Suara memaki itu tak juga berhenti terdengar. “Sudah diam!
Berisik! Diaaam..!!” teriakku sejadi-jadinya dalam perasaan kesal. Lalu sejenak
suara itu berhenti, seolah terkekeh melihat tingkahku yang bodoh,
berteriak-teriak sebagaimana dirinya sambil memukul kepalaku sendiri. Kurang
ajar!
Entah sudah berapa kali aku berjalan mondar-mandir di dalam
kamarku ini, dalam gelisah dan perasaan cemas tak menentu. Lalu suara memaki
itu tiba-tiba datang, menghujami diriku dengan kata-kata yang kasar.”Manusia
bodoh! Tak berguna! Idiot! Tolol! Banci kaleng!” terus menerus tanpa henti.
Membuat sakit telinga dan juga kepalaku.
Tapi aku membenarkan semua kata-kata dalam caci maki itu. Aku
mengakui kebodohanku sebagai seorang manusia, sebagai lelaki yang tidak
berguna; tolol, idiot dan mirip banci kaleng. Dan semua kata-kata lain yang
keluar dari caci maki itu. Sialan!
Entah apa salahku? Aku hanya manusia yang berusaha hidup apa
adanya, jujur dan tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh, Sebagimana
kebanyakan orang. Aku tak
ingin menyakiti dan mengecewakan siapapun. Tidak pernah! Karena aku tahu, tuhan
tidak menyukai hal yang demikian. Meski kemudian yang terjadi adalah, aku yang
selalu disakiti dan dikecewakan oleh banya orang. Anjing!
Akhirnya aku jatuhkan tubuhku di atas ranjang. Sejenak
memejamkan mata, dari menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dalam
satu tarikan keras. HAH!!..
berharap detak jantung ini bisa kembali normal. Dan aku kembali bisa merasa
tenang. Aku berharap akan hal itu..
Tapi yang terjadi..tiba-tiba aku merasakan sakit didadaku dan
juga seolah tubuhku ditarik dengan paksa. Sakiiit…! Oh, ada apa lagi ini?
semakin lama semakin kuat tarikan pada tubuhku, dan perlahan aku bisa
melihat satu sosok bayangan yang keluar dari dalam tubuhku. Sosok hitam
tanpa wajah, dengan tangan yang seolah merobek dadaku sebagai jalan keluar
dirinya. AAAAAGGGHH….!!! Rasa sakit itu tidak dapat aku tahan lagi. Saat
bayangan itu semakin keluar dari tubuhku.
Aku terkulai lemah kehabisan tenaga. Rasa sakit yang begitu
kuat aku rasa, telah berhasil menguras energi tubuhku untuk menahannya. Dalam
helaan nafas yang cepat, keringat yang membasahi tubuhku, dan kesadaran yang
sedikit demi sedikit mulai hilang. Seiring gelapnya pandangan mataku. Tiba-tiba
tubuhku terangkat hampir menyentuh langit-langit kamar. Lalu dilemparkannya..
BUGH!! Tubuh telak menghantam tembok, dan jatuh telungkup
menahan sakit. Aku tak sempat berfikir tentang apa yang terjadi. Seluruh
persendian tubuhku serasa patah. Suara terkekeh mengejek diriku itu, kembali
terdengar. Setan! Ada apa sebenarnya ini?!
Samar-samar aku melihat sosok hitam yang tadi keluar dari
tubuhku mendekat. Dan kembali tubuhku terangkat dalam posisi menghadap tanah,
karena sosok hitam itu merengkuh bahu leherku dan juga celanaku. Tubuhku
diayunkannya kearah kiri, melayang dan menghantam lemari pakaianku. Kurang
ajar!! Makiku marah, karena di perlakukan sedemikian rupa, layaknya sebuah
boneka bagi seorang bocah.
Aku memaksakan diri untuk cepat berdiri meski sedikit
terhuyung, sebelum sosok hitam itu menghampiri diriku lagi. “Siapa Kau?!”
teriakku. Namun sosok hitam itu tidak menjawab, dan terus berjalan mendekati
diriku. Aku telah siap dalam posisi membela diri. Melihat diriku telah siap
dalam posisi demikian. Sosok itu sejenak menghentikan langkahnya, dan berdiri
dihadapanku.
“Ayo maju!! Kenapa diam?! Kita bertarung sampai mati!!” teriakku lagi
menantang. Tapi yang kemudian terjadi adalah, suara memaki itu kembali
terdengar seperti menggema di kepalaku.
“Manusia Tolol!! Kenapa kau melawannya?! Idiot tak berguna!
Kau tidak bisa melawannya! Mati saja kau!”
Aku menutup telingaku karena merasakan sakit mendengar suara
caci maki yang bergema keras itu. sampai mencari-cari asal suara itu, tapi tak
kutemukan juga. Bahkan sosok hitam yang tanpa wajah itupun kulihat diam tak
bergeming dari posisinya semula. “Berisiiiiiikk…!!’ teriakku sekeras-kerasnya.
Dan suara itu memaki itu kembali menjadi suara terkekeh, seolah tengah
mengejekku. “Setan! Keluar kau!! Jangan jadi pengecut!!” teriakku lagi.
Suara itu menghilang, tapi sosok hitam didepanku melangkah
maju mendekatiku dengan cepat. Lalu mencengkram batang leherku kuat-kuat.
Nafasku tercekat, mengeluarkan suara-suara diujung kematian. Aku berusaha
berontak melepaskan cengkraman tangan itu. Tetapi tak berhasil, karena aku
merasakan tangan itu begitu kuat.
Sejenak aku merasakan wajahku memucat, karena aliran darah aku
rasakan berhenti mengalir ke kepala. Mataku dengan sendirinya membelalak,
sebagaimana lidah yang menjulur keluar. Mati! aku akan mati saat ini! hanya itu
yang ada didalam benakku. Tanpa ku tahu apa yang harus aku lakukan lagi.
Sedetik ketika aku merasakan jiwa hampir melayang meninggalkan
tubuhku. sosok itu melepaskan cengkraman tangannya di batang leherku. Aku pun
jatuh bersimpuh terbatuk-batuk, berusaha menggapai udara yang sempat hilang
dari rongga dadaku. Dan
terdengar lagi tawa terkekeh mengejek diriku. Kurang ajar! Mahluk sialan!
……
Aku masih ingat bagaimana hinaan itu di lontarkan oleh orang
tua Sinta kepadaku, saat aku datang menemui mereka dan mengutarakan maksudku
untuk melamar.
“Manusia tidak tahu diri! Ngaca dong kamu! lihat siapa kamu
sebenarnya. Berani-beraninya kamu melamar Sinta, anak kami!” ucap Papanya Sinta
sambil melotot dan mengarahkan jari telunjuknya ke arahku terus menerus,
seperti tengah menghakimi diriku.
Sedang Mamanya Sinta malah beranjak dari duduknya, sambil
meletakan tangannya dipinggang,”Manusia gak berguna! Punya apa kamu?!
Berani-beraninya datang melamar. Kerja aja gak jelas! Mau dikasih makan apa
Sinta nanti? Mau makan batu?! Hah?!!”
Sementara aku bisa melihat Sinta yang tengah bersembunyi
dibalik tembok tak jauh dari tempat aku berada bersama orang tuanya. Aku bisa
mendengar tawa cekikikan geli dirinya, seolah merasa lucu dengan apa yang
tengah aku alami. Apa salahku?!
Bahkan ketika aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah besar
itu, aku masih mendengar hinaan itu dari teras lantai dua rumah ini. Dimana
sinta berdiri di tepi pagar batas, “Woi, Idiot! Jangan datang-datang lagi
kesini, yah?! Dasar banci kaleng! Pacaran aja enggak, berani-beraninya ngelamar
aku. Tolol!!”
Aku hanya bisa melangkah gontai meninggalkan rumah itu dengan
kepala tertunduk. Rasa kecewa bercampur rasa sakit karena hinaan yang aku
terima. Membuat diriku tak mampu lagi
berkata-kata untuk membantah semua ucapan mereka.
……
Sosok hitam itu telah kembali bersatu dalam tubuhku, sedangkan
suara caci maki itu berubah menjadi pemimpin dan juga penggembira dalam setiap
aksiku. Peluh jatuh membasahi tubuhku, dengan nafas memburu. Aku tengah berada
diatas tubuh telanjang Sinta, yang kedua kaki dan tangannya terikat oleh
tambang plastik di setiap kaki ranjang.
Sinta mencoba berontak dan berteriak dalam ketakutan. Namun
mulutnya telah aku sumpah dengan celana dalamku. Aku hanya mendengat suara
teriakan tertahan, yang aku anggap erangan kenikmatan. Sebagaimana kenikmatan
yang aku rasakan saat menyetubuhi dirinya. Akhirnya akupun terkapar disisi
tubuhnya. Sementara Sinta terlihat sesegukan dalam tangis dan linangan airmata.
Tiba-tiba aku merasa iba melihat dirinya. Tapi seketika itu
juga, suara caci maki itu terdengar keras mengema memenuhi kepalaku. ”Manusia
bodoh! Tak berguna! Idiot! Tolol! Banci kaleng!” sehingga aku harus menutup
telingaku dengan bantal yang ada di atas ranjang. “Diaaaaaaaaammm…..!!
berisiiiiiik…!!” teriakku sejadi-jadinya. Sinta terkejut melihat sikapku.
Dan aku juga kembali merasakan tubuhku seolah tertarik
sebagaimana sebelumnya, ketika sosok hitam yang berusaha keluar dari tubuhku.
Aku segera bangkit dari ranjang dan meraih golok yang aku bawa saat masuk ke
dalam rumah besar ini. Dan dengan sekali tebasan yang mengarah ke leher Sinta.
Seketika, darah keluar dari kepala dan leher yang kini telah terpisah. Suara
isak tangis Sinta pun hilang. Semua serasa berubah senyap. Sosok hitam itupun
tidak jadi keluar dari tubuhku. Suara tawa puas membahana memenuhi kamar ini.
Akupun melangkah dengan tubuh telanjang menghampiri Papa dan
Mama Sinta. Yang sedari tadi berada di sudut kamar, dengan posisi terikat
kaki-tangannya dan mulut yang terbungkam kain. Mereka menyaksikan apa yang aku
lakukan terhadap anaknya. Aku berjongkok dihadapan mereka.
“Maapkan aku ya, Ma,Pa.. seharus ini semua tidak terjadi.
Maap..” ucapku penuh sesal. Lalu aku kembali berdiri sambil menjambak rambut
kepala Mama Sinta. Dia berteriak dan berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan
tali dan juga jambakan pada rambutnya. Papa Sinta tak kalah histerisnya. Ia
menjatuhkan tubuhnya, mencoba merangkak bagai seekor ulat menghampiri diriku
dan istrinya. Tapi sepertinya percuma..
…
Aku bersimpuh diatas tubuh yang menggantung di pintu kamar
mandi. Dimana Mama dan Papa Sinta berada, dengan kondisi wajah yang pucat
membiru, mata yang hampir melompat dari tempatnya, dan lidah yang terjulur. Aku
menangis… sedangkan tawa yang selalu memenuhi isi kepalaku kembali terdengar
dan terasa lebih bersahabat dengan diriku, karena tanpa rasa sakit.
Aku hampiri tubuh Sinta yang kepalanya telah terpisah dari
tubuhnya. Aku angkat kepala itu, dan memeluknya dengan segenap rasa cinta yang
selama ini aku miliki untuknya. Apa salahku?! Aku hanya manusia yang tak mampu
menahan gejolak cinta dan rindu, yang datang tanpa ku undang. Jika boleh aku
memilih, aku tidak ingin merasakan cinta ini untuk seorang perempuan yang
sangat jauh berbeda derajat kehidupannya dengan kehidupanku.
Apalah aku? Aku hanya manusia yang tidak mampu melawan setiap
kejadian yang telah tuhan tetapkan ada untukku. Dan aku terlalu bodoh untuk
bisa memaknai maksud dari setiap kejadian. Aku tak pernah menginginkan semua
ini terjadi. Aku sungguh mencintaimu, Sinta. Meskipun aku tahu siapa diriku
sebelum sinta dan juga orang tuanya menghina diriku. Aku tahu itu!
…..
Berita headline di televisi hari ini. “Kembali telah terjadi
pembunuhan berantai, pembantaian satu keluarga, dimana kondisi korban-korbannya
sangat mengenaskan. Kedua orang tua yang tergantung di pintu kamar mandi, dan
tubuh seorang gadis dalam keadaan telanjang. Sedangkan kepala sang gadis tidak
ditemukan dilokasi kejadian. Pelaku yang sudah sekian lama di cari tidak
kunjung tertangkap oleh pihak yang berwajib”
“Sudah diam! Berisik! Diaaam..!!” suara teriakan terdengar dari sebuah kamar.
………
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini