu. Dalam samar pandangan mata ini, sulit bagiku untuk bisa memilih jalan yang harus aku tempuh. Jalan itu seolah menari-nari kesana-kemari. Kadang aku harus diam, mencoba menangkap jalan itu agar diam. Lalu mulai melangkah lagi. Selangkah demi selangkah. Berhenti, lalu jalan lagi. Saat ketika keseimbangan tubuhku hampir lepas. Aku segera bersandar pada pohon besar yang ada di sektiar jalan ini. Panas! Tiba-tiba panas semakin menjalar ke seluruh tubuhku. Rasa pening, berat, dan sakit di kepalaku semakin terasa. Dan tiba-tiba ada sesuatu yang mendorong-dorong keluar dari dalam tubuhku.
Hoeeekk..!! Hoeekkk..!! Uhuk! Uhuk! Hoeks!....Cuh!!
Keluarlah semua isi dalam perutku, yang lebih banyak berisi air. Mungkin sedikit telihat kacang kulit yang telah lebur menjadi bubur dalam muntahku. Aku tengadahkan kepalaku menghadap langit, sambil tanganku mencoba membersihkan sisa liur yang menempel di tepi bibirku.
“Akh, sialan!” Aku melihat bulan yang mengintip di atas sana, di balik awan hitam. Seolah jijik melihat diriku dan apa yang baru saja aku lakukan. Dan sepertinya bosan melihat diriku selalu seperti ini dalam melewati hari-hariku. Aku angkat tangan kananku menghadap bulan, sambil satu jari tengah aku layangkan kepadanya, “Fuck You, Bulan! Emang gua pikirin!!” teriakku dan kembali melanjutkan perjalanan pulang.
…..
Bruk! Bruk! Bruk!! “Bukaaaa..! Wooiii! Buka pintunyaa!!” teriakku sambil mengedor-gedor pintu rumah. Tidak lama kemudian aku mendengar suara langkah tergopoh-gopoh dari balik pintu.
“B-bang.. m-maaf tadi ketiduran di kamar udin,” ucap Ijah, istriku, saat pintu itu terbuka sedikit dan kepalanya melongok keluar.
“Aakh! Berisik, Lo! Lelet bener jadi perempuan!” ucapku sambil mendorong pintu itu dengan kasar agar terbuka lebih lebar. Tubuh ijah sekonyong-konyong terdorong ke belakang. Badannya merapat ke dinding yang menahan jatuh tubuhnya. Masih dengan langkah yang sedikit terhuyung, aku berjalan memasuki kamar. Tanpa memperhatikan istriku lagi. Mungkin kepalanya sempat terbentur dengan tembok tadi. Tangannya terlihat mengusap-usap bagian belakang kepala.
Setelah berada di dalam kamar, aku langsung menjatukan tubuhku di atas kasur. Masih sempat melihat Ijah mengintip dari balik pintu yang dibukanya perlahan. ‘Ah, perempuan tolol itu,” gumamku. Kemudian dengan berhati-hati menutup pintu kamar. Pelaan… sekali. Seolah takut suara derit yang keluar dari pintu itu, akan membangunkan diriku yang sebenarnya masih belum tertidur. Ya, sepertinya dia memang takut kepadaku.
Entahlah, aku tidak tahu. Bagaimana bisa dirinya terdampar di tempat ini? Di rumah ini bersamaku? Sekilas dalam kesadaran yang masih tersisa aku terbang kemasa-masa lalu. Ke masa yang paling suram dalam perjalanan hidupku. Masa-masa yang tak pernah bisa aku lupakan, meski berbotol-botol minuman keras itu aku tenggak. Kemanapun aku pergi, aku selalu saja dihantui oleh bayangan lelaki sialan yang harus ku panggil ‘Bapak!’
Lelaki yang dengan gampangnya melepaskan tamparan ke wajahku. Ketika dia merasa aku sedikit mengganggu kesenangannya. Atau ketika aku tidak menjawab dengan segera panggilannya. Lelaki yang dengan cepat bisa melemparkan gelas, botol-botol kosong, asbak atau apapun yang dapat di jangkaunya. Pada saat ia kehabisan minuman beralkohol itu dan tak mampu untuk membelinya lagi. Dengan cepat mendekati diriku, untuk kemudian mencengkram keras bahuku pada saat aku baru tersadar bahwa darah meleleh jatuh dari kepalaku. Namun tanpa perduli akan darah itu, ia memaki diriku, melempar aku hingga jatuh tersungkur
“Dasar anak sialan! Gara-gara elo, gua kehabisan uang! Kerjaan lo cuma maen melulu!! Bantuin gua, kek, cari duit!” makinya kepadaku, menjadikan aku sasaran pelampiasan atas habisnya uang yang telah dia hamburkan di meja judi dan untuk membeli botol-botol minuman itu.
Lelaki sialan itu menyeret aku ke kamar mandi, menelanjangi aku. Lalu dilemparnya gayung yang mengambang di atas bak mandi ke arahku. Namun meski dalam keadaan mabuk seperti itu, gayung itu masih sempat mengenai tubuhku dengan keras. Sehingga menimbulkan rasa sakit. Tak puas sampai disitu, diangkatnya ember yang penuh air untuk ditumpahkannya semua ke tubuh telanjangku. Dan terakhir, dengan segenap tenaganya dihempaskan ember kosong itu menutup kepala dan sebagian tubuhku yang meringkuk kedinginan.
Aku menangis dibuatnya, tapi hal itu tidak membuat rasa iba itu muncul. Ditariknya tanganku, dihempaskan di sudut kamar mandi. Dan dalam gelap pandanganku, karena wajahku masih tertutup ember. Aku mendengar suara pintu kamar mandi ini dikunci. Langkahnya terdengar menjauh dari kamar mandi, semakin menjauh meninggalkan rumah ini.
Sementara aku yang masih dalam keadaan telanjang, basah dan kedinginan terkunci. Menangis sejadi-jadinya. Namun tangisan serta teriakanku tidak membuat langkahnya kembali untuk membuka pintu ini. Aku terpenjara dalam kedinginan sepanjang malam. Pintu akan terbuka ketika dari sela-sela tembok, ada cahaya matahari yang masuk dan aku mengetahui bahwa pagi telah datang. Maka kembali aku berteriak-teriak keras, berharap ada orang yang mendengar dan membukakan pintu ini. Meski aku tahu, siapapun yang membantu membukakan pintu ini, pasti akan segera pergi dalam ketakutan meninggalkan aku. sebab mereka tahu siapa lelaki sialan yang harus aku panggil ‘bapak’ itu.
Luka memar, kepala yang bocor, mata yang membiru, pelipis dan bibir yang sobek, bagian bokong perih, dan pipi yang merah panas. Sudah jadi makananku hampir setiap hari. Entah, semua itu aku dapat dari ikat pinggang yang membabi buta menghujam seluruh tubuhku, atau dari gayung dari kamar mandi, gagang sapu, asbak, botol, piring atau gelas. Atau bahkan hasil buah karya tangan bapaku sendiri.
Aku usap sedikit bekas luka yang tak hilang di pelipis mataku. Inilah satu karya terhebat dari lelaki jahanam itu. Dia yang di jari-jari tangannya bertengger sebuah batu akik besar, berhasil membuat pelipisku harus mendapat 7 jahitan, berbekas hingga kini. Dan Ijah saat itu, satu-satunya manusia yang sudah kehilangan kesadarannya. Sekian banyak orang lari menghindar dan menjauhi diriku karena takut kepada lelaki keparat itu. Aku sendiri memilih untuk menghindari mereka. Tapi, entah apa yang membuat Ijah mau mendekati dan berteman denganku.
Pada akhirnya, semua hal yang terjadi pada diriku diketahui ijah. Dari semua kedekatan itu. Aku akhirnya bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam hidupku. Dan aku jutuh cinta, seolah kehidupanku memiliki warna yang baru, harapan baru. Tapi tetap saja, seberapa keras usaha yang dilakukan Ijah untuk bisa menariku keluar dari kehidupan keras itu. Lelaki jahanam itu lebih berkuasa atas kehidupanku….
Semakin hari, semua semakin membuatku jauh dari kebahagiaan. Sakit bukan hanya sakit dalam tubuh ini. Namun telah berakar menjadi dendam. Ada malam-malam, di mana bapak pulang dengan keadaan yang sama. Tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Dibekapnya mulutku, dibaliknya tubuhku telungkup dan entah apa yang merasuki dirinya. Tiba-tiba dia melorotkani celanaku. Seketika aku merasakan sakit yang teramat sangat pada duburku. Aku ingin berteriak! Tapi aku tak bisa. Tangan lelaki keparat itu begitu keras membekap mulutku, sehingga kadang membuat aku sendiri sulit bernafas. Aku hanya bisa merasakan sakit dan dengus nafas lelaki sialan itu disisi wajahku. Dengan tetesan keringat yang jatuh satu persatu menimpa rambut kepalaku
Aku tak bisa melupakan hal itu! Tidak bisa!! Rasa sakit itu telah tertancap dalam dadaku, perih itu bukan hanya perih yang aku rasakan pada duburku. Tapi perih yang selalu kurasakan dalam sesak dada ini. Meski berbotol-botol minuman aku tenggak, meski berpuluh-puluh pil ekstasi aku telan. Sejenak hilang. Tapi kemudian dia akan datang lagi dan lagi. Bersama wajahnya yang menyeringai. Lihatlah! Luka di dahi ini membuat semua ingatan itu tak pernah mau pergi!
Walau pada akhirnya siksaan itu berhenti. Itu hanya karena kematiannya. Kematian yang aku buat sedemikian rupa. Ketika suatu malam, aku berfikir untuk menghabisi nyawanya, tapi aku tak mau diriku terkukung dalam penjara, sebagaimana penjara yang aku rasakan di dalam kamar mandi. Aku berfikir untuk menghabisinya dengan caraku sendiri.
Sebuah botol minuman aku siapkan. Dengan hati-hati aku buka tutupnya jangan sampai rusak. Lalu memasukan segala macam obat-obatan, berpuluh-puluh pil obat kuat, dan juga obat tidur, serta ekstasi ke dalam botol itu. Aku diamkan, aku biarkan larut sambil menunggu dia pulang dan tertidur di samping botol-botol itu. Dan seperti yang aku tahu, efeknya dari botol-botol yang biasa ia tenggak selalu membuatnya ingin buang air. Dan saat itulah, dengan diam-diam aku menukar botol yang ada diatas meja dengan botol yang telah aku siapkan. Lalu menunggu semua terjadi dalam lelap tidur.
Benar saja, esok harinya aku mendapati dirinya terkapar dengan mulut yang berbusa. Wajah pucat dan membiru, dengan mata yang melotot melihatku. Aku tak perduli! Dengan tenang aku pergi ke sekolah sambil melemparkan sisa obat-obatan itu ke tubuh mayatnya. Dan saat aku pulang dari sekolah, aku mendapati rumahku telah ramai dikerumuni orang-orang kampung. Dari mulut orang-orang itu aku hanya mendengar,”Maaf, Hen.. Bapak kamu sudah meninggal. Sepertinya over dosis. Yang sabar ya, Nak.” Tapi aku hanya tersenyum senang penuh kemenangan. Tidak akan ada airmata untukmu, Lelaki jahanam!!”
……..
Lalu aku jatuh dalam pelukan Tante Maribeth. Awalnya aku berfikir, kebaikannya kepadaku adalah kebaikan seorang ibu yang mampu memberikan kembali kasih sayang yang telah lama hilang dari kehidupanku. Tapi semua itu tiba-tiba sirna, ketika dalam setiap belaiannya selalu berakhir dengan ciuman mesra yang menggoda hasrat birahi dan berakhir dengan nafsu yang terpenuhi tergambar di wajahnya. Tapi aku tak perduli. Kasih sayang dan perhatian, aku dapatkan berlebih darinya. Sebagai pengganti kasih sayang ibu yang telah lama menghilang. Dan lagi, semua kebutuhanku juga terpenuhi olehnya, sekedar untuk menyambung hidupku yang kini seorang diri.
Tapi kisah itu pun berakhir, saat ada seorang lelaki yang tiba-tiba saja mendobrak pintu kamar ketika kami masih dalam keadaan setengah telanjang. Lelaki yang kemudian mencaci maki Tante Maribeth dan menyebutnya sebagai pelacur! Sambil melayangkan tendangan dan pukulan kearahku dan hal itu juga diterima oleh Tante Maribeth. Melihat hal itu terjadi, membuat darahku tiba-tiba bergejolak marah. Dengan segenap kekuatan yang ada, aku berbalik menghajar lelaki itu hingga terkapar tak sadarkan diri. Tapi apa yang terjadi? Tante Maribeth malah memaki dan mengusir diriku, “Apa yang telah kamu lakukan pada suamiku?! Kamu jahat! Pergi Kamu! Aku gak mau lihat kamu lagi. Pergii..!!”
Semenjak itu, aku selalu berlari dari satu pelukan ke pelukan perempuan-perempuan setengah baya seperti dirinya. Mencari kasih sayang yang sempat hilang akan sosok ibu, sebagaiman hari ini, dengan Tante Siska. Menghabiskan waktu hingga pagi tiba, melepas hasrat birahi untuk memberikan mereka kenikmatan. Tenggelam dalam ketidaksadaran diri, terpengaruh oleh berbotol-botol minuman memabukan dan obat-obatan yang aku tenggak.
Ibu.. Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja kebencian menggerogoti hati, pikiran dan kesadaranku. Semua rasa sakit ini ada karena Ibu! Mungkin jika ibu tidak lebih dulu meninggalkan diriku dengan Lelaki keparat itu. Mungkin aku tidak akan mengalami semua ini. Ini salahmu, Bu! Salahmu! Aku benci Ibu…!!
Segenap rasa sakit dan kebencian menjadi satu dalam diriku, menggetarkan tubuhku dengan hebat. Aku tak kuasa lagi berada dalam bayang-bayang Lelaki sialan itu, rasa sakit dan juga kebencian akan sosok Ibu yang telah menyebabkan semua ini harus aku alami. Bergegas aku bangkit dengan sorot mata penuh kebencian. Aku berlari keluar dari kamar.
Berteriak-teriak memanggil nama istriku,“Ijaaaah..!! Ijaaahh..! Dimane lo?!” Seperti orang yang kesurupan, aku mencari-cari sosok perempuan sialan itu. Dan aku mendapatinya tengah berada di sudut kamar anakku. Dengan wajah ketakutan, gemetar sambil merengkuh tubuh udin yang juga berada dalam ketakutan.
“Ja..jangann, Bang. Aampuuuun…, Bang,” ucap Ijah mengiba. Mungkin inilah sumber ketakutan yang tadi sempat aku lihat dari wajah ijah. Tapi aku tak melihat perempuan sialan itu sebagai Ijah. Tapi aku melihat sosok Ibu! Ibu yang telah membiarkan semua hal buruk itu terjadi pada diriku. Selama hidupku semua itu terus menghantui setiap tidur malam dalam mimpi-mimpi buruk. Ibu yang aku benci! Aku benci Ibu!
“Sini, Lo!” Dengan kekuatan penuh aku tarik rambut kepalanya dan menggiringnya keluar dari kamar. Aku hanya mendengar jeritan yang mengiba dari perempuan sialan ini dan bocah tengik itu.
“Perempuan sialan! Ibu yang gak becus lo! Ibu macem ape, Lo, hah?!” teriakku memenuhi ruang. Sebuah tamparan keras langsung mendarat di wajahnya. “Gara-gara elo! Gara-gara Lo gak becus ngurus anak! Gara-gara elo yang mesti mati duluan! Lo dah buat gua harus menanggung semua rasa sakit selama hidup gua!” teriakku sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya. Tanganku mencengkram keras kerah bajunya. Perempuan sialan itu hanya menangis, menjerit, dan sesegukan tanpa henti. Mengiba,”Ammpuuunnn…., Bang. Ijah salah apa sama, Abang? Ampuuun, Baang…”
Aku angkat tubuhnya agar tegak berdiri, lalu aku hempaskan keras ke sudut ruang. Tubuh perempuan sialan itu terlempar keras hingga membentur tembok. Terdengar keras suara benturan batok kepalanya yang beradu dengan tembok itu. Namun, dengan cepat aku menghampirinya lagi dan menghujam dirinya dengan pukulan, tamparan dan tendangan bertubi-tubi..
“Mampus! Mampus aja lo sekalian!! Rasa sakit lo gak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang gua rasa selama ini. Dan semua gara-gara elo, sunde!” Tangan ini langsung mencengkram keras batang lehernya, sehingga aku mendengar suara nafasnya yang tercekat, menggapai-gapai udara.
Tapi pada saat itu, tiba-tiba aku merasakan tubuh ini dihantam benda keras. Aku menoleh ke belakang, cengkaraman tangan itupun terlepas, tubuh Ijah jatuh terduduk sambil terbatuk-batuk, berusaha menggapai-gapai udara yang sempat hilang. Ternyata Bocah tengik itu berdiri dalam linangan airmata, gemetar memegang gagang sapu memandang takut diriku. Perlahan-lahan mundur dalam ketakutannya, mendapati diriku yang masih tegak berdiri dan menatap dirinya dengan kebencian.
“Bocah tengik!! Bagus! Lo udah bisa ngelawan sekarang, hah?!. Bagus……” Aku berjalan mendekati dirinya yang terus melangkah mundur. Dan dengan sigap aku tangkap gagang sapu yang berada dalam genggaman tangannya. Bocah itu terlihat panik.
“Ayo, lawan lagi sekarang. Lawan Gua!! Jangan jadi Lelaki pengecut! Banci! Ayo, lawan…!!”
Bocah tengik itu hanya gemetaran dalam ketakutan. Aku benci bocah yang tak berdaya seperti dia. Seharusnya dia bisa melawan. Bukan hanya menangis dan ketakutan begitu!
“Goblok, Lo! Pengecut!” Sebuah tendangan ke arah depan secara mendadak aku lepaskan menghantam tubuhnya. Sekonyong-konyong tubuh kecil itu terpental jauh kebelakang. Tersungkur. Mengaduh. Tidak! Jangan mengaduh! Bangun, Bocah Goblok! Lawan gua! Jangan menangis. Lawan!!” Aku benci bocah yang penakut seperti ini.
Aku seret tubuh bocah tengik itu menuju kamar mandi, aku paksa dia berdiri. Dan tepat di atas bak kamar mandi itu, aku angkat tubuhnya dengan posisi kepala ke bawah. Aku masukan kepala bocah penakut itu ke dalam bak yang berisi air. Dia meronta-ronta. Ayo, merontalah! Lawan! Jangan cuma menangis dan jadi penakut, lawan gua!!”
Dia megap-megap setelah beberapa kali aku benamkan kepalanya dalam air bak mandi itu. “Ayo lawan!” Dia terlihat pucat. “GobloK! Lo mesti kuat! Jangan jadi banci yang lemah!” Aku turunkan tubuh menggigil itu dan menyeretnya keluar, berjalan menghampiri perempuan sialan itu. Lalu dengan kasar aku lempar tubuh bocah pengecut itu kearahnya. “Lo liat! Ini akibatnya kalo elo jadi perempuan gak mampu mendidik anak! Anak loe jadi penakut! Cengeng! Lemah dan gak berguna!!” teriakku kepada perempuan dan bocah sialan itu.
Mereka saling merengkuh tubuh mereka, saling berusaha menyembunyikan diri mereka dari diriku. Masih dalam tangis, masih dalam jeritan, masih dalam ketakutan, gemetar dan mengiba..
“Goblok!! Jangan nangis!” Aku keluarkan ikat pinggang yang melilit di celanaku. Dan saat aku coba ayunkan ke arah tubuh mereka.
“Baang..!! Abang Tega!! Abang sekarang seperti Bapak!! Bapak yang udah buat abang menderita!! Abang gak juah beda sama Bapak!” teriak perempuan sialan itu disela tangis dan gemetar tubuhnya.
Sejenak aku tertegun, seolah ada bongkahan batu keras menghantam kepalaku sedemikian keras. “A-aku.. aku seperti bapak? Lelaki jahanam itu?” ucapku dalam terbata, seolah kata-kata yang keluar dari mulut perempuan itu menyadarkan aku akan sosok lelaki jahanam itu. Lelaki yang telah menjadikan semua luka dan perih ini tak pernah mau pergi. Senantiasa menjadi mimpi buruk sepanjang waktu hidupku.
“Abang udah buat luka dan rasa sakit yang sama di hati udin! Sebagaimana yang Bapak lakukan ke abang dulu! Sadar, Baang..!! Sadar, Bang…”
Aku menggelengkan kepala tidak percaya,”Tidak. Tidak. Aku bukan lelaki jahanam itu. Aku bukan lelaki jahanam itu!” Gemetar tubuhku kini, tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Ijah merangkul erat tubuh udin, mereka masih dalam ketakutan dan tangisan. Masih dalam gemetar tubuh yang ketakutan. Aku pandangi mereka, “Ijah? Udin?...” Tiba-tiba pandanganku tersadarkan akan sosok anak-istriku. Darah mengalir dari sisi mulut istriku, udin meringkuk dalam pelukan ibunya, kedinginan..
“Jah, ijah! Aku suamimu, Jah. Aku bukan bapakku, Jah. Aku bukan lelaki jahanam itu, Jah?! Din?! Teriakku menyakinkan kepada mereka bahwa aku bukan lelaki jahanam itu. Ijah dan udin hanya menggelengkan kepala dalam ketakutan dan dalam isak tangis mereka. Aku jatuh terduduk. Kupandangi kedua tanganku sendiri. Tangan ini? Sebuah ikat pinggang yang berada dalam genggaman tangan kananku, mengembalikan ingatanku akan tangan lelaki jahanam itu, yang selalu menghantam keras tubuh ini beribu-ribu kali.
Tidaaak…!!
Aku segera bangkit masuk ke dalam kamar. Berdiri di depan cermin dan mencoba menatap diriku sendiri. Oh, Tuhan! Benar apa yang dikatakan Ijah. Wajah yang ada di dalam cermin itu adalah wajah dari Lelaki jahanam itu. Dia menyeringai, tersenyum sinis penuh kemenangan. Di dalam genggaman tangannya, aku melihat ikat pinggangku. Tidaaak…!! Aku hantam dengan keras kaca itu. Pecah dan jatuh berserakan di lantai. Mampus, Lo!!
Aku keluar lagi dengan bergegas,’Lihat, jah! Ini aku, Hendra suamimu?! Lihatlah?! Lelaki jahanam itu telah ku hancurkan!” Tapi ijah dan udin malah menjauhkan tubuhnya, menghindar, ketika aku berusaha mendekati mereka. “Jah, aku hendra, Jah! Suamimu! Udin, ini bapak, nak.” Mereka menggelengkan kepala masih dalam ketakutan…
“Apakah mereka masih tidak percaya bahwa aku adalah Hendra, Suami dan ayah mereka. Bukan lelaki jahanam itu. Bukan! Aku bukan lelaki itu!”
Aku segera berlari lagi, mencari-cari cermin yang bisa aku pakai untuk meyakinkan mereka. Akhirnya aku mendapatinya di dalam kamar anakku dan benar! Di dalam cermin itu aku melihat sosok lelaki jahanam itu lagi. Dia masih menertawakanku. Bukankah dia sudah aku hancurkan?! Bagaimana bisa?!
Aku berlari menuju dapur, sebuah pisau aku raih dan kembali ke dalam kamar, berdiri di depan cermin. Menatap lelaki jahanam itu dalam cermin. Dia masih tertawa. Sialan! Nafasku memburu,” Tertawalah, Lelaki jahanam! Tertawalah sesukamu! Sesaat lagi tawamu akan terhenti!”
Aku letakan pisau dalam genggaman tangan itu, ke leherku. Dan dalam satu kali putaran, “Creess..!” Aku melihat dari cermin darah mengalir dari leher Lelaki Jahanam itu. Dia genggam lehernya, mencoba menghentikan aliran darah itu. Tubuhnya limbung dan kemudian jatuh ambruk bersimpah darah. “HaHahaha…!! Mampus Lo!! Hahahaha..!!” Aku tertawa senang. Pada akhirnya aku bisa menghabisi riwayat lelaki jahanam itu dengan tangaku sendiri. Aku bebas!!
Aku berjalan tertatih keluar kamar. Pisau yang berlumuran darah terjatuh jatuh dari genggamanku. Namun baru selangkah kaki berada di luar pintu kamar. Tubuhku ambruk!
“Baaanggg…!!”
“Bapaaakk….!!”
Aku mendengar teriakan dan tangis anak-istriku. Oh, apakah berarti aku telah benar-benar berhasil menghabisi hidup lelaki keparat itu. Aku berhasil?! Ijah bersusah payah mengangkat tubuhku dan mendudukan kepalaku dalam pangkuan di pahanya. Tangannya menekan leherku dimana darah terus mengalir dari sana.
“Baang.., maafin Ijah, Bang. Ijah gak bermaksud begini..” Aku mendengar Ijah menangis.
“Paak..! Udin sayang sama bapak. Maafin Udin, paak..” Udin memeluk tubuhku erat. Terasa hangat kurasakan dalam dadaku tiba-tiba.
Oh, Tuhan. Akhirnya aku telah benar-benar berhasil menghabisi riwayat Lelaki Jahanam itu. Aku berhasil! Ingin aku mengucapkan kata-kata kepada mereka, “Ini aku, Hendra suamimu, Jah, dan bapakmu, Din” Tapi aku tak mampu menggerakan bibirku untuk berkata. Aku juga ingin mengucap kepada Ijah, “Selamatkan anak kita, Jah. Selamatkan dia dari mimpi burukku.” Namun aku tak berdaya. Perlahan aku merasakan berat pandangan mataku. Lalu menjadi samar dalam berkabut. Kemudian menjadi gelap dan hanya gelap...
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini