SEMUA TIDAK LAGI SAMA

Semua tak lagi sama. Diriku jatuh pada kesendirian dan kesepian tanpa dirimu lagi. Hari-hari yang baru tampak asing bagiku. Entah, mengapa semua seolah nampak masih sama? Tapi aku merasa harus tetap berusaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.

CINTA DALAM RINDU-RINDU

Seperti rindu ini kepadamu, seperti itu pula malam terlewatkan dalam sepi dan sendiri. Aku mengejar dirimu dalam bayang-bayang, aku berlari dengan semua imaji diri. Mencari senyummu, wangi tubuhmu, harum nafasmu, manis senyum dibibirmu, indah gelak tawamu

DEMI SEPENGGGAL KATA

Demi sepenggal kata yang ingin aku persembahkan kepada hidup yang akan mati. Dimana kata mungkin akan melayang jauh diterpa angin topan dan juga badai. Terbelah dan pecah menjadi butir-butir air mata penyesalan malam para pendosaMelanang buana didunia yang gemerlap namun hitam dan samar tanpa putih...

LELAKI DENGAN 7 BIDADARI

Rasa kecewa kembali dirasakan oleh Pangdim, setelah mengetahui bahwa anaknya yang baru saja lahir ternyata kembali berjenis kelamin Perempuan. Sama seperti ke-6 anaknya yang lain: Ani, Sekar, Dewi, Ningrum, Nida dan Rifa. Pupuslah sudah harapan Pangdim untuk bisa memiliki keturunan seorang Lelaki

KENAPA HARUS JATUH CINTA

“AKh sialan!” gerutu Bejo memaki dirinya sendiri. Disuatu sore diruang tamu rumah kost-kostan, Dia angkat kedua kaki diatas meja. Tubuhnya disandarkan ke kursi yang dia miringkan. Sementara kedua tangannya nangkring asik di jidatnya yang jenong.

PELACUR ITU IBUKU

Semua orang terlihat sibuk dalam beberapa hari ini. “Besok adalah Hari Ibu,” kata mereka. Tapi apakah hari itu akan berarti buat ibuku? Yang juga kata orang, ibu adalah seorang Perempuan murahan, Perempuan bayaran, Sundel atau yang lebih sering kudengar sebutan untuk Ibu adalah seorang Pelacur

KESATRIA BURUNG BESI RAKSASA

Menurut cerita Nenek, Emak Udin itu diculik oleh Burung Besi Raksasa. Dulu. Saat Udin masih belajar berjalan. Tak ada yang bisa menyelamatkan Emak, karena Bapak juga telah lama tertidur di dalam tanah. Udin Memang tak mengenal dengan baik siapa orang tuanya,

TANKTOP VS CELANA BUTUT

Aku hanya melongo, bengong bego tak percaya dengan apa yang kulihat. “Ayo, Pah. Kita berangkat,” ucap istriku. Sementara aku masih melongo bego, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Istriku satu-satunya, berdandan mengenakan rok pendek yang panjangnya jauh di atas dengkul

CAWAN HIDUP

Ada masa dimana kebahagiaan dalam cawan itu, kita reguk lupa hingga tak bersisa. Sedangkan kesedihan yang kita tuang, meluber melewati batas tampung cawan itu. Lalu membasahi wajah dengan airmata. Tapi diantaranya, gelembung-gelembung hampa menjadi bagian dari setiap tetes rasa yang kita tuangkan kedalam cawan.

WAJAH-WAJAH GELAP

Jika dilihat, wajah setiap orang itu selain berbeda bentuk, tapi juga berbeda dalam cahaya yang terpancar. Sebelumnya aku tak percaya, tapi kemudian menjadi percaya, saat menatap diriku dalam cermin. Setelah sebelumnya aku bergumul dengan kekasihku , Lina. Gadis cantik yang aku kenal setahun lalu.

Minggu, 16 Oktober 2011

Akibat Ketagihan






Kiplik kebingungan melihat Ijah menangis. Dia begitu merasa bersalah atas apa yang telah mereka lakukan. Perzinahan ini seharusnya tidak terjadi. Kiplik khilaf.
“Maaf..Maafkan aku, sayang. Aku khilaf!” ucap Kiplik mencoba menenangkan Ijah yang menangis sesegukan.
“Maaf, bagaimana? Aku sekarang sudah tidak perawan lagi, Mas!” jawab Ijah sambil sesegukan.
“I-iya aku tahu, sayang. Aku akan bertanggung jawab kok. Tenang, yah” Kiplik terus berusaha membuat Ijah agar berhenti menangis. Biar bagaimanapun juga, dia tidak ingin suara gaduh dari kamarnya terdengar oleh orang lain.
“Aku kan sudah bilang sama kamu tadi. Jangan, Mas, Jangan! Tapi kamunya maksa terus!” Ijah kembali histeris dalam tangisnya. Membuat Kiplik semakin kebingungan. Setelah sekian lama mereka pacaran. Memang ini pertama kalinya mereka melakukan yang lebih dari sekedar saling meraba dan cium. Sex pertama, kenikmatan pertama sebelum waktunya.
“Maaf, aku kan sudah minta maaf sama kamu, sayang”
“Trus, aku gimana?! Iya kalo kamu mau tanggung jawab. Kalo enggak?!”
Kiplik sudah tidak tahu harus berbicara apa lagi. Dia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Dia sandarkan tubuhnya, memandang punggung Ijah yang tengah menangis. Tapi entah kenapa, saat melihat punggung Ijah yang masih telanjang polos, dari jarak pandang di mana Kiplik bisa melihat secara keseluruhan tubuh belakang Ijah. Hasratnya kembali bangkit, apalagi Kiplik belum terlalu lupa bagaimana sensasi kenikmatan yang dia rasakan tadi.
Dengan perlahan-lahan Kiplik mendekati diri Ijah. Dibelainya lembut rambut kekasihnya itu. Ijah masih sesegukan. Lalu Kiplik makin berani, dia kecupnya bahu Ijah dengan lembut. Seketika tubuh Ijah menggelinjang. Dan tangan Kiplik menelusuri punggung Ijah dengan sentuhan yang halus. Kembali Ijah menggelinjang merasakan sensasi rasa, yang belum dia lupa juga.
“Jah…” sapa Kiplik lembut. Sejenak Ijah menoleh ke arah Kiplik dengan tatapan sendu. Suara isaknya sedikit mereda. Mata mereka saling beradu. Tangan Kiplik dengan lembut menyentuh sisi wajah Ijah, Lalu jari tangannya mulai mengelus mesra pipi dan wajah Ijah. Suasana hening sesaat. Hanya tatap mata mereka yang mulai berubah. Ada hasrat yang membuat tatapan mereka berdua berubah sendu. Kiplik menyorongkan wajahnya mendekati wajah Ijah. Lalu Bibir mereka bertemu. Awalnya hanya kecupan kecil yang dilepaskan. Dan seiring gemuruh hasrat dalam dada mereka. bibir itu mulai saling melumat. Dengus nafas terdengar semakin berat. Perlahan-lahan, Kiplik rebahkan tubuh Ijah kembali diatas ranjang. Kenikmatan kedua akan segera mereka rasakan….
Semenjak hari itu, Kiplik dan Ijah tetap melakukan perbuatan yang tidak seharusnya mereka lakukan. Dan tidak lagi terdengar isak tangis penyesalan dari diri Ijah. Selain desahan dan lenguhan panjang ketika sampai pada puncak kenikmatan. Setiap saat, disaat hasrat tak tertahan dan keadaan memungkinkan bagi mereka, maka mereka melakukannya. Jika keadaan tak mungkin sekalipun, mereka usahakan untuk menjadi mungkin.
Rasa cinta seketika ternodai oleh nafsu semata. Rindu-rindu pertemuan dua hati tidaklah lagi sama seperti dulu. Semua lebih pada pemenuhan keinginan untuk mengulang kenikmatan yang sama. Hatipun berangsur-angsur berubah keras bagai batu. Seolah tak lagi perduli dengan semua orang, dosa atau resiko yang akan mereka hadapi kemudian. Mereka buta untuk bisa berfikir dan merasa takut.
Hal berbeda pun terjadi pada diri Ijah. Dia yang saat pertama menangis tersedu-sedu, penuh ketakutan, penyesalan dan juga marah. Namun setiap saat, kini, Ijahlah yang semakin hari semakin sering meminta kepada Kiplik untuk bisa merasakan kembali kenikmatan itu. Awalnya, sebagai seorang lelaki sudah jelas Kiplik senang mendapati diri Ijah yang demikian. Tapi lama kelamaan Kiplik mulai merasa jengah juga. Karena Ijah tidak bisa mengerti keadaan dirinya yang kadang lelah dia rasa. Ijah kadang marah dan mulai suka memaki apabila Kiplik menolak untuk bertemu dan melakukan perbuatan itu lagi. Hingga pertengkaran kerap terjadi diantara mereka sekarang.
Hal lain pun terjadi pada kehidupan keluarga Kiplik. Belakangan usaha yang dilmiliki oleh Emak dan Bapak selalu tidak membuahkan hasil. Warung yang mereka punya, mendadak menjadi sepi pelanggan dan mulai rugi terus. Bahkan belum lama ini, semua peralatan untuk warung mereka habis terlalap api. Dan ketika mereka mulai merintis lagi, musibah kembali terjadi. Dimana semua peralatan warung mereka hancur dan hilang digondol maling.
Belum lagi, Bapak yang tiba-tiba jatuh sakit karena shock dan harus dirawat di rumah sakit. Semua hal itu secara beruntun terjadi dalam keluarga Kiplik. Dan sebagai anak tertua, Kiplik berusaha keras untuk bisa membantu kedua orang tuanya. Namun tetaplah sama. Tidak terlalu banyak hal yang berubah. Semakin hari, isi rumah semakin kosong karena berulang kali dijual untuk modal usaha dan juga biaya berobat selama Bapak dirawat. Disaat-saat sulit yang tengah menimpa kehidupan Kiplik dan keluarganya, sosok Ijah yang dia cintai tidak bisa menjadi seorang penolong yang mampu memberi sedikit ketenangan dalam hati Kiplik. Seperti yang diharapkan Kiplik. Perangainya berubah total, jauh dari bisa memahami dan mengerti apa yang terjadi. Hal itu membuat Kiplik marah besar kepada Ijah. Pertengkaran demi pertengkaran terus menghiasi hubungan percintaan mereka.
“Tolong ngertiin keadaan aku dong! Jangan egois begitu, Jah!” maki Kiplik kepada Ijah ditelfon.
“Aku udah ngertiin kamu, kok. Dan aku cuma minta sedikit perhatian dari kamu. Apa salah?!” Ijah membela diri.
“Iya, tapi kamu mesti tahu kalo sekarang aku sedang fokus membantu kedua orang tuaku, Jah!”
“Trus aku dibiarkan begitu saja. Begitu, maksudnya?”
Perbincangan yang selalu saja berakhir dengan perdebatan panjang tak berkesudahan terjadi. Disaat Kiplik begitu berharap dirinya akan mendapat dukungan dari orang yang dia cintai. Tapi semua itu tidak pernah dia dapatkan. Selain pertengkaran panjang, saling ngotot tak mau mengalah.
Selintas Kiplik sempat berfikir untuk memutuskan hubungannya dengan Ijah. Namun, rasa bersalah senantiasa menghantui dirinya. Jika mengingat bahwa dirinyalah yang pertama merenggut kesucian Ijah. Kiplik tidak ingin dirinya menjadi seorang laki-laki yang di anggap bejat atau bajingan ataupun pengecut. Dia takut, hal buruk akan menimpa adik-adik perempuannya kelak. Takut akan hukum karma yang mungkin terjadi pada mereka.
Perzinahan masih saja mereka lakukan sesekali. Meskipun Kiplik ingin menghentikan ini semua. Karena selintas dia sempat mendengar ucapan seseorang yang mengatakan,”Kalau ada dalam suatu lingkungan melakukan perzinahan. Biasanya kesialan senantiasa menimpa orang-orang yang ada disekitarnya.” Hal itu terus menerus terngiang di telinga kiplik. Membuat Kiplik merasa bersalah atas semua musibah dan kesusahan yang mendera keluarganya. Semua mungkin karena ulahnya. Tapi apa daya, dorongan keinginan untuk melakukan kembali perzinahan itu, tidak dapat ia kalahkan. Apalagi, ijah senantiasa menuntut untuk selalu dipenuhi hasratnya.
Kiplik semakin limbung dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Setiap saat melihat Bapak yang terbaring lemah dirumah sakit dan juga Emak yang terlihat begitu letih. Dalam hatinya menjerit, menangis melihat semua penderitaan yang di alami kedua orang tuanya. Semua karena dirinya yang telah berani melakukan perzinahan dengan Ijah.
“Maafkan aku, Mak, Pak” hanya itu yang bisa Kiplik ucapkan, sekedar melepas sesak yang dia rasa atas ketidak berdayaan dirinya.
….
Sudah hampir sebulan lebih, ada hal baru yang terjadi lagi pada diri Ijah. Perubahan drastis mulai dirasakan Kiplik. Tak pernah dia dengar lagi Ijah yang merengek kepadanya untuk diperhatikan, atau meminta jatah. Tak pernah lagi ada pertengkaran mereka sebagaimana biasa. Ijah seolah hilang ditelan Bumi. Tak ada khabar berita. Bahkan saat Kiplik mencoba menghubunginya, selalu saja tak ada jawaban. Jika seandainya mereka bisa berbincang ditelfon pun, kesan didapat Kiplik. Tidak ada lagi antusiasme dari Ijah seperti dulu, setiap saat dirinya menelfon.
Pertemuan mereka pun berada dalam suasana yang lebih banyak diam. Ijah sibuk dengan dirinya sendiri, memainkan Handphone atau asik menonton tayangan televisi. Bahkan setiap saat Kiplik mulai melihat kebosanan dan rasa malas dari raut wajah Ijah, setiap kali mereka bertemu. Sudah hilangkah rasa Cinta itu? Kiplik tak mengetahui pasti apa yang terjadi. Dia mengakui bahwasannya dirinya memang belakangan ini kurang perhatian kepada Ijah.
“Kamu marah sama aku, Jah?” tanya Kiplik suatu kali.
“Ah, enggak. Biasa aja” jawab Ijah acuh, masih sibuk memainkan kuku dijari kakinya.
“Hmm, kok kamu sekarang beda, yah?” tanya Kiplik lagi.
“Apa sih? Perasaan kamu aja kaleee…” jawab Ijah asal.
Dengan begini, Kiplik bisa merasakan perubahan pada diri Ijah. Bahkan saat dirinya mencoba memeluk dan mengecup pipi Ijah. Tiba-tiba saja Ijah membentak marah kepada dirinya. Menepiskan rengkuhan tangan Kiplik dari tubuhnya. Lalu pergi meninggalkan Kiplik sendirian di ruang tamu. Ah,pasti ada sesuatu?!, pikir kiplik kala itu. Tanpa jelas apa sebabnya.
….
Selesai sudah semua. Kini semua telah menjadi jelas bagi Kiplik. Kecurigaannya telah terbukti. Meskipun rasa sakit begitu dalam dirasa dalam hatinya. Atas pengkhianatan yang dilakukan Ijah. Namun, hati Kipilik pun merasakan kelegaan dan lepas. Dari semua beban perasaan bersalah, yang selama ini menghantui hidupnya. Atas semua hal yang pernah mereka lakukan dahulu. Kekhawatiran dirinya akan sosok Ijah pun sirna. Karena Ijah telah menemukan kebahagiaan baru dengan orang lain.
Seminggu yang lalu, Kiplik baru mengetahui bahwa Ijah tengah hamil. Namun bukanlah karena perbuatan mereka berdua. Tapi karena orang lain, yang masuk kedalam kehidupan Ijah. Atas dasar itulah pernikahan Ijah berlangsung hari ini. Meskipun kecewa dan sakit dirasakan Kiplik , namun tetaplah dia ikut merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakan Ijah dan keluarganya.
“Maafkan aku, Mas” ucap Ijah saat Kiplik mengucapkan selamat kepadanya. Kiplik hanya tersenyum, sambil mengucap, “Selamat menempuh Hidup baru, Jah. Semoga Bahagia selamanya”
Sebelum langkah kakinya pergi meninggalkan pesta itu. Sekali lagi Kiplik memandang kearah pelaminan. Terlihat olehnya kebahagiaan yang dirasakan Ijah. Betapa cantiknya Ijah hari ini sosok perempuan yang begitu dia cintai. Lalu kiplik membalikan arah tubuhnya dan pergi meninggalkan kemeriahan pesta.
Kini, semua telah terjawab. Semua semakin jelas dan lepas. Hanya satu hal yang sebenarnya telah mampu memberikan ketegaran dalam diri Kiplik saat ini. Setelah Ijah pergi dari kehidupannya, sekarang adalah saatnya menebus semua kesalahan yang telah dia lakukan. Yang mengakibatkan keluarganya jatuh dalam kesulitan hidup yang beruntun. Kiplik bertekad untuk sepenuhnya fokus membantu keluarganya. Membangun kembali kehidupan yang sempat terhenti akibat dirinya yang telah mengikuti keinginan nafsu semata. Lalu menjalani pertobatan panjang. Harus!

RUMAH






Apa yang bisa melindungi kita dari terik matahari dan hujan? Apa yang selalu menjadi tujuan setiap saat kita pergi dan kembali? Jawabannya pasti tertuju pada Rumah. Ya, Rumahlah yang bisa melindungi kita dari terik matahari dan hujan, yang juga menjadi tujuan kita untuk pulang. Sudah pasti Rumah, bukan kandang apalagi kolong jembatan.
Meski ada juga dalam kehidupan ini, mereka yang menjadikan kandang dan jembatan sebagai tempat tinggal mereka. Kadang terasa aneh jika hal itu terjadi di negeri kita yang makmur ini, apalagi kita tahu bahwa para dewan yang terhormat itu bisa menghabiskan uang negara sekian banyak hanya sekedar untuk jalan-jalan dengan tujuan yang tidak jelas. Atau membangun gedung baru yang memakan biaya trilyunan rupiah. Tapi banyak dari rakyatnya hidup di dalam kandang ataupun kolong jembatan. Hebatnya..
Nah, jika berbicara tentang rumah itu. Maka saat ini, aku tengah dipusingkan tentang masalah yang sama. Ketika saat ini, dengan penghasilanku yang hanya seorang buruh pabrik. Yang berpenghasilan pas-pasan, dan memiliki seorang istri dengan tiga orang anak yang mulai beranjak besar. Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil yang berbiaya sekitar 400 Ribu Rupiah, yang harus dibayar setiap bulannya. Dengan kondisi; satu buah teras kecil, satu ruang tamu, satu kamar dan sebuah dapur berikut dengan kamar mandi.
Awalnya, rumah kontrakan tersebut terasa cukup bagi keluarga kecilku. Cukuplah kami berkumpul dalam satu kamar, dalam satu tempat tidur. Tapi tolong, jangan tanyakan bagaimana cara aku dan istriku bisa membuat ketiga orang anak kami itu dalam keadaan yang demikian. Karena itu rahasia kami berdua. Terima kasih..
Tapi seiring anak-anak kami yang mulai tumbuh dewasa dan mempunyai keinginan untuk memiliki kamar sendiri. Lama kelamaan, rumah kontrakan itu menjadi terasa sempit dan sesak. Sulit untuk bisa bergerak. Tapi hebatnya, aku dan istriku selalu bisa mensiasati keadaan agar kami bisa berhubungan intim. Maaf..
Menjadi hal yang mustahil jika kami berlima berkumpul dalam satu ranjang saat kami tidur. Kemudian untuk mensiasati keadaan, akhirnya kami tidur tanpa beralaskan tempat tidur. Dua buah kasur pun kami gelar dilantai. Dan akhirnya kami pun, sedikitnya bisa tidur tanpa harus berdesak-desakan lagi dan saling tindih.
Tapi kemudian, anak-anak mulai mempunyai keinginan sendiri. Mereka meminta hak mereka untuk miliki kamar sendiri. Agar privasi mereka bisa terjaga. Aku sendiri bisa memaklumi keinginan anak-anakku itu. Karena aku pikir, tidak mungkin juga anak perempunku yang tertua, Rini, yang semakin dewasa itu. Tidur dalam satu kasur bersama orang tuanya dan juga adik-adiknya yang juga mulai dewasa. Sudah barang tentu ada rasa malu, jika harus tidur bercampur dengan orang tua dan juga adik-adiknya. Hal itu juga dirasakan oleh anak lelakiku yang kedua, Aldi. Sedangkan anak kami yang bungsu, Agil, masih suka tidur bersama kami berdua, dalam dekapan ibunya, istriku. Entah sampai kapan dia begitu, saatnya akan tiba juga nanti.
Tapi dengan keadaan diriku yang berpenghasilan pas-pasan ini, bukanlah hal yang mudah untuk bisa mewujudkan keinginan untuk memiliki rumah sendiri. Uang mukanya itu, lho. Ya tuhaaan… mahal sekali! Belum lagi biaya administrasi, Notaris dan yang lainnya yang harus di bayar. Meski hanya untuk perumahan kelas sangat sederhana, semua itu terlihat begitu mahal bagiku. Belum lagi cicilan yang harus aku bayar setiap bulan, beserta urusan tetek bengek lainnya, seperti membayar listrik dan air. Jelas-jelas semua itu di luar kemampuanku.
Seandainya ada yang murah pun, lokasi perumahan itu dengan tempat kerjaku dan sekolah anak-anak sangat jauh. Malah akan membuat anggaran pengeluaran baru yang lebih besar dari biasanya. Sangat berbeda dengan rumah kontrakan yang aku tempati saat ini. Dengan biaya perbulan yang tetap. Itu sudah termasuk dengan urusan listrik dan air. Pokoknya tahu beres. Lokasinya juga dekat dengan tempat kerjaku dan juga sekolah anak-anak.
Untuk kehidupan sehari-hari saja, kami selalu kekurangan. Terlebih biaya kebutuhan anak-anak yang semakin hari semakin tinggi dan bermacam-macam pula. Masih untung aku bisa menyekolahkan mereka, meski kadang sering telat untuk membayar SPP mereka. Sudah pasti juga, aku jauh dari memiliki sebuah tabungan di Bank. Bahkan ketika banyak orang bisa memiliki kendaraan bermotor, meski dengan cara kredit. Aku masih saja setia pada Angkot dan jalan kaki. Bagaimana aku bisa berfikir untuk memiliki rumah sendiri kalau begini keadaannya?.
Tiba-tiba aku teringat dengan orang tuaku di kampung. Yang sudah lama tidak pernah aku temui. Bukan karena tidak ingin menemui mereka, tapi karena memang keadaanku yang tidak memungkinkan untuk pulang menemui mereka. Sesungguhnya perasan bersalah selalu menghinggapi diri ini. Karena seolah aku telah melupakan mereka. Bahkan kiriman uang yang dulu selalu rutin aku kirimkan kepada mereka. Sekarang sudah tidak pernah lagi aku lakukan. Berhenti sama sekali, semenjak anak-anak mulai besar dan harus sekolah. Ah, saat ini aku benar-benar merasa sebagai anak yang gagal dan tidak berbakti .
Tapi aku masih bersyukur, karena orang tuaku begitu pengertian dan memahami keadaanku. Mereka tak pernah mengeluh dan menuntut macam-macam kepadaku. Asalkan aku bisa hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang tua, mereka sudah merasa cukup dan berbahagia. Tapi meskipun demikian, aku tetap tidak dapat menghilangkan perasaan sedih atas semua keadaan ini.
Aku memang bukan anak satu-satunya, masih ada kakakku, Paijo dan juga Adikku, Parmin. Yang juga hidup merantau sebagaimana aku. Dan kehidupan mereka juga tidak jauh berbeda dengan diriku. Dan mereka pun jarang pulang dan jarang pula mengirimkan uang kepada orang tuaku ,sebagaimana diriku.
Orang tuaku, meskipun mereka tidak pernah mendapatkan kiriman uang dari anak-anaknya. Namun kehidupan mereka senantiasa bahagia dan terus berjalan. Dengan mengandalkan hasil panen dari sawah dan juga kebun yang tidak seberapa itu. Mereka hidup tentram. Mungkin hanya merasa kesepian, sebab dirumah itu hanya tinggal mereka berdua saja. Kamarku dan juga kamar saudara-saudaraku selalu kosong tak berpenghuni. Namun Ibu masih selalu rajin membersihkannya setiap hari. “Biar tidak ada yang tinggali,” kata Ibu jika kami bertanya kenapa Ibu masih melakukan hal itu.
Aku sendiri heran, bagaimana orang tuaku bisa memiliki rumah sendiri di desa? Rumah yang lumayan besar, dengan kamar-kamar yang bisa ditempati oleh masing-masing anaknya. Sedangkan kami anak-anaknya? Untuk bisa memiliki rumah dengan kamar lebih dari satu saja kami tidak mampu. Malah tinggal di rumah kontrakan milik orang lain. Suatu perbedaan yang kadang tidak masuk akal, apalagi orang tuaku hidup hanya mengandalkan dari hasil bercocok tanam.
Pernah terlintas dalam percakapan antara aku dan istriku tentang orang tuaku.
“Coba pinjam saja uang sama orang tua kamu, Mas?,” ucap Istriku sambil meletakan gelas kopi di atas meja, lalu duduk di sampingku.
“Ya, tidak mungkin aku pinjam uang sama orang tuaku, Bu. Uang darimana mereka? Kita saja tidak pernah mengirimkan uang kepada mereka” jawabku sedikit kesal mendengar usulan istriku yang aku anggap mengada-ada itu.
“Suruh jual saja sawah atau kebun yang ada, Pak. Mereka masih punya itu, khan?,”ucap istriku lagi. Aku melirik sesaat kepadanya. Sedikit membenarkan ucapan istriku. Tapi seketika aku membuang jauh pikiran tentang hal itu. Mengingat dulu, orang tuaku telah menjual sawah dan kebun yang mereka miliki, untuk biaya pernikahanku dan juga saudara-saudaraku.
“Mereka sudah pernah jual sawah dan kebun itu dulu, untuk biaya pernikahan kita dan juga saudara-saudaraku, bu,” jawabku kemudian.
“Trus bagaimana kita bisa punya rumah sendiri kalau begini terus?”
“Entahlah..”
“Apa harus menunggu warisan dari mereka, baru kita jual sawah dan kebun itu. Dan baru bisa membeli rumah sendiri?”
“Hati-hati kamu kalau bicara, Bu! Itu sama saja kamu menyumpahi orang tuaku cepat mati!”
Akhirnya percakapan itu berhenti, dan istriku masuk kedalam rumah dengan wajah kesal melihat kemarahanku. Tapi aku sendiri sebenarnya sempat berfikiran demikian, sebagaimana istriku. Mungkin karena sudah pusing dan tidak tahu jalan keluar dari masalah yang ada. Dan satu-satunya hal yang bisa membantu diriku untuk bisa memiliki rumah adalah dengan menjual sawah dan kebun yang dimiliki orang tuaku. Kalau perlu rumah mereka juga dijual. Tapi betapa durhakanya diriku juga berfikir demikian. Seolah mengharapkan kematian itu cepat datang menimpa orang tuaku.
Tapi seminggu kemudian, aku mendapat kabar bahwa Bapak meninggal dunia karena sakit sesak yang dideritanya, akibat kegemarannya menghisap rokok lintingan setiap hari. Dan 100 hari setelah kematian Bapak, Ibu menyusul Bapak. Mungkin karena merasa kesepian semenjak ditinggal Bapak. Ibu jadi sering sakit-sakitan, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah pemakaman Ibu siang tadi. Malamnya tiba-tiba, Mas Paijo memanggil aku dan juga adikku Parmin untuk berkumpul di ruang tengah rumah kami didesa. Aku yang masih bersedih atas kepergian Ibu dan juga Bapak yang secara bersamaan. Ditambah juga perasaan bersalah, atas apa yang sempat terlintas dalam hatiku. Yang seolah mengharap orang tuaku cepat mati, dan kemudian hal itu terjadi sekarang. Aku sedikit heran dan bertanya-tanya tentang tujuan Mas Paijo mengumpulkan kami malam ini.
Akhirnya kami berkumpul, kami duduk berhadap-hadapan. Mas Paijo duduk di kursi yang lebih panjang, sedangkan aku dan Parmin duduk kursi yang berada di sisi kanan dan kirinya.
“Sebelumnya aku minta maaf sama kalian berdua. Jika aku membicarakan hal ini, pada saat kita masih dalam suasana berkabung seperti ini,” ucap Mas Paijo membuka pembicaraan.
“Memangnya ada apa toh, Mas?” tanya Parmin.
“Hmmm, aku ingin membicarakan warisan peninggalan orang tua kita,” ucap Mas Paijo sedikit ragu dan juga takut. Mendengar hal itu, aku sontak marah kepada Mas Paijo. Karena aku pikir, hal ini tidak pantas untuk dilakukan pada saat kami baru saja menguburkan Ibu siang tadi. Dan kami masih dalam suasana berduka. Sungguh tak etis membicarakan hal demikian saat ini. Namun tidak demikian dengan Parmin, ia menyetujui usulan Mas Paijo untuk membicarakan masalah warisan itu sekarang. Alasannya, biar cepat selesai setelah kami semua pulang meninggalkan rumah ini. Akhirnya aku mengalah, dan mengikuti keinginan mereka berdua.
Jadilah malam itu, sesuai dengan wasiat yang di tinggalkan orang tuaku. Mas Paijo mendapatkan sawah yang masih tersisa, dan Parmin mendapatkan kebun yang masih ada. Sedangkan aku, mendapatkan Rumah peninggalan orang tuaku ini. Dan tidak lama setelah hari itu, Mas Paijo menjual sawah yang telah menjadi haknya itu. Demikian pula dengan Parmin, ia juga menjual kebun yang juga telah menjadi hak miliknya.
Dan dengan uang hasil menjual sawah dan kebun itu, Mas paijo dan Parmin membeli rumah sendiri di kota dan sebagian uangnya digunakan untuk modal usaha mereka. Yang tersisa hanya rumah kami. Entahlah, mengapa juga Ibu dan Bapak menyerahkan rumah itu kepadaku? Dibandingkan memberikan sawah atau kebun kepadaku. Atau menyerahkan rumah itu untuk Parmin, anak bungsu mereka. Aku hanya berfikir, mungkin Bapak dan Ibu mengetahui bahwa aku tak akan sanggup untuk menjual rumah yang telah mereka bangun dari hasil keringat mereka sendiri, yang penuh dengan kenangan indah kami semua.
Ya, aku memilih untuk tidak menjual rumah itu. Meskipun istriku terus mendesak diriku untuk menjualnya, dan uangnya dijadikan modal membeli rumah baru untuk kami sekeluarga di kota, sebagaimana yang dilakukan Mas Paijo dan juga Parmin. Tidak, aku tidak akan melakukan seperti yang dilakukan saudara-saudaraku. Karena aku pikir, apalagi yang bisa aku berikan kepada orang tuaku sekarang? Setelah dulu aku tak pernah memberikan apa-apa kepada mereka. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah menjaga amanat mereka untuk tetap menjaga rumah itu tetap ada. Dan menjaga semua kenangan tentang mereka. Ya, paling tidak, selalu ada tempat untuk kami tempati, bagi Mas Paijo dan juga Parmin. Ketika kami semua pulang kampung, pulang ke desa dimana kami dilahirkan. Agar kami senantiasa ingat rumah, ingat orang tua kami dan ingat tempat darimana kami berasal.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kepada yang Mendengar Bisikan Hati






Kepada Mu, Satu. Yang selalu bisa mendengar apa terucap di dalam hati ini. Ketika sedikit bisik-bisik tentang apa yang kurasa saat ini. Tentang bosan. Tentang letih. Tentang enggan. Tentang tak mengerti. Yang kemudian aku lepas dengan mata terpejam, sebab tau selalu sampai kepada Mu. Seolah lapisan langit tak pernah berbatas, tiada bersekat-sekat
Malam jenuh lelah, sepi bergemerisik, gelap menghadirkan warna-warna hati, gemetar tubuh ini menangis tapi tak sendiri
Ribuan sesak menjadi ucapan hati yang tak terucap, Engkau tepat berada dijiwaku menatap penuh luka. Khusyu mendengar. Lembut membelai. Sabar menerima muntah. Tersenyum dalam mengerti. Aku hanya mengatakan tiada kuasa untuk selamanya tinggal, sebab berkutat dalam tanya yang terjawab dalam diam yang tak kumengerti.
Kembali hanya menatap, seolah mencipta bait-bait baru syair hidupku, yang entah jawaban atau ujian. Menepuk bahu sambil tersenyum dan akupun lelap tertidur
Masih sama, pagi dan matahari serta bising-bising dalam hirup pikuk yang menghampiri. Terjaga dengan malas menyimpan sesak yang pasti aku bagi. Sekantung muak pada jiwa-jiwa. Segenggam marah pada laku. Sepanggul letih pada lupa. Segelas airmata pada sesak
…………………………………………
Duh, Gusti jangan jauh-jauh..Aku sepi, mati dan sendiri..
Jangan lagi diam, kisahkan padaku tentang surga yang kulupa, atau tunjukan padaku keindahan yang tersembunyi disini. Paling tidak, menetaplah sejenak bersamaku meski aku jauh dari suci, bahkan mungkin penuh najis. Tapi aku tau, Engkau pasti mengerti
Untuk apa penghormatan yang tidak Kau butuhkan. Mungkin kesadaran yang Kau harapkan ada.
Duh, Gusti aku lelah dalam hina..Aku sepi, mati dan sendiri…
Dunia terlalu meriah dengan pesta pora dan hingar bingar gelegar marah. Terlalu ramai dan bising. Jangan hanya menatap, peluk sejenak jiwa yang merintih. Senyum itu aku suka, tapi ucapkanlah kata seperti sebaris cinta untukku, setidaknya mengusir bosan dan letih, atau sekedarnya menyenangkan hati yang merasa bosan..
Semua pasti sama ketika malam-malam datang aku melepas dalam berbisik sendiri di dalam hati. Dan hanya Engkau yang selalu mendengar semua itu.





Jumat, 30 September 2011

Potongan Kenangan

Aku menumpuk semua bangkai kenangan dari potongan ingatan yang timbul tenggelam. Disaat kulihat senja semakin membias biru langit dengan warna jingga, waktuku hampir tiba sesaat lagi. Ada potongan kecil tentang seorang bayi dengan wajah ceria tengah tertawa. Duduk di kursi plastik sambil memegang sebuah bola. Hanya itu. Aku tak menemukan lagi potongan yang lain. Sudah lama potongan itu hilang hampir keseluruhan.
Dan ada pula potongan tentang  sebuah rumah kecil tanpa kamar, tanpa pagar, dengan halaman yang gersang dimana tidak ada satupun tanaman tumbuh di sana. Rumah yang sederhana, terbuat dari bahan yang bukan dari bata merah ataupun batako,melainkan asbes berlapis dengan dua pintu, dua jendela dan satu kamar mandi yang juga tanpa ada atap yang menutupinya. Terletak terpisah dari rumah itu.
Rumah yang juga tanpa warna cat pada tembok asbesnya, tanpa ada sekat yang membagi bagian-bagian menjadi kamar, tanpa teras, tanpa ruang tamu, tanpa dapur. Saat seseorang masuk dari satu pintu, dia akan langsung bisa menemukan pintu yang lain untuk keluar. Entahlah sebuah potongan yang aneh yang menggambarkan tentang sebuah rumah tak berpagar dengan tanahnya yang cukup luas.
Aku meletakannya  pada tumpukan paling bawah dari bangkai kenangan yang berserakan itu setelah hampir sebulan lebih aku berada di rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Koma. Berada diantara batas hidup dan kematian. Serasa asing dunia yang tengah menampung kehadiran diriku yang sementara itu. Tak ada apapun, tidak ada cahaya, sebagaimana yang dikatakan dalam kematian yang suri.
Dan tiba-tiba saja aku merasakan seperti ada kekuatan besar yang menarik diriku  untuk kembali pada kehidupan ini. Setelah hampir setiap saat aku mendengar isak tangis yang memilukan, dan sepertinya aku mengenal suara itu, tapi aku lupa. Perlahan-lahan akupun mulai mengenali suara-suara itu, suara  isak tangis  istri dan anak-anakku. Dalam kesadaran yang tiba-tiba itu, aku merasakan rindu yang meluap-luap tak terbendung. Aku mencoba menjawabnya dengan berteriak keras memanggil-manggil nama mereka sekuat tenaga. Dan tiba-tiba, aku mendapati diriku tengah terbaring lemah di sebuah ruang perawatan rumah sakit.
Anak-istriku segera memeluk tubuhku erat dalam tangis  kebahagiaan. Ya, aku kembali setelah sekian lama menghilang. Aku balas pelukan mereka dengan segala keharuan penuh rindu, menciumi wajah-wajah itu tanpa berhenti. Lalu kami semua tertidur dalam satu ruangan. Aku tertidur diatas ranjang sambil memeluk si bungsu, sedangkan kakak-kakaknya dan istriku duduk di kursi sambil menyandarkan kepala ke ranjang.
Sejak saat itu, banyak sekali yang hilang dari ingatan di kepalaku. Hingga akhirnya aku mencari-cari setiap kenangan yang masih tersisa, mengumpulkannya satu persatu sampai akhirnya aku mengenali cerita dan peristiwa yang terjadi pada setiap potongan yang ku temukan.
Aku juga menemukan potongan kenangan yang menggambarkan kegembiraan bocah-bocah kecil yang tengah bermain di sebuah tanah lapang yang terhampar hijau. Suasana Taman Rekreasi yang berada disebuah pegunungan yang sejuk. Terlihat jelas bentuk tanah yang tidak rata dan bergelombang naik turun seperti membentuk bukit-bukit kecil. Mereka terlihat begitu gembira dengan gelak tawa yang lepas. Tengah asik dalam sebuah permainan bola tiup yang biasa dijual para pedagang di Taman Rekreasi itu. Keringat mereka bercucuran membasahi wajah dan pakain baru yang mereka kenakan. Seorang lelaki dewasa terlihat terlibat dalam permainan itu, tidak kalah gembiranya dengan bocah-bocah itu.
Dulu aku tidak pernah tahu betapa semua potongan-potongan kenangan itu begitu berarti bagi diriku suatu saat nanti, seperti saat ini. Padahal banyak dari peristiwa hidupku yang sengaja aku buang dari ingatan, yang jelas-jelas aku akan melupa dengan sendirinya. Entah karena kecewa, marah atau sebab tersakiti. Aku tidak ingat lagi. Aku hanya mendapati potongan-potongan kecil yang sulit aku mengerti bentuknya.
Seolah terlahir kembali dalam kehidupan, aku begitu ingin semua itu kembali dalam ingatan di kepalaku. Karena hidup tanpa kenangan membuat aku sering tersesat dan seolah kehilangan jati diri. Bahkan aku tidak terlalu perduli akan semua hal yang dulu mungkin ku anggap begitu memalukan dan tidak patut untuk dikenang.  Tapi sekarang ini, aku percaya bahwa aku bisa menertawakan semua hal-hal bodoh dan memalukan itu. Menggambarkannya kembali dalam sebuah cerita untuk anak-istriku, hingga kami tertawa terbahak-bahak karenanya. Dan itu tentang aku.
Sekarang. Aku begitu menghargai setiap detik peristiwa yang aku alami, sebagaimana diriku saat berada dalam keadaan koma. Aku tidak ingin potongan-potongan itu hilang sama sekali dalam ingatanku. Aku ingin mengingat kesetiaan dan kasih sayang yang ditunjukan oleh anak-istriku pada saat itu. Kesabaran, rindu-rindu, rasa cemas dan rasa takut yang mereka rasakan. Dan juga isak tangis mereka yang dulu sempat aku dengar ketika berada di antara hidup dan mati. Aku ingin mengingat semua itu. agar aku bisa menghargai arti kehidupan yang aku jalani sekarang.
Bahkan semua harapan dan keinginan mereka selalu ku ingat seperti yang terucap dari bibir anak-istriku.
“Pah, Jangan kebanyakan merokok, ngopi dan begadang lagi ya, Pah. Jaga kesehatan Papa baik-baik. Kami semua belum sanggup berpisah dengan Papa,” ucap istriku. Dan aku menganggukan kepala mengiyakan, sebagai janji yang akan aku penuhi.
“Papa gak boleh makan-makanan yang aneh-aneh lagi, yang buat penyakit Papa kambuh lagi. Kami benar-benar masih butuh bimbingan dan kehadiran Papa dalam kehidupan kami. Kami belum siap untuk kehilangan Papa lagi!” ucap anak-anakku.
Dan untuk semua keinginan dan harapan mereka. Aku mencoba memenuhi janjiku. Mengingat semua kejadian tempo hari itu. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka. Maka dengan selalu mengingat semua peristiwa saat itu, aku berharap bisa menghargai kesempatan yang diberikan Tuhan kepadaku. Dengan tidak melupakan saat sekarang aku telah kembali dalam keadaan sehat. Hal yang biasa terjadi pada kebanyakan manusia yang selalu lupa.

Rabu, 24 Agustus 2011

Persetubuhan Menuju Neraka










Sesungguhnya aku tengah melangkahkan kaki ini mendekati pintu neraka, ketika menatap dirimu yang tengah tertunduk malu-malu, dan segenap perasaanku campur aduk. Ada rasa yang aku miliki, ingin menatap dirimu berlama-lama dalam kerinduan. Hingga tanpa sadar, mata ini telah menelanjangi dirimu yang telah sempurna mempercantik diri dalam busana yang sedikit melaburkan imajinasi ke segala arah.
Ada rasa yang seolah-olah mendorong diri untuk berbuat lebih dari sekedar menatap dirimu. Sungguh, hasrat diri atas cinta ini tidak bisa kumengerti apa inginnya atas pertemuan kita. Kemudian mencoba melepas pada pelukan erat yang begitu erat, tak ingin rasanya jauh-jauh lagi darimu. Tapi bau harum tubuhmu, semerbak wangi rambutmu.. menggiring langkah kaki tanpa aku sadari, yang kini telah berada di depan pintu neraka.
Mata kita bertemu pandang, seiring degub jantung yang semakin tidak beraturan. Dorongan hasrat yang tak tertahan mengarahkan wajah kita semakin mendekat satu sama lain. Bibir kita menyatu, sedikit mengecup untuk kemudian melumat. Dan tanganku terasa gemetar dalam bimbang memegang anak kunci pintu neraka. Ragu dan tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Hingga nafas kita semakin memburu penuh hasrat birahi. Dan kunci itu tepat pada pada lubangnya, kuputar dan.., Klek! Hilanglah sudah semua kesucian yang selama ini kita jaga.
Aku tarik wajahmu lebih mendekat agar aku semakin dalam melumat bibir manismu itu dengan lidah yang menari-nari. Kaupun tidak menolak, malah melakukan hal yang sama. Kita begitu menikmat getar-getar nikmat persetubuhan bibir itu, hingga desahan semakin berpacu. Pintu neraka kubuka perlahan, Gelap... Dan tanganku sibuk membuka satu persatu kancing baju dan celana kita.  Lalu melepasnya, melempar asal tanpa kuperdulikan kemana jatuhnya baju, celana dan semua pakaian dalam yang tadi kita kenakan.
Meragu langkah kaki ini saat memasuki Neraka yang gelap. Hanya terlihat kobaran api yang menyala-nyala dari kejauhan. Aku merebahkan tubuhmu yang kini polos tanpa busana. Tatap mata kita berubah sayu menahan birahi yang melonjak-lonjak kegirangan. Lalu ciumanku mulai berlari menyusuri setiap bagian tubuhmu yang mampu menghadirkan nikmat-nikmat dunia itu.
Panas kurasakan ketika memasuki neraka yang menyala-nyala itu, suara teriakan dan rintih kesakitan menggema ke segala arah. Tubuh sedikit gemetar antara takut dan ingin kembali. Tapi tubuh kita telah basah oleh keringat dan dengus nafas birahi. Kau mengerang, merintih, bergelinjang menikmati setiap sentuhan dan kecupan itu.Tubuhku sendiri gemetar ketika mencoba bertahan dalam keinginan yang sebenarnya tak tertahan. Aku miliki sepenuhnya dirimu kini, sebagaimana kamu telah memiliki diriku untuk mendekati dan memasuki pintu neraka itu.
Kini kita tidak sanggup lagi bertahan, keinginan terbesar untuk segera sampai pada puncak tertinggi kenikmatan birahi ini. Aku memasuki dirimu perlahan, kau merintih dalam kesakitan, ku lumat lagi bibirmu sekedar mengusir sakit demi nikmat berlebih yang akan kamu rasakan.
“Aaaaghh..!!” tubuhku tersungkur dalam lubang hitam yang menurun. Jatuh pada kegelapan yang benar-benar gelap. Teriakan itu bukan sekedar teriakan kesakitan, namun menjelma dalam jerit kesakitan dan juga ketakutan. Aku merasa ngeri mendengar semua itu.
Kita merintih setiap saat aku memasuki dirimu dengan pelan, nikmat menjalar keseluruh tubuh hingga sampai ujung kepalaku. Aah…! Pelukan tubuhmu semakin erat kita aku semakin mempercepat memacu hasrat agar segera sampai. Rintihan-rintihanmu semakin memacu diri untuk bisa mempersembahkan kenikmatan terbaik dalam hidupmu. Kita harus sampai bersamaan, sayang…
“Tolooooong…! Tolooooong…!’ ketakutan mulai menghinggapi diriku yang jatuh dalam lubang yang begitu dalam lagi gelap. Sepertinya sudah terlambat. Kini bukan hanya jeritan kesakitan yang aku dengar, tapi juga caci maki dan kemarahan para malaikat penjaga neraka. Aku segera bersembunyi dalam sudut kegelapan itu, berharap para penjaga itu tidak menemukanku. Entah sampai kapan?
Kita melenguh panjang dalam pelukan terhebat yang pernah kita rasakan. Jiwa kita terbang mencapai langit yang dulu hanya menjadi angan untuk kita tapaki. Lalu jatuh abruk menindih tubuh polosmu yang telah bersimbah keringat. Nafas yang tiba-tiba cepat bergemuruh perlahan mencari keseimbangan pada pijakan nada yang seimbang. Aku letih, demikian pula dirimu. Ku kecup mesra kening itu, sambil mengucap kata cinta yang telah ternoda hari ini. Kita begitu bahagia telah melepas semua, tanpa tersadari betapa jiwaku telah memasuk ruang neraka dengan api yang menyala-nyala, penuh dengan jarit teriak orang-orang yang kesakitan. Memohon belas kasih, namun yang didapat ada rasa sakit yang berlebih. Jiwaku terjebak dalam gelap dan keputus asaan.
Sementara diri tak mampu lagi untuk menjauh dari nikmat-nikmat surga dunia. Menggoda kita untuk kembali merasakannya hingga lelap mulai merambah. Dan kaupun tertidur sambil memelukku. Kita sama sekali lupa akan hitam, kita sama sekali lupa menjaga kesucian cinta, kita benar-benar kalah dan terbuai. Kita yang telah masuk ke dalam jurang neraka yang dalam. Seperti akan sulit untuk bisa keluar meraih cahaya seperti dulu.


Selasa, 23 Agustus 2011

Orang Udik Itu Sahabatku











“Hei, ini jakarta, Kawan. Kota Metropolitan! Dimana semua selalu dihargai dan dinilai dengan uang dan uang!”celotehku pada Ridwan.
“Hmm.. tidak selalu seperti itu aku pikir,” ucap Ridwan tidak sependapat. Aku hanya tertawa melihat kepolosan teman baruku ini. Orang udik yang benar-benar kampungan! Bagaimana tidak?! Dia masih percaya bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain di kota Jakarta ini, maka akan berbuah kebaikan juga. Hahaha.. ada-ada saja!
“Terserah kau saja! Yang penting aku sudah memperingatkan kau, Kawan.”
“Terima kasih. Tapi aku juga tidak pernah berkata kepadamu, bahwa apa yang telah kau katakan itu salah. Aku pikir itu ada benarnya juga”
Halah! Pintar juga orang kampung ini menyenangkan hati orang. Tapi aku mengakui, bahwa Ridwan terlihat berbeda dari orang-orang yang selama ini aku kenal. Tatap matanya jauh dari menyiratkan kemunafikan dan kebohongan. Polos! Benar-benar polos dan apa adanya. Baru kali ini aku menemui orang seperti dia di kota ini.
“Pintar juga kau menyenangkan hatiku, Kawan! Tapi aku tidak begitu suka kau puji, apalagi kata-kata pujianmu itu mengandung maksud” ucapku lagi kemudian, menyembunyikan sedikit rasa senang karena ucapannya yang membenarkan celoteh-celotehku.
Ridwan malah tersenyum, atau mungkin lebih tepatnya merasa geli mendengar ucapanku. “Akh, aku sama sekali tidak memujimu. Tidak tidak.. Aku bicara apa adanya, kok. Bahwa ada benarnya juga apa yang kau katakan, karena jika aku melihat kehidupan orang-orang di kota ini, yang memang selalu saja terlihat angkuh dan sibuk dengan diri mereka sendiri. Bahkan aku sering mendengar, bagaimana mereka suka sekali menindas satu sama lain. Tidak perduli itu saudara atau teman. Asalkan mereka senang, akan tetap mereka  korbankan. Bukan begitu?!”
Ridwan tertawa keras sekali setelah mengucapkan kata-kata itu dan akupun ikut tertawa bersamanya. Mentertawakan semua kebenaran yang selama ini kami lihat di sekeliling kami.
“Trus?!”
“Trus? Maksudmu?”
“Iya, trus kenapa kau masih ngotot untuk berbuat baik kepada semua orang tanpa melihat-lihat dulu siapa orang yang akan kau tolong itu?!”
“O-oh.. aku pikir apa. Ya.. karena aku masih percaya saja dengan semua yang dikatakan oleh orang tuaku dan orang-orang terdahulu. Bahwa siapa yang menanam kebaikan maka akan berbuah kebaikan. Dan sebaliknya juga demikian”
Aku menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang aku dengar dari mulutnya. Keras kepala! Mungkin juga karena selama ini dia belum pernah menerima akibatnya. Tunggu saja saatnya nanti, dia pasti akan menyesal!
“Terserah kau saja,Kawan! Ter-se-rah!!”
Ridwan kembali tersenyum penuh arti melihat sikapku. Tapi.. ya, sudahlah! Biarkan saja. Sejujurnya, aku sendiri pernah seperti dirinya. Begitu percaya bahwa sebagai manusia, kita harus selalu berfikir positif kepada orang lain, kehidupan dan juga Tuhan. Tapi.. Seiring waktu dan kenyataan hidup yang aku terima. Semua itu perlahan-lahan tergeser dengan kesadaran, bahwa selama ini akulah yang bodoh! Aku hayalah seorang pemimpi yang begitu percaya bahwa tidak selamanya kehidupan dikota jakarta itu, segala sesuatunya dinilai dan dihargai dengan uang dan materi. Tidak mungkin!
Seperti saat ini, ketika bertemu dengan Ridwa, sesungguhnya aku menyukai dirinya. Tapi aku harus bisa menahan diri untuk tidak sepenuhnya percaya, karena pengalaman hidupku yang terus menerus selalu dikhianati teman sendiri. Mereka yang telah merebut tunanganku pada detik-detik terakhir pesta penikahan itu akan di gelar; mereka yang kupergoki tengah mengumbar nafsu bertelanjang ria bersama istriku di dalam kamarku sendiri; mereka yang telah menjebak aku hingga menjadi tertuduh telah melakukan korupsi di tempat kerja hingga dipecat; mereka yang telah menghamili adik perempuanku dan pergi begitu saja, lari dari tanggung jawab; mereka yang berperan seolah seorang dewa penolong ketika aku sedang kesulitan uang pada saat adik perempuanku mengalami keguguran, tapi ternyata mereka seorang rentenir! Jika demikian adanya, bagaimana bisa aku percaya kepada orang lain setelah berkali-kali dikhianati teman sendiri. Lalu Ridwan? Akh, kita lihat saja nanti!
Memang tidak ada yang berubah dari diri Ridwan. Masih saja bersikap baik dan selalu menolong siapa saja tanpa pamrih. Bahkan tidak perduli ketika pada akhirnya dirinya mendapat tatapan yang merasa jijik, hardikan, ditipu dan juga selalu dimanfaaatkan orang lain karena dia terlalu percaya pada semua orang. Lihatlah! Bagaimana dia masih saja memberikan uang kepada perempuan yang selalu menengadahkan tangan setiap hari sambil menggendong seorang anak kecil. Padahal alasan yang dikatakan perempuan itu selalu sama ,”Tolong, Mas.. saya sedang kesasar dan kehabisan uang. Tolong bantu saya dan anak saya agar bisa pulang” Luar biasa! Tanpa malu-malu dan takut bahwa kami jelas-jelas mengetahui kebohongannya, perempuan itu setiap hari menghampiri Ridwan untuk meminta-minta. Dan parahnya lagi, Ridwan masih saja memberikan uang kepada perempuan itu. Bodoh!
“Hei, Wan! Kamu itu bagaimana sih? Kamu sama saja membiarkan perempuan itu menjadi perempuan yang pemalas dengan terus-menerus menipu dirimu seperti ini!” ucapku setiap saat kepada Ridwan, sekedar mengingatkannya akan perbuatan baik yang aku anggap salah. Tapi Ridwan malah tersenyum kepadaku tanpa berniat untuk menghentikan kegiatannya. Sedangkan untuk makan sehari-hari saja, dia harus banting tulang dan menguras keringat. Ah, dasar orang udik!
“Kau tau, kawan. Kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan kita. Mungkin saja, perempuan itu dikirim Tuhan untuk menguji diri kita agar mau bersedekah setelah kita mendapatkan rejeki dari-Nya. Bukankah di dunia ini, semua kejadian dan segala sesuatunya pasti ada maksud? Dan Tuhan Yang Maha Tahu akan segala sesuatunya” Jawabnya kepadaku setiap saat. Dasar kampungan! Hari genee masih ngomongin Tuhan?! Ke laut aja deh..!
Ah, aku sampai tidak sanggup untuk bercerita bagaimana selama ini orang-orang selalu saja memanfaatkan kebaikan dirinya. Dia memang tenang-tenang saja mendapati perlakukan seperti itu. Tapi aku?! Tidak jarang aku menghajar dan menghardik orang-orang yang selalu berbuat seenaknya itu. Tentu semua itu tidak aku lakukan di hadapan Ridwan, karena dia pasti tidak suka aku berbuat demikian.
Tapi justru hal yang membuat aku heran kepada Ridwan itu adalah, ketika selalu saja ada uang berlebih yang ia dapatkan setiap hari dari orang lain. Padahal kami hidup di jalanan yang jelas-jelas jauh dari sikap toleransi dengan prinsip ‘siapa yang kuat dia yang menang.’ Seolah selalu saja ada uang yang bisa ia berikan kepada orang-orang yang meminta pertolongannya.
Tidak hanya masalaha materi, Ridwan memang selalu saja mau berbuat tanpa pamrih dalam setiap kesempatan. Ketika banyak orang yang tidak lagi merasa perduli satu sama lain. Seperti yang terjadi tempo hari, pada saat seorang Ibu-ibu berteriak minta tolong karena dompetnya di copet orang. Ridwan langsung berlari mengejar pencopet itu sementara orang-orang diam dalam ketakutan, sampai akhirnya ia berhadapan dengan gerombolan pencopet itu. Tapi hebatnya, para pencopet itu malah yang babak belur dihajar Ridwan. Dan anehnya lagi, Ridwan sama sekali tidak melaporkan mereka kepada polisi. Tapi bukan ucapan terima kasih yang didapat Ridwan dari Ibu yang dompetnya dicopet. Ibu itu malah menuduh Ridwan sebagai anggota dari para pencopet itu, karena uang yang dia kembalikan kepadanya telah berkurang. Untungnya, orang-orang dan polisi yang telah mengenal siapa Ridwan,tidak percaya dengan tuduhan Ibu itu. Hebat!
Semakin hari semua orang semakin mengenal Ridwan dengan baik dan semakin segan terhadap dirinya. Rasa segan yang bukan karena rasa takut akan kemampuan Ridwan yang pernah menghajar kelompok pencopet tempo hari. Tapi rasa hormat atas sikap dan perilakunya yang baik kepada mereka semua selama ini. Aku mulai jarang melihat perempuan yang menggendongan seorang bocah, atau para pengemis lain yang begitu berani meminta-minta kepadanya terus menerus. Tidak juga aku melihat orang-orang berani memanfaatkan kebaikan dirinya seperti dulu. Mereka baru akan meminta pertolongannya apabila telah benar-benar butuh uluran tangan Ridwan. Aneh!
Tidak bisa dihindari, rasa kagum mulai kurasakan dalam hati akan sosok manusia udik satu itu. Tapi seperti kisah-kisah yang sering aku dengar tentang orang-orang yang baik, yang selalu lebih cepat mati! Kematian itupun dengan cepat menghampirinya. Mayat Ridwan ditemukan di sebuah parit telah membusuk, dalam keadaan terikat dengan hanya mengenakan kolor. Sekujur tubuhnya biru lebam penuh dengan luka tusukan. Bahkan wajahnya hampir tidak bisa dikenali lagi. Babak belur dengan darah yang terlihat mengering di batok kepalanya.
Seperti yang  sudah aku perkirakan sebelumnya. Kehidupan keras di jalanan seperti ini penuh resiko. Jauh dari nilai toleransi satu sama lain. Kebaikan sudah lama mati diberangus nafsu iblis di hati semua orang. Dan begitulah akhirnya cerita tentang orang udik yang sangat kampungan lagi polos itu. Dia adalah Ridwan, bukan temanku dan bukan juga kawanku. Tapi dia sahabatku..





Minggu, 21 Agustus 2011

Menetap Pada Jasad











Aku hanya menetap pada jasad ini, lalu pergi menjadi apapun yang aku inginkan tanpa ada yang mampu menghalangi, kecuali rasa bosan. Yang seketika mampu membunuh diriku dan meninggalkannya begitu saja dalam keadaan masih meregang nyawa, sekarat, dalam kematian yang suri.
Aku akan melolong seperti srigala malam saat kesepian, mengabarkan kepada kegelapan bahwa aku datang. Hadir memenuhi hitam pekat yang diciptakan dalam kehidupan. Lidahku terjulur dengan dengus nafas yang menciptakan kabut dalam dingin malam. Sebab panas menjalar keseluruh tubuhku.
Atau sekedar menjadi burung hantu yang begitu menikmati kegelapan itu seorang diri. Bertengger di dahan pohon besar dengan pandangan mata yang awas melihat ke sekeliling. Menyibak bulu-bulu saat dingin semakin tak dapat ditahan. Lalu mengabarkan kepada iblis, setan dan jin-jin yang bergentayangan bahwa aku ada dan menjadi bagian dari mereka.
Jika marah mulai mengganggu, aku berlari menjadi hujan yang sebelum kehadirannya, menghadirkan gelegar suara petir dan halilintar, bersama awan gelap yang juga berisi angin topan. Kadang mampu memporak-porandakan apa yang ada. Dan jika marah belum mereda, maka hujan yang deras akan datang bersamaan dengan gelegar halilintar bersama angin topan yang mengguncang kehidupan. Tapi sekiranya aku tidak berkeinginan, hanya meraih gerimis yang perlahan-lahan jatuh dalam tetesan kecil yang kemudian pecah.
Ketika bimbang dan hampa tidak terelakan, aku berlari sebagai pohon cemara yang pasrah diterpa hembusan angin. Lalu ikut menari kesana kemari, mengikuti alunnya. Memejamkan ke dua mata ini, menikmati belaian lembut di wajahku. Tanpa pernah ingin membawa kilasan peristiwa yang bisa merusak suasana.
Jasad ini akan hancur dihantam perjalanan waktu, merenta dan membusuk untuk kemudian hilang sama sekali. Aku menetap disana kapanpun aku suka, ketika kurasa aku bisa menikmati tinggal bersamanya. Jika tidak?
Aku pergi menjadi merpati yang terbang bebas membelah angkasa, mencari kilasan-kilasan masa lalu yang bisa menggugah hati kembali. Sekedarnya saja, membangkitkan gejolak rasa pada hati yang kurasa mati.
Atau menjadi jingga dalam senja yang sesaat menguasai langit, sebelum akhirnya gelap datang mengusir pergi. Jingga yang menyamarkan antara waktu-waktu hidup diantara hitam dan putih untuk merupa samar dalam kelabu. Ketika semua orang begitu menghormati pergantian waktu. Aku membias langit dengan senyuman yang paling kubisa, sekedarnya saja mengisi kehidupan walaupun aku tahu diri yang tidak berarti ini.
Mata ini akan segera merabun, otak yang selalu aku banggakan juga jatuh melupa dalam pikun. Aku berada dalam jasad itu, selama aku merasa bisa nyaman menjalani hidup bersamanya. Demi orang yang aku cinta. tapi sekira tidak mungkin?
Aku akan menjadi sungai yang mengalir mengikuti alurnya hingga sampai ke laut. Membawa apa saja yang aku dapati sepanjang perjananku. Tidak perduli sampah, racun ataupun bangkai yang pada akhirnya aku dapati. Aku pasrah mengikuti arus yang tidak pernah berhenti. Hanya sesekali berharap hujan masih sudah membantuku menyingkirkan semua kotoran yang aku bawa. Atau paling tidak, membuat laju arus sungaiku menjadi lebih deras. Atau jika tidak mampu bertahan dalam damai, menghadirkan murka dengan banjir yang membuat panik semua orang. Paling tidak, bisa sama-sama merasakan susah.
Menjadi matahari, yang memberikan panas yang membakar tubuh setiap orang. Lalu mereka marah. Memaki kehadiranku yang mereka anggap tidak bersahabat. Terserah aku pikir. Aku bisa menjadi apapun yang aku mau, bukan yang mereka mau. Sebab mereka juga tidak pernah bisa menjadi seperti apa yang aku mau. Tapi menjadi apa yang mereka mau. Jadi??
Atau menjadi bulan yang sedikit bersembunyi di balik awan yang melintas. Memberi sedikit cahaya dalam romatisme percintaan sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta, atau sekedar menjadi teman para pemuda yang merasa gelisah di setiap gang-gang sempit, sambil memainkan gitar dan menenggak habis berbotol-botol minuman beralkohol. Biar saja, aku hanya ingin bisa tersenyum di sela persembunyianku. Lalu menyapa sepi para penghuni kubur yang telah lama terlupakan.
Aku masih menetap dalam jasad ini. dan sesaat lagi akan berlarian menjadi apapun yang aku mau. Cukup memejamkan mata dan membuang semua gelisah yang kurasa. Lalu jadilah aku! Meninggalkan jasad yang tergeletak tanpa nyawa. Toh pada akhirnya nanti aku akan pulang. Sampai saat kepulanganku yang sebenarnya. Ini hanya masalah menunggu! Lalu selama menunggu, aku menjadi apa saja yang aku mau.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Daftar Isi

 

Daftar Isi





Labels


View My Stats

kampungblogs

ArtikelBlogs

Cerpen

Translator

Translate This Page To:

English

Powered by: ALS & Google

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Pengunjung Blog

Alexa

GebLexs

Muntahan Diri

KumpulanBlogs

Entri Populer

MatiJiwa

Awank Kening

Jiwa-jiwa

everything is about Reina Ally

BlogUpp

KutuBuku


Mas ukkan Code ini K1-3B6F99-D
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Followers


ShoutMix chat widget
 

Recent Comments

Templates by | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger