“Hei, ini jakarta, Kawan. Kota Metropolitan! Dimana semua selalu dihargai dan dinilai dengan uang dan uang!”celotehku pada Ridwan.
“Hmm.. tidak selalu seperti itu aku pikir,” ucap Ridwan tidak sependapat. Aku hanya tertawa melihat kepolosan teman baruku ini. Orang udik yang benar-benar kampungan! Bagaimana tidak?! Dia masih percaya bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain di kota Jakarta ini, maka akan berbuah kebaikan juga. Hahaha.. ada-ada saja!
“Terserah kau saja! Yang penting aku sudah memperingatkan kau, Kawan.”
“Terima kasih. Tapi aku juga tidak pernah berkata kepadamu, bahwa apa yang telah kau katakan itu salah. Aku pikir itu ada benarnya juga”
Halah! Pintar juga orang kampung ini menyenangkan hati orang. Tapi aku mengakui, bahwa Ridwan terlihat berbeda dari orang-orang yang selama ini aku kenal. Tatap matanya jauh dari menyiratkan kemunafikan dan kebohongan. Polos! Benar-benar polos dan apa adanya. Baru kali ini aku menemui orang seperti dia di kota ini.
“Pintar juga kau menyenangkan hatiku, Kawan! Tapi aku tidak begitu suka kau puji, apalagi kata-kata pujianmu itu mengandung maksud” ucapku lagi kemudian, menyembunyikan sedikit rasa senang karena ucapannya yang membenarkan celoteh-celotehku.
Ridwan malah tersenyum, atau mungkin lebih tepatnya merasa geli mendengar ucapanku. “Akh, aku sama sekali tidak memujimu. Tidak tidak.. Aku bicara apa adanya, kok. Bahwa ada benarnya juga apa yang kau katakan, karena jika aku melihat kehidupan orang-orang di kota ini, yang memang selalu saja terlihat angkuh dan sibuk dengan diri mereka sendiri. Bahkan aku sering mendengar, bagaimana mereka suka sekali menindas satu sama lain. Tidak perduli itu saudara atau teman. Asalkan mereka senang, akan tetap mereka korbankan. Bukan begitu?!”
Ridwan tertawa keras sekali setelah mengucapkan kata-kata itu dan akupun ikut tertawa bersamanya. Mentertawakan semua kebenaran yang selama ini kami lihat di sekeliling kami.
“Trus?!”
“Trus? Maksudmu?”
“Iya, trus kenapa kau masih ngotot untuk berbuat baik kepada semua orang tanpa melihat-lihat dulu siapa orang yang akan kau tolong itu?!”
“O-oh.. aku pikir apa. Ya.. karena aku masih percaya saja dengan semua yang dikatakan oleh orang tuaku dan orang-orang terdahulu. Bahwa siapa yang menanam kebaikan maka akan berbuah kebaikan. Dan sebaliknya juga demikian”
Aku menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang aku dengar dari mulutnya. Keras kepala! Mungkin juga karena selama ini dia belum pernah menerima akibatnya. Tunggu saja saatnya nanti, dia pasti akan menyesal!
“Terserah kau saja,Kawan! Ter-se-rah!!”
Ridwan kembali tersenyum penuh arti melihat sikapku. Tapi.. ya, sudahlah! Biarkan saja. Sejujurnya, aku sendiri pernah seperti dirinya. Begitu percaya bahwa sebagai manusia, kita harus selalu berfikir positif kepada orang lain, kehidupan dan juga Tuhan. Tapi.. Seiring waktu dan kenyataan hidup yang aku terima. Semua itu perlahan-lahan tergeser dengan kesadaran, bahwa selama ini akulah yang bodoh! Aku hayalah seorang pemimpi yang begitu percaya bahwa tidak selamanya kehidupan dikota jakarta itu, segala sesuatunya dinilai dan dihargai dengan uang dan materi. Tidak mungkin!
Seperti saat ini, ketika bertemu dengan Ridwa, sesungguhnya aku menyukai dirinya. Tapi aku harus bisa menahan diri untuk tidak sepenuhnya percaya, karena pengalaman hidupku yang terus menerus selalu dikhianati teman sendiri. Mereka yang telah merebut tunanganku pada detik-detik terakhir pesta penikahan itu akan di gelar; mereka yang kupergoki tengah mengumbar nafsu bertelanjang ria bersama istriku di dalam kamarku sendiri; mereka yang telah menjebak aku hingga menjadi tertuduh telah melakukan korupsi di tempat kerja hingga dipecat; mereka yang telah menghamili adik perempuanku dan pergi begitu saja, lari dari tanggung jawab; mereka yang berperan seolah seorang dewa penolong ketika aku sedang kesulitan uang pada saat adik perempuanku mengalami keguguran, tapi ternyata mereka seorang rentenir! Jika demikian adanya, bagaimana bisa aku percaya kepada orang lain setelah berkali-kali dikhianati teman sendiri. Lalu Ridwan? Akh, kita lihat saja nanti!
Memang tidak ada yang berubah dari diri Ridwan. Masih saja bersikap baik dan selalu menolong siapa saja tanpa pamrih. Bahkan tidak perduli ketika pada akhirnya dirinya mendapat tatapan yang merasa jijik, hardikan, ditipu dan juga selalu dimanfaaatkan orang lain karena dia terlalu percaya pada semua orang. Lihatlah! Bagaimana dia masih saja memberikan uang kepada perempuan yang selalu menengadahkan tangan setiap hari sambil menggendong seorang anak kecil. Padahal alasan yang dikatakan perempuan itu selalu sama ,”Tolong, Mas.. saya sedang kesasar dan kehabisan uang. Tolong bantu saya dan anak saya agar bisa pulang” Luar biasa! Tanpa malu-malu dan takut bahwa kami jelas-jelas mengetahui kebohongannya, perempuan itu setiap hari menghampiri Ridwan untuk meminta-minta. Dan parahnya lagi, Ridwan masih saja memberikan uang kepada perempuan itu. Bodoh!
“Hei, Wan! Kamu itu bagaimana sih? Kamu sama saja membiarkan perempuan itu menjadi perempuan yang pemalas dengan terus-menerus menipu dirimu seperti ini!” ucapku setiap saat kepada Ridwan, sekedar mengingatkannya akan perbuatan baik yang aku anggap salah. Tapi Ridwan malah tersenyum kepadaku tanpa berniat untuk menghentikan kegiatannya. Sedangkan untuk makan sehari-hari saja, dia harus banting tulang dan menguras keringat. Ah, dasar orang udik!
“Kau tau, kawan. Kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan kita. Mungkin saja, perempuan itu dikirim Tuhan untuk menguji diri kita agar mau bersedekah setelah kita mendapatkan rejeki dari-Nya. Bukankah di dunia ini, semua kejadian dan segala sesuatunya pasti ada maksud? Dan Tuhan Yang Maha Tahu akan segala sesuatunya” Jawabnya kepadaku setiap saat. Dasar kampungan! Hari genee masih ngomongin Tuhan?! Ke laut aja deh..!
Ah, aku sampai tidak sanggup untuk bercerita bagaimana selama ini orang-orang selalu saja memanfaatkan kebaikan dirinya. Dia memang tenang-tenang saja mendapati perlakukan seperti itu. Tapi aku?! Tidak jarang aku menghajar dan menghardik orang-orang yang selalu berbuat seenaknya itu. Tentu semua itu tidak aku lakukan di hadapan Ridwan, karena dia pasti tidak suka aku berbuat demikian.
Tapi justru hal yang membuat aku heran kepada Ridwan itu adalah, ketika selalu saja ada uang berlebih yang ia dapatkan setiap hari dari orang lain. Padahal kami hidup di jalanan yang jelas-jelas jauh dari sikap toleransi dengan prinsip ‘siapa yang kuat dia yang menang.’ Seolah selalu saja ada uang yang bisa ia berikan kepada orang-orang yang meminta pertolongannya.
Tidak hanya masalaha materi, Ridwan memang selalu saja mau berbuat tanpa pamrih dalam setiap kesempatan. Ketika banyak orang yang tidak lagi merasa perduli satu sama lain. Seperti yang terjadi tempo hari, pada saat seorang Ibu-ibu berteriak minta tolong karena dompetnya di copet orang. Ridwan langsung berlari mengejar pencopet itu sementara orang-orang diam dalam ketakutan, sampai akhirnya ia berhadapan dengan gerombolan pencopet itu. Tapi hebatnya, para pencopet itu malah yang babak belur dihajar Ridwan. Dan anehnya lagi, Ridwan sama sekali tidak melaporkan mereka kepada polisi. Tapi bukan ucapan terima kasih yang didapat Ridwan dari Ibu yang dompetnya dicopet. Ibu itu malah menuduh Ridwan sebagai anggota dari para pencopet itu, karena uang yang dia kembalikan kepadanya telah berkurang. Untungnya, orang-orang dan polisi yang telah mengenal siapa Ridwan,tidak percaya dengan tuduhan Ibu itu. Hebat!
Semakin hari semua orang semakin mengenal Ridwan dengan baik dan semakin segan terhadap dirinya. Rasa segan yang bukan karena rasa takut akan kemampuan Ridwan yang pernah menghajar kelompok pencopet tempo hari. Tapi rasa hormat atas sikap dan perilakunya yang baik kepada mereka semua selama ini. Aku mulai jarang melihat perempuan yang menggendongan seorang bocah, atau para pengemis lain yang begitu berani meminta-minta kepadanya terus menerus. Tidak juga aku melihat orang-orang berani memanfaatkan kebaikan dirinya seperti dulu. Mereka baru akan meminta pertolongannya apabila telah benar-benar butuh uluran tangan Ridwan. Aneh!
Tidak bisa dihindari, rasa kagum mulai kurasakan dalam hati akan sosok manusia udik satu itu. Tapi seperti kisah-kisah yang sering aku dengar tentang orang-orang yang baik, yang selalu lebih cepat mati! Kematian itupun dengan cepat menghampirinya. Mayat Ridwan ditemukan di sebuah parit telah membusuk, dalam keadaan terikat dengan hanya mengenakan kolor. Sekujur tubuhnya biru lebam penuh dengan luka tusukan. Bahkan wajahnya hampir tidak bisa dikenali lagi. Babak belur dengan darah yang terlihat mengering di batok kepalanya.
Seperti yang sudah aku perkirakan sebelumnya. Kehidupan keras di jalanan seperti ini penuh resiko. Jauh dari nilai toleransi satu sama lain. Kebaikan sudah lama mati diberangus nafsu iblis di hati semua orang. Dan begitulah akhirnya cerita tentang orang udik yang sangat kampungan lagi polos itu. Dia adalah Ridwan, bukan temanku dan bukan juga kawanku. Tapi dia sahabatku..
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini