Menikah? Ah, mengapa hal itu
menjadi suatu keharusan? Apakah karena Tuhan telah memfirmankan
tentang hal itu didalam kitab suci? Ataukah semata karena ketakutan dari
diri kita saja akan kesendirian dalam hidup? Atau karena muak mendengar
mulut-mulut yang tak pernah berhenti bertanya, yang juga gemar menggunjingkan
kesendirian itu? Atau karena kita butuh seorang pewaris? Yang hanya bisa kita
miliki jika memiliki pasangan hidup, menikah.
Namun bagi zira, hal itu
bukanlah suatu keharusan yang bisa dianggap adil bagi dirinya. Karena jika
memang semua itu adalah suatu keharusan, dengan alasan karena tuhan telah
berfirman akan hal itu. Atau karena alasan apapun. Mengapa sampai hari ini,
sebuah Predikat untuk dirinya tak juga mau hilang, “Perawan Tua”. Predikat yang
lebih mirip penghinaan yang lebih terdengar seperti “Goa Tua”. Yang sekian lama
tak pernah terjamah oleh laki-laki. Atau seperti barang dagangan yang terpajang
sekian lama dan tidak pernah laku terjual, meski telah terpasang juga harga
obral. Hidup memang sering kali tidak adil kepada siapapun, tidak berpihak pada
sebagian orang.
Tidak ada satu manusia pun
yang menginginkan kesendirian dalam sepi, mendera kehidupannya. Tak akan ada
yang mengharapkan hidup sendiri. Bahkan Iblis pun seumur hidup mereka, selalu
mencari kawan untuk dijadikan teman sependeritaan. Saat mereka berada dalam
siksa api neraka kelak. Apalagi manusia?! Tapi itulah yang terjadi pada diri
Zira, dalam usia yang mendekati kepala empat, tepatnya 39 thn. Dia masih hidup
seorang diri, tanpa pendamping, tanpa suami dan tidak pula seorang kekasih
hadir dalam kehidupannya.
Tahapan menuju predikat itu
sudah dilewati Zira. Tahapan ketika teman-temannya satu persatu mulai
meninggalkan dirinya karena mereka menikah dengan orang yang mereka cintai.
Pertanyaan pertama muncul,”Eh, kapan giliran kamu. Ditunggu undangannya, lho.”
Lalu masuk ke tahap dimana mereka hamil dan memiliki anak,” Cepetan nikah
makanya, biar tahu rasanya hamil dan punya anak”
Lalu meningkat pada level kekhawatiran
yang dirasa semua orang, “Udah sama sepupuku aja. Nanti aku kenalin deh. Mau
yah?.” Semua seolah beruntun terjadi dan berulang, masa-masa pun berganti bagi
semua orang. Mereka yang tumbuh dewasa kemudian, ikut melangkahi Zira dalam
pernikahan. Sedang bentuk kekhawatiran, kini jatuh pada perjodohan. Yang kadang
tak lagi memikirkan apa yang di ingin dan dirasakan oleh seorang Zira. Namun
semua tetaplah sama, tetap menjadi kesendirian bagi Zira.
…
Dalam kesendiriannya
sehari-hari. Zira duduk disisi ranjang dimana Ibu tengah lelap tertidur. Ibu
yang wajahnya selalu terlihat pucat, dalam tubuh renta dan selalu saja
merasakan sakit yang tak berkesudahan. Hanya mengurusi Ibu saja yang bisa
dilakukan Zira, untuk mengabdikan kehidupannya yang sendiri. Wanita yang telah
membesarkan dirinya dan juga kakak-kakaknya. Kini, masa jayanya telah usai.
Setelah bertahun-tahun berjuang sendiri menghidupi ke 5 anaknya. Semenjak
kepergian suami tercinta untuk selama-lamanya. Ibulah yang menjadi tulang
punggung keluarga. Tanpa lelah dan mengeluh, melakukan apa saja yang bisa dia
lakukan. Demi masa depan anak-anaknya kelak.
Dirumah ini hanya tinggal Zira
dan Ibu. Sementara Kakak-kakaknya sudah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri.
Mereka menitipkan Ibu kepadanya, ketika Ibu mulai sering didera sakit terus
menerus. Tidak ada yang bisa mengurusnya, selain Zira.
“Maaf aku tidak bisa. Kalian
tahu sendiri bagaimana kehidupan keluarga kami. Aku dan istriku sama-sama
bekerja. Lalu siapa yang akan mengurusi Ibu?” ucap Kakak tertua Zira, Arman.
Saat dulu mereka berkumpul membicarakan perihal Ibu yang mulai sakit-sakitan
tanpa ada yang mengurus.
“Aku juga sama, Mas,” ucap
Mbak Mira, kakak ke dua Zira.”Setiap hari aku dan suamiku selalu pulang malam.
Anak-anak saja, di urus pembantu. Bagaimana aku bisa mengurusi Ibu?!”
Perdebatan yang terjadi tanpa
ada jalan keluar. Meskipun sebelumnya mereka pernah menyewa seorang perawat
yang khusus mengurusi Ibu. Namun setelah kejadian dimana Ibu jatuh dari tempat
tidur,sementara sang perawat tengah asik ngobrol dengan teman atau pacarnya di
telfon. Mereka sudah tidak lagi bisa mempercayai untuk menyerahkan Ibu kepada
orang lain.
“Kamu saja, Zir. Berhenti dari
pekerjaan kamu. Toh kamu juga belum menikah. Biar nanti kami semua yang akan
rutin mengirimi uang untuk keperluan kamu dan Ibu sehari-hari” usul Mas Budi,
kakak Zira nomer 3. Usul itupun di dukung penuh oleh Mbak Shinta, kakak ke
empatnya.
Akhirnya semenjak itu, Ziralah
yang merawat dan mengurus semua keperluan Ibu. Bukan karena keterpaksaan juga
usul itu diterima Zira. Namun juga karena kasih sayang yang dia miliki untuk
Ibunda tercinta. Terlebih lagi saat itu, Zira memang belum juga mendapat Jodoh.
Tak ada tanggungan dan beban bagi dirinya, apabila dia mendedikasikan hidupnya
untuk Ibunda tercinta.
Seperti saat ini, dengan setia
Zira menunggui Ibunya disisi ranjang. Betapa sebuah penghormatan besar telah
dipersembahkannya untuk Ibu. Perempuan yang begitu dicintainya. Hal ini pula
yang senantiasa bisa membuat Zira sedikitnya dapat melupakan tentang pernikahan
ataupun predikat dirinya. Hari-hari yang selalu sibuk, memberikan perhatian
khusus untuk Ibu.
“Maafkan Ibu ya, Nak. Kalau
Ibu sudah membuat kamu jadi susah.” ucap Ibu setiap saat. Mengetahui bagaimana
kasih sayang dan perhatian lebih selalu dia dapatkan dari Zira.
“Tidak apa-apa,kok, Bu. Sudah
kewajiban Zira untuk berbakti kepada Ibu,” jawab Zira sambil tersenyum. Dan Ibu
selalu meneteskan airmata melihat bakti dari anaknya ini. Terlebih bila Ibu
teringat betapa sampai saat ini. Zira masih hidup sendiri, melajang, dengan
predikat Perawan Tua melekat pada dirinya.
“Bagaimana kamu bisa bertemu
dengan jodoh kamu, Nak? Jika setiap saat kamu berada disini bersama Ibu,” ucap
Ibu lagi kemudian.
Zira tersenyum. Entahlah,
meskipun kini hanya ada dirinya dan juga Ibu. Zira masih tetap tidak dapat
menghindari diri dari pertanyaan-pertanyaan seputar jodoh dan pernikahan.
“Jika Tuhan memang
berkehendak. Apapun bisa terjadi khan, Bu? Seperti yang sering Ibu katakan pada
Zira dulu,” jawab Zira. Ibu tersenyum mendengar jawaban Zira. Tak pernah
terfikirkan sebelumnya, jika kata-kata yang dulu dia ucapkan akan dikembalikan
lagi kepadanya.
“Ibu akan selalu berdoa
untukmu, Nak”
Lalu Zira menjatuhkan
kepalanya disisi Ibu. Memejamkan mata menikmati teduh hati yang dia rasakan
setiap saat. Ketika dengan penuh kasih sayang, Ibu selalu berdoa untuknya. “Aku
selalu menunggu doa Ibu itu dikabulkan Tuhan, Bu” ucap Zira lirih, tenggelam
dalam rasanya sendiri. Ibupun membelai lembut penuh kasih, rambut kepala Zira.
……..
“Mas, Ibu sepertinya harus
dibawa ke Dokter. Batuknya tidak juga mau sembuh. Bahkan menjadi lebih sering”
ucap Zira khawatir, saat berbincang dengan Mas Arman ditelfon.
“Aduuuh, jangan sekarang dong.
Aku lagi ada urusan keluar kota, nih. Coba kamu hubungi Kakakmu yang lain,”
jawab Mas Arman sebelum akhirnya di menutup telfon.
Zira menghela nafas panjang
mendapati sikap kakaknya yang acuh atas sakit yang sedang diderita Ibu. Dan
saat menghubungi kakaknya yang lain, jawaban dengan alasan berbeda juga
didapatkan Zira.
“Aku lagi repot, Zir.
Anak-anak lagi sakit semua. Aku sudah ijin 3 hari dari kantor kemaren” ucap
Mbak Mira memberi alasan. Tak jauh berbeda dengan Mas Budi,“Nanti ajalah ke
dokternya. Kasih obat yang biasa Ibu minum aja dulu. Uangku sudah habis untuk
renovasi rumah kemaren, Zir.” Lalu Mbak Shinta, “Aduuuh, Zir. Kamu minta tolong
sama kakakmu yang lain dulu, deh. Aku lagi sibuk urusan kantor. Setiap hari
pulang malam. Kantorku sedang kena masalah besar, nih”
Zira berdiri lemas didepan
meja telfon. Rasa kecewa menghinggapi hatinya, saat mengetahui sikap
kakak-kakaknya yang seolah tak perduli. Namun, bagaimana pun juga inilah yang
terjadi sekarang. Kehidupan mereka telah menuntut perhatian mereka lebih,
dibandingkan perhatian mereka kepada Ibu yang pernah melahirkan dan membesarkan
mereka. Wajar memang, bisa dimaklumi adanya.
Namun keadaan Ibulah yang
membuat diri Zira begitu khawatir. Tidak seperti biasanya Ibu terus menerus
batuk tanpa berhenti. Zira merasa perlu untuk membawa Ibu ke dokter. Tapi oleh sebab
biaya kehidupan dirinya dan juga Ibu, selama ini ditanggung oleh
Kakak-kakaknya. Zira bingung bagaimana cara membawa Ibu ke dokter. Apalagi
persediaan uang yang ada sudah mulai menipis.
Zira bergegas menuju kamarnya.
Berdiri didepan pintu. Memperhatikan seisi kamar. Mencari-cari apa yang bisa di
jual. Uangnya akan digunakan untuk membayar ongkos berobat Ibu.
“Uhuk..Uhuk..Uhuk…” terdengar
suara ibu yang terbatuk-batuk. Seolah memacu diri Zira untuk segera bertindak
cepat memikirkan jalan keluar. Hampir saja Zira putus asa, karena tidak juga
menemukan apa yang bisa di jual. Semua tabungannya telah habis untuk menutupi
keperluan sehari-hari. Saat kakak-kakaknya lupa memberikan uang atau bahkan
lupa sama sekali. Perhiasan dan juga handphone miliknya telah lama dijual.
Tidak ada apa-apa lagi. Zira semakin panik, saat suara batuk Ibu semakin
terdengar tak terputus.
..
“Tolong Ibu saya, Suster!
Tolong!” seru Zira dísela tangis, kepada perawat yang berlari menghampiri mobil
Ambulance yang baru saja sampai. Zira melompat turun dari Mobil tersebut,
mengawal Ibunya yang tengah tak sadarkan diri. Sedangkan darah terlihat dari
tepi bibirnya.
“Mbak tunggu disini sebentar,
Biar kami periksa Ibunya dulu,” ucap seorang Perawat yang tadi. Dan membawa Ibu
masuk ruangan Gawat darurat. Dan tak lama kemudian seorang Dokter menyusul
masuk bersama dua perawat lain.
“Zira?!” tiba-tiba Dokter yang
hendak masuk keruangan itu berhenti didepan pintu menatap diri Zira. Sejenak
Zira terkejut mendapat sapaan itu. Ditatapnya dokter yang menyapa dirinya.
Sebuah bayangan melintas seketika dalam pikiran Zira tentang masa-masa yang
telah lama berlalu, masa indah yang penuh dengan cinta.
“Andi?..ini benar kamu Andi,
khan?,” seru Zira kemudian setelah berhasil mengingat siapa sosok dokter yang
ada dihadapannya. Dokter itupun mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu tunggu disini sebentar
yah” ucap dokter yang bernama Andi itu. Lalu masuk kedalam ruangan dimana Ibu
berada.
….
Isak tangis terdengar begitu
mengharukan saat melepas kepergian Ibu untuk selamanya. Di tanah pekuburan ini,
semua orang berkumpul dengan duka yang mendalam mereka rasa. Tak terkecuali
Zira serta keluarganya.
“Ikhlaskan saja, Zir. Semua
sudah kehendak Tuhan. Mungkin ini lebih baik untuk Ibu kamu, dibandingkan harus
terus menerus menderita karena sakitnya,” ucap Andi sambil merengkuh bahu Zira.
Lalu Zira menjatuhkan
tangisnya di dada Andi. Berusaha untuk bisa merelakan kepergiaan Ibunda
tercinta kembali kepangkuan Tuhan. Namun duka akan hampa yang dirasa, akan
kehilangan sosok Ibu. Tetaplah tak mudah bagi Zirah untuk menyingkirkannya. Dan
sedikit rasa kecewa terselip dihatinya, manakala mengingat sikap kakaknya
kemarin. Tapi bila semua ada dalam kehendak Tuhan. Tak ada satu manusiapun
mampu menghalanginya. Zira terus mencoba untuk tetap pada keikhlasan menerima
semua. Mencoba memaafkan sikap kakak-kakaknya.
….
Sebuah doa dan restu dari
seorang Ibu senantiasa didengar oleh Tuhan. Selalu saja. Manusia tidak akan
pernah mampu untuk menerka dan mengetahui akan rencana yang dimiliki Sang Kuasa
atas kehidupan mereka. Semilir angin berhembus pelan disekitar kuburan Ibu.
Disisi pekuburan itu, terlihat Zira dan juga Dokter Andi. Airmata kerinduan
akan sosok Ibu, jatuh menerpa wajah Zira. Hingga saat ini, meskipun dalam
kerelaan dan keikhlasan atas kepergian Ibu. Rindu itu senantiasa selalu hadir
dalam kehidupan Zira.
“Sudahlah, sayang. Mari kita
doakan saja Ibu.” ucap Andi sambil merangkul tubuh istrinya, Zira. Dalam
tangisan itu, Zira menjatuhkan kepala dan tubuhnya dalam pelukan Andi, suaminya.
“Bu, terima kasih atas doa Ibu
selama ini,”ucap Zira dalam isak tangisnya. ” Aku datang bersama Mas Andi
suamiku, Bu. Dan juga seorang cucu yang akan lahir dari rahimku.” Zira
mengelus-elus perutnya sendiri yang terlihat membesar.
“Semua karena doa Ibu selama
ini. Keajaiban hidup telah menghiasai kehidupan Zira sekarang. Mas Andi dan
Anak dalam kandunganku, Bu. Aku sayang Ibu, aku rindu Ibu. Terima kasih, Bu”
setelah mengucapkan itu, Zira pun jatuh dalam isak tangis yang panjang.
Menyembunyikan wajah dalam pelukan didada Andi.
Angin pun yang sesaat sempat
berhenti. Kembali berhembus dengan tenang dan berlalu. Membelai lembut tubuh
Zira, yang tengah jatuh dalam isak tangis. Bahagialah yang tengah dia rasakan
juga. Ketika kini kehidupannya melesat jauh, meninggalkan Predikat yang selama
ini melekat pada dirinya. Menjadi perempuan seutuhnya. Yang tetap pada entah,
semua rencana dan kuasa itu Tuhan miliki atas kehidupan hamba_NYA. “Selamat
berbahagia Zira”
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini