SEMUA TIDAK LAGI SAMA

Semua tak lagi sama. Diriku jatuh pada kesendirian dan kesepian tanpa dirimu lagi. Hari-hari yang baru tampak asing bagiku. Entah, mengapa semua seolah nampak masih sama? Tapi aku merasa harus tetap berusaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.

CINTA DALAM RINDU-RINDU

Seperti rindu ini kepadamu, seperti itu pula malam terlewatkan dalam sepi dan sendiri. Aku mengejar dirimu dalam bayang-bayang, aku berlari dengan semua imaji diri. Mencari senyummu, wangi tubuhmu, harum nafasmu, manis senyum dibibirmu, indah gelak tawamu

DEMI SEPENGGGAL KATA

Demi sepenggal kata yang ingin aku persembahkan kepada hidup yang akan mati. Dimana kata mungkin akan melayang jauh diterpa angin topan dan juga badai. Terbelah dan pecah menjadi butir-butir air mata penyesalan malam para pendosaMelanang buana didunia yang gemerlap namun hitam dan samar tanpa putih...

LELAKI DENGAN 7 BIDADARI

Rasa kecewa kembali dirasakan oleh Pangdim, setelah mengetahui bahwa anaknya yang baru saja lahir ternyata kembali berjenis kelamin Perempuan. Sama seperti ke-6 anaknya yang lain: Ani, Sekar, Dewi, Ningrum, Nida dan Rifa. Pupuslah sudah harapan Pangdim untuk bisa memiliki keturunan seorang Lelaki

KENAPA HARUS JATUH CINTA

“AKh sialan!” gerutu Bejo memaki dirinya sendiri. Disuatu sore diruang tamu rumah kost-kostan, Dia angkat kedua kaki diatas meja. Tubuhnya disandarkan ke kursi yang dia miringkan. Sementara kedua tangannya nangkring asik di jidatnya yang jenong.

PELACUR ITU IBUKU

Semua orang terlihat sibuk dalam beberapa hari ini. “Besok adalah Hari Ibu,” kata mereka. Tapi apakah hari itu akan berarti buat ibuku? Yang juga kata orang, ibu adalah seorang Perempuan murahan, Perempuan bayaran, Sundel atau yang lebih sering kudengar sebutan untuk Ibu adalah seorang Pelacur

KESATRIA BURUNG BESI RAKSASA

Menurut cerita Nenek, Emak Udin itu diculik oleh Burung Besi Raksasa. Dulu. Saat Udin masih belajar berjalan. Tak ada yang bisa menyelamatkan Emak, karena Bapak juga telah lama tertidur di dalam tanah. Udin Memang tak mengenal dengan baik siapa orang tuanya,

TANKTOP VS CELANA BUTUT

Aku hanya melongo, bengong bego tak percaya dengan apa yang kulihat. “Ayo, Pah. Kita berangkat,” ucap istriku. Sementara aku masih melongo bego, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Istriku satu-satunya, berdandan mengenakan rok pendek yang panjangnya jauh di atas dengkul

CAWAN HIDUP

Ada masa dimana kebahagiaan dalam cawan itu, kita reguk lupa hingga tak bersisa. Sedangkan kesedihan yang kita tuang, meluber melewati batas tampung cawan itu. Lalu membasahi wajah dengan airmata. Tapi diantaranya, gelembung-gelembung hampa menjadi bagian dari setiap tetes rasa yang kita tuangkan kedalam cawan.

WAJAH-WAJAH GELAP

Jika dilihat, wajah setiap orang itu selain berbeda bentuk, tapi juga berbeda dalam cahaya yang terpancar. Sebelumnya aku tak percaya, tapi kemudian menjadi percaya, saat menatap diriku dalam cermin. Setelah sebelumnya aku bergumul dengan kekasihku , Lina. Gadis cantik yang aku kenal setahun lalu.

Rabu, 24 Agustus 2011

Persetubuhan Menuju Neraka










Sesungguhnya aku tengah melangkahkan kaki ini mendekati pintu neraka, ketika menatap dirimu yang tengah tertunduk malu-malu, dan segenap perasaanku campur aduk. Ada rasa yang aku miliki, ingin menatap dirimu berlama-lama dalam kerinduan. Hingga tanpa sadar, mata ini telah menelanjangi dirimu yang telah sempurna mempercantik diri dalam busana yang sedikit melaburkan imajinasi ke segala arah.
Ada rasa yang seolah-olah mendorong diri untuk berbuat lebih dari sekedar menatap dirimu. Sungguh, hasrat diri atas cinta ini tidak bisa kumengerti apa inginnya atas pertemuan kita. Kemudian mencoba melepas pada pelukan erat yang begitu erat, tak ingin rasanya jauh-jauh lagi darimu. Tapi bau harum tubuhmu, semerbak wangi rambutmu.. menggiring langkah kaki tanpa aku sadari, yang kini telah berada di depan pintu neraka.
Mata kita bertemu pandang, seiring degub jantung yang semakin tidak beraturan. Dorongan hasrat yang tak tertahan mengarahkan wajah kita semakin mendekat satu sama lain. Bibir kita menyatu, sedikit mengecup untuk kemudian melumat. Dan tanganku terasa gemetar dalam bimbang memegang anak kunci pintu neraka. Ragu dan tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Hingga nafas kita semakin memburu penuh hasrat birahi. Dan kunci itu tepat pada pada lubangnya, kuputar dan.., Klek! Hilanglah sudah semua kesucian yang selama ini kita jaga.
Aku tarik wajahmu lebih mendekat agar aku semakin dalam melumat bibir manismu itu dengan lidah yang menari-nari. Kaupun tidak menolak, malah melakukan hal yang sama. Kita begitu menikmat getar-getar nikmat persetubuhan bibir itu, hingga desahan semakin berpacu. Pintu neraka kubuka perlahan, Gelap... Dan tanganku sibuk membuka satu persatu kancing baju dan celana kita.  Lalu melepasnya, melempar asal tanpa kuperdulikan kemana jatuhnya baju, celana dan semua pakaian dalam yang tadi kita kenakan.
Meragu langkah kaki ini saat memasuki Neraka yang gelap. Hanya terlihat kobaran api yang menyala-nyala dari kejauhan. Aku merebahkan tubuhmu yang kini polos tanpa busana. Tatap mata kita berubah sayu menahan birahi yang melonjak-lonjak kegirangan. Lalu ciumanku mulai berlari menyusuri setiap bagian tubuhmu yang mampu menghadirkan nikmat-nikmat dunia itu.
Panas kurasakan ketika memasuki neraka yang menyala-nyala itu, suara teriakan dan rintih kesakitan menggema ke segala arah. Tubuh sedikit gemetar antara takut dan ingin kembali. Tapi tubuh kita telah basah oleh keringat dan dengus nafas birahi. Kau mengerang, merintih, bergelinjang menikmati setiap sentuhan dan kecupan itu.Tubuhku sendiri gemetar ketika mencoba bertahan dalam keinginan yang sebenarnya tak tertahan. Aku miliki sepenuhnya dirimu kini, sebagaimana kamu telah memiliki diriku untuk mendekati dan memasuki pintu neraka itu.
Kini kita tidak sanggup lagi bertahan, keinginan terbesar untuk segera sampai pada puncak tertinggi kenikmatan birahi ini. Aku memasuki dirimu perlahan, kau merintih dalam kesakitan, ku lumat lagi bibirmu sekedar mengusir sakit demi nikmat berlebih yang akan kamu rasakan.
“Aaaaghh..!!” tubuhku tersungkur dalam lubang hitam yang menurun. Jatuh pada kegelapan yang benar-benar gelap. Teriakan itu bukan sekedar teriakan kesakitan, namun menjelma dalam jerit kesakitan dan juga ketakutan. Aku merasa ngeri mendengar semua itu.
Kita merintih setiap saat aku memasuki dirimu dengan pelan, nikmat menjalar keseluruh tubuh hingga sampai ujung kepalaku. Aah…! Pelukan tubuhmu semakin erat kita aku semakin mempercepat memacu hasrat agar segera sampai. Rintihan-rintihanmu semakin memacu diri untuk bisa mempersembahkan kenikmatan terbaik dalam hidupmu. Kita harus sampai bersamaan, sayang…
“Tolooooong…! Tolooooong…!’ ketakutan mulai menghinggapi diriku yang jatuh dalam lubang yang begitu dalam lagi gelap. Sepertinya sudah terlambat. Kini bukan hanya jeritan kesakitan yang aku dengar, tapi juga caci maki dan kemarahan para malaikat penjaga neraka. Aku segera bersembunyi dalam sudut kegelapan itu, berharap para penjaga itu tidak menemukanku. Entah sampai kapan?
Kita melenguh panjang dalam pelukan terhebat yang pernah kita rasakan. Jiwa kita terbang mencapai langit yang dulu hanya menjadi angan untuk kita tapaki. Lalu jatuh abruk menindih tubuh polosmu yang telah bersimbah keringat. Nafas yang tiba-tiba cepat bergemuruh perlahan mencari keseimbangan pada pijakan nada yang seimbang. Aku letih, demikian pula dirimu. Ku kecup mesra kening itu, sambil mengucap kata cinta yang telah ternoda hari ini. Kita begitu bahagia telah melepas semua, tanpa tersadari betapa jiwaku telah memasuk ruang neraka dengan api yang menyala-nyala, penuh dengan jarit teriak orang-orang yang kesakitan. Memohon belas kasih, namun yang didapat ada rasa sakit yang berlebih. Jiwaku terjebak dalam gelap dan keputus asaan.
Sementara diri tak mampu lagi untuk menjauh dari nikmat-nikmat surga dunia. Menggoda kita untuk kembali merasakannya hingga lelap mulai merambah. Dan kaupun tertidur sambil memelukku. Kita sama sekali lupa akan hitam, kita sama sekali lupa menjaga kesucian cinta, kita benar-benar kalah dan terbuai. Kita yang telah masuk ke dalam jurang neraka yang dalam. Seperti akan sulit untuk bisa keluar meraih cahaya seperti dulu.


Selasa, 23 Agustus 2011

Orang Udik Itu Sahabatku











“Hei, ini jakarta, Kawan. Kota Metropolitan! Dimana semua selalu dihargai dan dinilai dengan uang dan uang!”celotehku pada Ridwan.
“Hmm.. tidak selalu seperti itu aku pikir,” ucap Ridwan tidak sependapat. Aku hanya tertawa melihat kepolosan teman baruku ini. Orang udik yang benar-benar kampungan! Bagaimana tidak?! Dia masih percaya bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain di kota Jakarta ini, maka akan berbuah kebaikan juga. Hahaha.. ada-ada saja!
“Terserah kau saja! Yang penting aku sudah memperingatkan kau, Kawan.”
“Terima kasih. Tapi aku juga tidak pernah berkata kepadamu, bahwa apa yang telah kau katakan itu salah. Aku pikir itu ada benarnya juga”
Halah! Pintar juga orang kampung ini menyenangkan hati orang. Tapi aku mengakui, bahwa Ridwan terlihat berbeda dari orang-orang yang selama ini aku kenal. Tatap matanya jauh dari menyiratkan kemunafikan dan kebohongan. Polos! Benar-benar polos dan apa adanya. Baru kali ini aku menemui orang seperti dia di kota ini.
“Pintar juga kau menyenangkan hatiku, Kawan! Tapi aku tidak begitu suka kau puji, apalagi kata-kata pujianmu itu mengandung maksud” ucapku lagi kemudian, menyembunyikan sedikit rasa senang karena ucapannya yang membenarkan celoteh-celotehku.
Ridwan malah tersenyum, atau mungkin lebih tepatnya merasa geli mendengar ucapanku. “Akh, aku sama sekali tidak memujimu. Tidak tidak.. Aku bicara apa adanya, kok. Bahwa ada benarnya juga apa yang kau katakan, karena jika aku melihat kehidupan orang-orang di kota ini, yang memang selalu saja terlihat angkuh dan sibuk dengan diri mereka sendiri. Bahkan aku sering mendengar, bagaimana mereka suka sekali menindas satu sama lain. Tidak perduli itu saudara atau teman. Asalkan mereka senang, akan tetap mereka  korbankan. Bukan begitu?!”
Ridwan tertawa keras sekali setelah mengucapkan kata-kata itu dan akupun ikut tertawa bersamanya. Mentertawakan semua kebenaran yang selama ini kami lihat di sekeliling kami.
“Trus?!”
“Trus? Maksudmu?”
“Iya, trus kenapa kau masih ngotot untuk berbuat baik kepada semua orang tanpa melihat-lihat dulu siapa orang yang akan kau tolong itu?!”
“O-oh.. aku pikir apa. Ya.. karena aku masih percaya saja dengan semua yang dikatakan oleh orang tuaku dan orang-orang terdahulu. Bahwa siapa yang menanam kebaikan maka akan berbuah kebaikan. Dan sebaliknya juga demikian”
Aku menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang aku dengar dari mulutnya. Keras kepala! Mungkin juga karena selama ini dia belum pernah menerima akibatnya. Tunggu saja saatnya nanti, dia pasti akan menyesal!
“Terserah kau saja,Kawan! Ter-se-rah!!”
Ridwan kembali tersenyum penuh arti melihat sikapku. Tapi.. ya, sudahlah! Biarkan saja. Sejujurnya, aku sendiri pernah seperti dirinya. Begitu percaya bahwa sebagai manusia, kita harus selalu berfikir positif kepada orang lain, kehidupan dan juga Tuhan. Tapi.. Seiring waktu dan kenyataan hidup yang aku terima. Semua itu perlahan-lahan tergeser dengan kesadaran, bahwa selama ini akulah yang bodoh! Aku hayalah seorang pemimpi yang begitu percaya bahwa tidak selamanya kehidupan dikota jakarta itu, segala sesuatunya dinilai dan dihargai dengan uang dan materi. Tidak mungkin!
Seperti saat ini, ketika bertemu dengan Ridwa, sesungguhnya aku menyukai dirinya. Tapi aku harus bisa menahan diri untuk tidak sepenuhnya percaya, karena pengalaman hidupku yang terus menerus selalu dikhianati teman sendiri. Mereka yang telah merebut tunanganku pada detik-detik terakhir pesta penikahan itu akan di gelar; mereka yang kupergoki tengah mengumbar nafsu bertelanjang ria bersama istriku di dalam kamarku sendiri; mereka yang telah menjebak aku hingga menjadi tertuduh telah melakukan korupsi di tempat kerja hingga dipecat; mereka yang telah menghamili adik perempuanku dan pergi begitu saja, lari dari tanggung jawab; mereka yang berperan seolah seorang dewa penolong ketika aku sedang kesulitan uang pada saat adik perempuanku mengalami keguguran, tapi ternyata mereka seorang rentenir! Jika demikian adanya, bagaimana bisa aku percaya kepada orang lain setelah berkali-kali dikhianati teman sendiri. Lalu Ridwan? Akh, kita lihat saja nanti!
Memang tidak ada yang berubah dari diri Ridwan. Masih saja bersikap baik dan selalu menolong siapa saja tanpa pamrih. Bahkan tidak perduli ketika pada akhirnya dirinya mendapat tatapan yang merasa jijik, hardikan, ditipu dan juga selalu dimanfaaatkan orang lain karena dia terlalu percaya pada semua orang. Lihatlah! Bagaimana dia masih saja memberikan uang kepada perempuan yang selalu menengadahkan tangan setiap hari sambil menggendong seorang anak kecil. Padahal alasan yang dikatakan perempuan itu selalu sama ,”Tolong, Mas.. saya sedang kesasar dan kehabisan uang. Tolong bantu saya dan anak saya agar bisa pulang” Luar biasa! Tanpa malu-malu dan takut bahwa kami jelas-jelas mengetahui kebohongannya, perempuan itu setiap hari menghampiri Ridwan untuk meminta-minta. Dan parahnya lagi, Ridwan masih saja memberikan uang kepada perempuan itu. Bodoh!
“Hei, Wan! Kamu itu bagaimana sih? Kamu sama saja membiarkan perempuan itu menjadi perempuan yang pemalas dengan terus-menerus menipu dirimu seperti ini!” ucapku setiap saat kepada Ridwan, sekedar mengingatkannya akan perbuatan baik yang aku anggap salah. Tapi Ridwan malah tersenyum kepadaku tanpa berniat untuk menghentikan kegiatannya. Sedangkan untuk makan sehari-hari saja, dia harus banting tulang dan menguras keringat. Ah, dasar orang udik!
“Kau tau, kawan. Kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan kita. Mungkin saja, perempuan itu dikirim Tuhan untuk menguji diri kita agar mau bersedekah setelah kita mendapatkan rejeki dari-Nya. Bukankah di dunia ini, semua kejadian dan segala sesuatunya pasti ada maksud? Dan Tuhan Yang Maha Tahu akan segala sesuatunya” Jawabnya kepadaku setiap saat. Dasar kampungan! Hari genee masih ngomongin Tuhan?! Ke laut aja deh..!
Ah, aku sampai tidak sanggup untuk bercerita bagaimana selama ini orang-orang selalu saja memanfaatkan kebaikan dirinya. Dia memang tenang-tenang saja mendapati perlakukan seperti itu. Tapi aku?! Tidak jarang aku menghajar dan menghardik orang-orang yang selalu berbuat seenaknya itu. Tentu semua itu tidak aku lakukan di hadapan Ridwan, karena dia pasti tidak suka aku berbuat demikian.
Tapi justru hal yang membuat aku heran kepada Ridwan itu adalah, ketika selalu saja ada uang berlebih yang ia dapatkan setiap hari dari orang lain. Padahal kami hidup di jalanan yang jelas-jelas jauh dari sikap toleransi dengan prinsip ‘siapa yang kuat dia yang menang.’ Seolah selalu saja ada uang yang bisa ia berikan kepada orang-orang yang meminta pertolongannya.
Tidak hanya masalaha materi, Ridwan memang selalu saja mau berbuat tanpa pamrih dalam setiap kesempatan. Ketika banyak orang yang tidak lagi merasa perduli satu sama lain. Seperti yang terjadi tempo hari, pada saat seorang Ibu-ibu berteriak minta tolong karena dompetnya di copet orang. Ridwan langsung berlari mengejar pencopet itu sementara orang-orang diam dalam ketakutan, sampai akhirnya ia berhadapan dengan gerombolan pencopet itu. Tapi hebatnya, para pencopet itu malah yang babak belur dihajar Ridwan. Dan anehnya lagi, Ridwan sama sekali tidak melaporkan mereka kepada polisi. Tapi bukan ucapan terima kasih yang didapat Ridwan dari Ibu yang dompetnya dicopet. Ibu itu malah menuduh Ridwan sebagai anggota dari para pencopet itu, karena uang yang dia kembalikan kepadanya telah berkurang. Untungnya, orang-orang dan polisi yang telah mengenal siapa Ridwan,tidak percaya dengan tuduhan Ibu itu. Hebat!
Semakin hari semua orang semakin mengenal Ridwan dengan baik dan semakin segan terhadap dirinya. Rasa segan yang bukan karena rasa takut akan kemampuan Ridwan yang pernah menghajar kelompok pencopet tempo hari. Tapi rasa hormat atas sikap dan perilakunya yang baik kepada mereka semua selama ini. Aku mulai jarang melihat perempuan yang menggendongan seorang bocah, atau para pengemis lain yang begitu berani meminta-minta kepadanya terus menerus. Tidak juga aku melihat orang-orang berani memanfaatkan kebaikan dirinya seperti dulu. Mereka baru akan meminta pertolongannya apabila telah benar-benar butuh uluran tangan Ridwan. Aneh!
Tidak bisa dihindari, rasa kagum mulai kurasakan dalam hati akan sosok manusia udik satu itu. Tapi seperti kisah-kisah yang sering aku dengar tentang orang-orang yang baik, yang selalu lebih cepat mati! Kematian itupun dengan cepat menghampirinya. Mayat Ridwan ditemukan di sebuah parit telah membusuk, dalam keadaan terikat dengan hanya mengenakan kolor. Sekujur tubuhnya biru lebam penuh dengan luka tusukan. Bahkan wajahnya hampir tidak bisa dikenali lagi. Babak belur dengan darah yang terlihat mengering di batok kepalanya.
Seperti yang  sudah aku perkirakan sebelumnya. Kehidupan keras di jalanan seperti ini penuh resiko. Jauh dari nilai toleransi satu sama lain. Kebaikan sudah lama mati diberangus nafsu iblis di hati semua orang. Dan begitulah akhirnya cerita tentang orang udik yang sangat kampungan lagi polos itu. Dia adalah Ridwan, bukan temanku dan bukan juga kawanku. Tapi dia sahabatku..





Minggu, 21 Agustus 2011

Menetap Pada Jasad











Aku hanya menetap pada jasad ini, lalu pergi menjadi apapun yang aku inginkan tanpa ada yang mampu menghalangi, kecuali rasa bosan. Yang seketika mampu membunuh diriku dan meninggalkannya begitu saja dalam keadaan masih meregang nyawa, sekarat, dalam kematian yang suri.
Aku akan melolong seperti srigala malam saat kesepian, mengabarkan kepada kegelapan bahwa aku datang. Hadir memenuhi hitam pekat yang diciptakan dalam kehidupan. Lidahku terjulur dengan dengus nafas yang menciptakan kabut dalam dingin malam. Sebab panas menjalar keseluruh tubuhku.
Atau sekedar menjadi burung hantu yang begitu menikmati kegelapan itu seorang diri. Bertengger di dahan pohon besar dengan pandangan mata yang awas melihat ke sekeliling. Menyibak bulu-bulu saat dingin semakin tak dapat ditahan. Lalu mengabarkan kepada iblis, setan dan jin-jin yang bergentayangan bahwa aku ada dan menjadi bagian dari mereka.
Jika marah mulai mengganggu, aku berlari menjadi hujan yang sebelum kehadirannya, menghadirkan gelegar suara petir dan halilintar, bersama awan gelap yang juga berisi angin topan. Kadang mampu memporak-porandakan apa yang ada. Dan jika marah belum mereda, maka hujan yang deras akan datang bersamaan dengan gelegar halilintar bersama angin topan yang mengguncang kehidupan. Tapi sekiranya aku tidak berkeinginan, hanya meraih gerimis yang perlahan-lahan jatuh dalam tetesan kecil yang kemudian pecah.
Ketika bimbang dan hampa tidak terelakan, aku berlari sebagai pohon cemara yang pasrah diterpa hembusan angin. Lalu ikut menari kesana kemari, mengikuti alunnya. Memejamkan ke dua mata ini, menikmati belaian lembut di wajahku. Tanpa pernah ingin membawa kilasan peristiwa yang bisa merusak suasana.
Jasad ini akan hancur dihantam perjalanan waktu, merenta dan membusuk untuk kemudian hilang sama sekali. Aku menetap disana kapanpun aku suka, ketika kurasa aku bisa menikmati tinggal bersamanya. Jika tidak?
Aku pergi menjadi merpati yang terbang bebas membelah angkasa, mencari kilasan-kilasan masa lalu yang bisa menggugah hati kembali. Sekedarnya saja, membangkitkan gejolak rasa pada hati yang kurasa mati.
Atau menjadi jingga dalam senja yang sesaat menguasai langit, sebelum akhirnya gelap datang mengusir pergi. Jingga yang menyamarkan antara waktu-waktu hidup diantara hitam dan putih untuk merupa samar dalam kelabu. Ketika semua orang begitu menghormati pergantian waktu. Aku membias langit dengan senyuman yang paling kubisa, sekedarnya saja mengisi kehidupan walaupun aku tahu diri yang tidak berarti ini.
Mata ini akan segera merabun, otak yang selalu aku banggakan juga jatuh melupa dalam pikun. Aku berada dalam jasad itu, selama aku merasa bisa nyaman menjalani hidup bersamanya. Demi orang yang aku cinta. tapi sekira tidak mungkin?
Aku akan menjadi sungai yang mengalir mengikuti alurnya hingga sampai ke laut. Membawa apa saja yang aku dapati sepanjang perjananku. Tidak perduli sampah, racun ataupun bangkai yang pada akhirnya aku dapati. Aku pasrah mengikuti arus yang tidak pernah berhenti. Hanya sesekali berharap hujan masih sudah membantuku menyingkirkan semua kotoran yang aku bawa. Atau paling tidak, membuat laju arus sungaiku menjadi lebih deras. Atau jika tidak mampu bertahan dalam damai, menghadirkan murka dengan banjir yang membuat panik semua orang. Paling tidak, bisa sama-sama merasakan susah.
Menjadi matahari, yang memberikan panas yang membakar tubuh setiap orang. Lalu mereka marah. Memaki kehadiranku yang mereka anggap tidak bersahabat. Terserah aku pikir. Aku bisa menjadi apapun yang aku mau, bukan yang mereka mau. Sebab mereka juga tidak pernah bisa menjadi seperti apa yang aku mau. Tapi menjadi apa yang mereka mau. Jadi??
Atau menjadi bulan yang sedikit bersembunyi di balik awan yang melintas. Memberi sedikit cahaya dalam romatisme percintaan sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta, atau sekedar menjadi teman para pemuda yang merasa gelisah di setiap gang-gang sempit, sambil memainkan gitar dan menenggak habis berbotol-botol minuman beralkohol. Biar saja, aku hanya ingin bisa tersenyum di sela persembunyianku. Lalu menyapa sepi para penghuni kubur yang telah lama terlupakan.
Aku masih menetap dalam jasad ini. dan sesaat lagi akan berlarian menjadi apapun yang aku mau. Cukup memejamkan mata dan membuang semua gelisah yang kurasa. Lalu jadilah aku! Meninggalkan jasad yang tergeletak tanpa nyawa. Toh pada akhirnya nanti aku akan pulang. Sampai saat kepulanganku yang sebenarnya. Ini hanya masalah menunggu! Lalu selama menunggu, aku menjadi apa saja yang aku mau.

Jumat, 19 Agustus 2011

Menukar Kehidupan








Aku tidak tahu lagi apa yang aku rasa saat ini. Setelah hampir sepuluh tahun lebih membina rumah tangga dengan Keysha, kehidupan kami masih saja berada dalam harapan menunggu datangnya buah hati. Seorang anak yang mungkin bisa membuat kehidupan kami lebih ramai dan sempurna, jauh dari rasa sepi seperti yang kami rasakan selama ini. Tapi bukan berarti kehidupan kami berdua tidak bahagia, hanya saja kami berdua masih tetap merasa ada sesuatu yang kurang dalam kebahagiaan itu.
Segala cara telah kami coba, dari berobat ke dokter spesialis yang terkenal sampai pengobatan alternatif. Tapi sampai saat ini belum juga membuahkan hasil. Harapan-harapan itu masih tetap berada dalam menunggu dan bukan hal yang mudah untuk bisa bertahan dalam keyakinan untuk membesarkan hati kami berdua setelah berkali-kali gagal. Tidak dapat kami pungkiri, semakin hari semakin terasa terkikis habis keyakinan itu. Padahal dari semua hasil pemeriksaan dokter, kami berdua dinyatakan dalam keadaan sehat wal a’fiat.
Aku tidak bisa menahan kesedihan yang begitu mengguncang perasaan, ketika harus melihat Keysha bersedih setiap kali waktu menstruasinya datang. Padahal sudah hampir 2 minggu lebih telat datang dari jadwal yang biasanya. Kegembiraan yang sesaat datang, keyakinan yang tiba-tiba tumbuh lagi menjadi besar, seketika hancur lebur dan hilang sama sekali. Menjadi rasa putus asa dan jauh dari keyakinan, bahwa kami akan dapat memiliki keturunan seperti orang lain. Aku tidak kuasa melihatnya menangis terisak di dalam toilet kamar mandi, menutup wajah dengan kedua tangannya. Sakit sekali aku rasakan di dalam dada ini, melebihi rasa sakit yang Keysha rasa. Ya, Tuhan.. Apa salah dan dosa kami?
Meski rasa sakit itu begitu terasa mengguncang ketegaran diri, namun harus tetap berusaha untuk tidak menunjukan kepada dirinya akan hal itu. Setiap saat, aku harus bisa tersenyum dan terlihat tegar untuk bisa membuat dirinya kembali kepada keyakinan itu dan tersenyum. Meski aku sendiri telah jatuh pada rasa putus asa. Keysha akan menangis dalam pelukanku hingga merasa lelah, lalu tertidur. Betapa aku sendiri dibebani perasaan yang bertubi-tubi ketika melihat wajah cantiknya itu, terlelap tidur meraih mimpi-mimpi yang belum juga ia raih dalam kehidupan nyata. Sementara aku sendiri berada dalam rasa yang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Ingin rasanya memaki Tuhan atas semua yang terjadi dan mempertanyakan tentang permainan hidup yang tengah Dia ciptakan? Tapi aku tahu dan tetap berusaha meyakinkan diri, bahwa aku tidak boleh melakukan itu, bahwa Tuhan Maha Sempurna, Maha Mengetahui segala sesuatu yang terbaik bagi setiap hamba-hamba-Nya. Dan aku? Aku diam, kembali mencoba untuk pasrah dengan apapun yang telah ditetapkan-Nya untukku.
Hingga suatu hari aku bermimpi bertemu dengan seorang Lelaki Tua berjanggut putih, serta mengenakan jubah yang sama putih lagi panjang. Dalam mimpi itu ia menuturkan bahwa aku bisa memiliki keturunan sebagaimana juga orang lain dengan syarat; kami mau menukar kehidupan kami untuk kehidupan anak kami itu, dalam artian salah satu dari kami akan mati,meninggalkan dunia ini selama-lamanya.
Awalnya aku tidak terlalu terpengaruh dengan mimpi itu, sampai saat mimpi itu terus datang setiap malam dalam cerita yang sama. Hingga mulai merasa bahwa mimpi itu sebagai petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Tapi aku merahasiakan hal ini kepada Keysha, atas dasar pertimbangan bahwa hal ini belum tentu benar. Dan seandainya pun hal ini benar adanya, aku tidak mau semua itu malah menjadi masalah baru bagi kami berdua. Tapi serta merta hal itu cukup mengganggu diriku setiap saat, karena mimpi itu seolah menunggu jawaban akan kesediaanku untuk menukar kehidupan.
Sudah jelas hal itu merupakan pilhan yang sulit. Kehidupan siapakah yang harus ditukar untuk kehidupan buah hati kami? Kehidupanku atau kehidupan Keysha? Apalah artinya semua kebahagiaan yang kami rasa? Jika pada akhirnya kami juga harus kehilangan diri kami satu sama lain. Apalah arti kebahagiaanku atas kelahiran buah hati kami, jika pada akhirnya aku harus kehilangan Keysha? Demikian juga sebaliknya, apalah arti kebahagiaan yang akan dirasakan Keysha jika pada akhirnya ia harus kehilangan diriku? Ya, Tuhan.. permainan apalagi ini??..
Sesaat sempat berfikir untuk merelakan kehidupanku sebagai pengganti kehidupan buah hati kami. Sebab merasa, bahwa selama ini tidak ada hal istimewa yang telah kulakukan dalam kehidupan ini. Aku hanya lelaki biasa dengan kehidupan biasa, bukan orang penting yang memiliki jasa atas kehidupan dalam berbangsa dan bernegara ataupun berjasa dalam kehidupan banyak orang. Aku hanya aku semata. Bahkan aku merasa bahwa, semua persoalan yang kini tengah kami alami, semua itu karena diriku dengan semua dosa-dosa masa laluku. Aku merasa telah menyeret Keysha dalam persoalan hidup yang menanggung beban atas semua dosa-dosaku. Mungkin ada baiknya, jika memberikan kebahagiaan hidup kepada Keysha dengan menukar kehidupanku demi bayi yang selama ini kami damba-dambakan. Setidaknya, aku bisa merasa bahagia telah memberikan kebahagiaan kepada dirinya. Meskipun pada akhirnya, aku juga telah memberi kesedihan dengan kematianku.
Tapi.. entahlah, aku merasa belum siap untuk meninggalkan kehidupan ini. Apalagi jika mengingat dosa-dosa yang selama ini telah kulakukan. Sepertinya kematian itu menjadi begitu menakutkan pada akhirnya. Apalagi bayang-bayang tentang siksa neraka yang begitu menciutkan nyali ini. Dan tentang surga itu sendiri? Aku tidak pernah tahu apakah mungkin surga itu akan kuraih? Sedangkan banyak dosa yang selalu ku buat selama aku hidup, sampai detik ini. Ah, benar-benar suatu pilihan yang sulit.
Jika aku menginginkan kehidupan Keysha yang menggantikan, sepertinya menjadi tidak berartinya semua kebahagiaan yang aku dapat saat anak kami lahir. Toh, selama ini yang aku inginkan adalah agar lebih bisa merasakan kebahagiaan hidup bersama Keysha dan juga bersama buah hati kami tercinta. Bukan dengan kehilangan salah satu di antara kami. Apakah aku mampu hidup bersama dengan anak kami tanpa ada Keysha  dalam kehidupan ini? Aku tidak akan mampu melewati hari-hari bersama buah hati kami. Apa yang aku tahu tentang mengurus seorang bayi? Aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu.
Akhirnya, setelah merasa yakin bahwa aku tidak mampu menukar kehidupan kami berdua demi kehadiran buah hati yang selama ini kami harapkan. Dalam mimpi itu, aku utarakan jawabanku kepada Lelaki tua berjanggut putih itu. Dan dia hanya tersenyum dalam kharisma yang ia miliki, sepertinya mengerti akan keputusan dan pilihan yang telah aku buat. Semenjak itu pula, Lelaki Tua dengan janggut putih itu tidak pernah lagi datang menemuiku dalam mimpi.
Tapi sungguh tidak aku sangka-sangka apa yang aku dapati kemudian. Pada saat menceritakan kepada Keysha perihal mimpi itu. Keysha tiba-tiba marah kepadaku karena aku telah menolak untuk menukar kehidupan demi kelahiran buah hati kami.
“Bagaimana sih kamu itu, Mas?! Kenapa kamu tidak menjawab kepada Lelaki Tua itu, bahwa aku rela menukar kehidupanku demi anak kita?! Aku rela, Mas! Asalkan kamu bisa bahagia dengan kelahiran anak kita. Aku rela, mas! Demi kamu!” ucap Keysha marah kepadaku  dalam menangis.
Sejenak tertegun, tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Segera aku membantah semua perkataan Keysha,”Aku tidak akan sanggup kehilangan kamu, Sayang! Meski pada akhirya aku berbahagia memliki keturunan, buah cinta kita! Tidak tidak, jangan gila kamu! Bagaimana mungkin aku sanggup menukar kehidupanmu demi buah hati kita?! Sedangkan yang aku inginkan adalah kita hidup bahagia bersama-sama.”
Tapi semua alasanku itu juga dibantah oleh Keysha, dengan alasan bahwa selama ini yang dia inginkan adalah memberi keturunan untuk ku. Dia rela meninggalkan dunia ini, karena dia sendiri tidak kuasa menahan beban rasa, karena merasa tidak mampu memberikan keturunan yang aku idam-idamkan. Bukan hanya untukku, tapi juga keluarga besarku yang selama ini begitu berharap bisa segera menimang cucu. Mengingat aku adalah putra tunggal dari keluargaku.
Ketika mencoba menjelaskan kepadanya semua alasan yang membuat aku memilih untuk tetap bersama, dengan tidak menukar kehidupan satu diantara kami. Keysha sama sekali tidak bisa menerimanya dan malah mengatakan kepadaku bahwa aku terlalu egois karena memberi jawaban kepada Lelaki Tua berjanggut putih itu tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan dirinya. Sekali lagi, aku coba menjelaskan kepada Keysha akan alasannya. Dan kembali, Keysha tidak bisa menerima semua alasan yang aku berikan. Ya, Tuhan.. Ada apa lagi ini??
Secara tiba-tiba, kehidupan kami berdua berubah drastis. Keysha masih tetap menganggap diriku terlalu egois, sedangkan diriku menganggap dirinya sudah kehilangan akal sehat. Kehidupan rumah tangga kami menjadi semakin sepi. Setiap saat selalu berisi pertengkaran dan pertengkaran karena merasa paling benar atas apa yang kami pikirkan. Entahlah…
Kami jadi jarang bertegur sapa, selalu bersikap dingin di hadapan satu sama lain. Tidak ada lagi kemesraan yang biasa terjadi diantara kami. Dingin dan sepi. Bahkan, semakin hari semakin jauh, saling menghindar dengan menyibukan diri dengan pekerjaan di kantor. Sering pulang larut malam, tanpa mempertanyakan apa yang kami lakukan hingga pulang selarut itu. Bahkan, rasa cemas dan khawatir sepertinya sudah tidak lagi ada di dalam hati kami. Pertengkaran dan hanya pertengkaran yang pada akhirnya terjadi, ketika aku berusaha untuk mengembalikan semua keadaan seperti semula. Keysha masih saja menuduh aku sebagai penyebab kehidupan kami menjadi seperi sekarang ini. Ya, Tuhan.. kenapa seperti ini??
 Tidak dapat dihindari pada akhirnya, perceraian itu pun terjadi dalam kehidupan pernikahan kami. Bunga-bunga cinta yang selama ini semerbak mewangi menghiasi kehidupan kami, telah mati. Menjadi luapan kemarahan untuk saling menyakiti. Aku sempat merasa menyesal atas pilihan yang telah kubuat dulu. Andai saja aku mengetahui bahwa akan seperti ini akhirnya. Ketika pada akhirnya aku tetap kehilangan Keysha dalam kehidupanku. Mungkin aku akan lebih memilih untuk menukar kehidupan salah satu dari kami untuk kehidupan buah hati kami. Tapi… semua sudah terjadi. Aku hanya bisa kembali pasrah dengan apa yang telah di tetapkan-Nya untukku.
…..
Lima tahun berlalu.
Di sebuah tempat rekreasi yang berupa taman bunga, sebuah bola plastik menggelinding pelan sampai akhirnya berhenti saat menyentuh kakiku. Seorang bocah terlihat tengah berlari menghampiri bola itu. Sesaat berhenti menatapku setelah bola itu berada dalam genggaman tangannya. Aku tersenyum..
“Lihat sayang.. Kakak sedang main bola tuh..” ucapku kepada Keke, anakku, yang berada dalam pangkuan. Keke menatap bocah itu malu-malu. Aku segera menurunkannya dari pangkuan, menghadapkan dirinya dengan bocah itu.
“Halo Kakak, namaku Keke. Kakak ganteng namanya siapa?,” ucapku mencoba memperkenalkan Keke dengan bocah itu. Mereka saling menatap ragu dan malu-malu.
Tiba-tiba.. Seorang perempuan yang aku pikir dia adalah Ibu dari bocah itu menghampirinya dan berdiri di belakang bocah itu sambil menatap diriku lekat-lekat. Awalnya tidak begitu menyadari akan sosok perempuan itu. Sampai saat aku berdiri dan melihat jelas sosok perempuan itu.
“Keysha?!”
“Mas Haris?!”
Lama kami berdiri dalam rasa tidak percaya mendapati siapa sosok yang kini ada di hadapan satu sama lain. Setelah bertahun-tahun saling menghilang tanpa jejak. Hari ini, kami dipertemukan kembali.
“I-itu anakmu?” tanyaku sambil memandang bocah itu.
Keysha menganggukan kepala,” Iya, namanya Rama.” Lalu tersenyum sambil menatap Keke,” Dan itu  anakmu?.”
Kini aku gantian yang menganggukan kepala sambil tersenyum. Lalu bertanya lagi kepadanya, “Papanya?”
Keysha menolehkan kepada seorang lelaki tampan yang saat tengah berjalan mendekati mereka.
“Mamanya?” Keysha balik bertanya.
Seorang perempuan yang tengah duduk tidak jauh dari tempat kami berdiri, segera bangkit menghampiri kami ketika pandangan mataku seolah mengisyaratkan kepadanya untuk mendekat.
“Ini Mamanya Keke..” ucapku memperkenalkan Istriku kepada Keysa kemudian.
Akhirnya sore itu, kami berkumpul bersama membawa keluarga baru kami masing-masing. Tidak ada yang menjadi beban bagi kebersamaan dua buah keluarga kami, meskipun aku dan Keysha pernah hidup bersama sebelumnya. Mungkin inilah jalan yang Tuhan berikan kepada kami setelah menukar kehidupan kami dan juga kisah cinta kami. Sebuah keluarga yang baru, lengkap dengan kehadiran buah hati kami masing-masing, Keke dan Rama. Dan mungkin, aku dan Keysha akan membina kembali kehidupan kami seperti yang dulu bersama mereka. Mungkin….








Senin, 15 Agustus 2011

Asap-asap Itu











Metha tak habis pikir, bagaimana orang-orang  bisa begitu mencintai asap itu? Padahal, tidak ada untungnya sama sekali bagi mereka. Karena dalam asap itu, tidak pernah keluar  Jin yang akan mengabulkan semua permintaan mereka. Tidak juga hantu-setan-dedemit yang menyeramkan. Selain hanya sakit yang akan mereka rasakan dikemudian hari.
Sebagaimana dulu, saat Metha berusia belasan tahun. Dimana dia menemukan Ayahnya terbujur kaku di kursi teras rumah mereka. Dengan tangan masih menggenggam bara api, terselip diantara jarinya, yang menciptakan asap yang menari-nari ditiup angin. Dari tubuh Ayah juga, asap keluar dari semua pori-pori tubuhnya, dari mulutnya, telinga dan juga dari lubang mata Ayah.
Saat di lakukan otopsi oleh pihak rumah sakit, ditemukan bahwa semua organ tubuh Ayah Metha telah bolong dan juga berasap. Bahkan pada saat akan dilakukan penguburan, sepanjang jalan selama jasad Ayah berada di keranda. Asap selalu menyelinap keluar dari keranda. Seperti sebuah Lokomotif yang tengah berjalan menuju tempat pemakaman.
Tidak berbau busuk, memang. Tapi meskipun begitu, peristiwa tersebut sempat membuat seluruh keluarga Metha merasa terpukul. Kebiasaan Ayah mengkonsumsi asap itu memang sudah tak bisa dilarang-larang. Bahkan kerap menjadi pemicu pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Dan pada akhirnya, Ibu memilih untuk membiarkan Ayah melakukan kesenangannya itu.
Sempat Metha berfikir, akan alasan Ayah yang kecanduan mengkonsumsi asap itu. Semua semata karena banyak hal yang dapat dilihat Ayahnya dari kepulan asap yang ia ciptakan. Kumpulan asap menembus imajinasi Ayah tentang semua keinginan dan harapannya yang tak pernah terpenuhi. Sekedarnya saja berbincang melalui bentuk-bentuk dari kepulan asap putih yang meliuk-liuk di udara. Mengusir kesendiriannya melewati malam-malam dingin di teras rumah.
Tapi semenjak kematian Ayah, Metha baru mengetahui bahwa Asap-asap itu begitu jahat, seperti setan yang menjelma menjadi sahabat. Tapi kemudian membunuh pemujanya perlahan dengan racun yang menggerogoti habis tubuh mereka. Sampai pada akhirnya sakit dan kematian menimpa para pemujanya. Sejak itu pula Metha begitu membenci asap-asap itu.
Sebisa mungkin Metha menjaga kehidupannya agar tidak menjadi bagian dari kejahatan asap itu. Setiap kali keluar rumah, Metha selalu mengenakan masker. Karena Metha bisa melihat setan-setan asap itu bisa keluar dengan wujud yang lebih menyeramkan lagi. Mereka berwarna hitam pekat, yang keluar dari setiap kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Yang menerjang siapa saja yang berada di dekatnya, dalam menggerung mengeluarkan suara-suara bising yang memekakan telinga. Dengan tampang bengis siap mencabut nyawa siapa saja yang ada dijalanan.
Bertahun-tahun Metha menyisihkan uang, agar  bisa menghindar dari kepungan asap-asap itu di jalanan. Memiliki mobil adalah satu-satunya solusi yag paling mungkin, yang bisa menyelamatkan Metha dari asap-asap itu. Meskipun Metha sadar, karena pada akhirnya dirinya juga telah menjadi bagian dari para pencipta asap itu. Karena bagaimana pun juga, asap itu pasti tercipta dari kendaraan yang ia miliki. Biarlah, paling tidak bukan dirinya yang menjadi korban, pikir Metha saat itu. Sikap yang egois, mungkin. Tapi toh, Metha selalu berusaha agar setan-setan itu bisa dijinakan dan tidak berbahaya bagi semua orang. Meskipun harus merogoh kocek lebih dalam untuk melakukan hal itu.
Sebagian teman pria Metha kadang jengkel dibuatnya. Karena mereka selalu saja diganggu kesenangannya oleh Metha. Setiap saat mereka hendak menikmati kepulan asap itu.
“Tolong, ya, jangan mengkomsumsi asap disini. Dilarang mengasap disini!” seru Metha dengan mata melotot kepada mereka. Orang-orang terdekat Metha sebagian bisa memaklumi, namun sebagian tetap tidak bisa menerima perlakuan Metha itu. Tapi mereka lebih takut akan kemarahan Metha. Sehingga dengan terpaksa mereka mengalah, dan selalu sembunyi-sembunyi saat melakukannya.
Bahkan tak jarang Metha terlibat pertengkaran dengan seseorang yang tidak dikenal. Ketika Metha mendapati orang tersebut tengah asik melepas imajinasi dengan kepulan asap itu di dekat Metha. Awalnya, Metha meminta dengan sopan kepada orang itu. tapi ketika orang tersebut seolah tak perduli atas permintaan Metha. Metha berubah beringas, dan sangar. Bagai seekor kucing yang terinjak ekornya, memaki habis-habisan orang tersebut. Sampai akhirnya orang tersebut mengalah dengan wajah yang memerah karena malu dan juga marah
Akhirnya Metha menikah dengan Edward, lelaki yang diyakininya bukan pemuja asap. Karena tak pernah sekalipun dirinya mencium bau asap dari mulut Edward dan juga tubuhnya. Pernikahan meriah digelar sedemikian mewah. Dan dari pernikahan itu Metha dikaruniai 3 orang anak yang manis-manis lagi pintar.
Kehidupan bahagia yang terbebas dari segala macam asap tentunya. Kebahagiaan tak terlukis dirasakan Metha. Dia pun tetap mengawasi keluarganya, Edward suaminya dan juga anak-anaknya dari kejahatan asap.
Pada suatu hari, peristiwa menghebohkan telah terjadi. Dimana secara tiba-tiba kehidupan manusia di dunia ini, dipenuhi kepulan asap hitam yang menghalangi pandangan setiap orang. Bentuknya seperti Raksasa dengan mata yang merah menyala, dan juga bertanduk. Dan pada saat dia tertawa, terlihat deretan giginya yang runcing. Bergerak bebas sesuka hatinya. Menyelubungi setiap orang yang berada dijalanan.
Sesak. Setiap orang tiba-tiba merasa sesak, sulit untuk bernafas. Karena kumpulan asap hitam yang bergerak itu, penuh dengan racun-racun yang akan menghangus setiap organ tubuh manusia. Satu persatu, banyak orang jatuh terkapar disembarang tempat. Dengan tubuh menghitam, mata melotot dan mulut yang menganga setelah sebelumnya berusaha menggapai-gapi udara yang bersih.
Seluruh manusia panik dibuatnya. Mereka berhamburan masuk kedalam rumah, dan kendaraan mereka. Dan karena pandangan terhalang asap hitam itu, maka banyak terjadi kecelakaan. Api mulai terlihat dimana-mana, membumbung tinggi, melahirkan asap-asap baru yang menjadi pengikutnya Asap Raksasa itu. Sebagian telah menggabungkan diri, dan menjadikan Asap Raksasa itu semakin besar bentuknya. Semakin menguasai kehidupan manusia dan meracuni udara dengan racun yang mematikan.
“Ini pasti karena perbuatan para pemuja asap itu, Pah!” seru Metha marah, sambil mengintip dari balik jendela melihat keadaan di luar. Sementara anaknya memeluk erat tubuh Metha dalam ketakutan.
“Apa mungkin sampai demikian hebatnya, Mah?” ucap Edward sambil bertanya.”Aku rasa bukan karena mereka. Lihatlah! Asap itu begitu besar”
Metha melongok keluar. Dalam hatinya membenarkan ucapan Edward. Pertanyaan  muncul dalam benaknya,”Lalu darimana asalnya asap itu, Pah?”
“Entahlah.., ada baiknya kita tetap di rumah sampai kita mendapat khabar dari pemerintah”
….
Mereka sekeluarga duduk di depan televisi yang menyala. Menunggu kabar  dari pemerintah, yang berkaitan dengan asap itu. Akhirnya kabar yang mereka tunggu datang juga. Di televisi, President sedang mengumumkan situasi Siaga 1 dalam menyikapi masalah yang ada. Dan meminta agar rakyatnya tidak panik, meski telah banyak korban yang berjatuhan.
Rakyat diharapkan tetap percaya pada kinerja pemerintah dalam menanggulangi masalah asap tersebut. Betapa President mengetahui, bahwa kepercayaan rakyat telah berkurang, bahkan hilang sama sekali. Apalagi telah terbukti bagaimana ketidakbecusan pemerintah dalam menanggulangi masalah Lumpur Lapindo dan bencana alam lain yang pernah terjadi di negeri ini.
Di minggu ke-dua sejak peristiwa itu, kembali hadir sebuah kabar di televisi dari seorang ahli yang tengah menangani masalah asap tersebut. Di kabarkan, bahwa sesungguhnya bumi ini telah kehilangan udara bersih sama sekali. Karena bumi saat ini, berada dalam kondisi gersang dan tandus. Terlebih lagi hutan-hutan yang biasanya mampu menciptakan udara yang sehat dan segar telah dibabat habis Di kota-kota besar, sama sekali tidak ada lagi penghijauan. Di semua lahan yang ada, telah dibangun gedung bertingkat, perumahan dan juga Mall besar. Belum lagi racun yang dihasilkan dari banyak kendaraan dan Pabrik Industri.
Semua hal itu telah mengikis habis udara sehat yang dibutuhkan setiap manusia di dunia ini. Dan perlahan-lahan, Asap-asap yang mengandung racun dan limbah kimia itu bermutasi. Menjadi raksasa yang saat ini tengah menguasai kehidupan manusia di Bumi.
Metha diam menyaksikan kabar itu. Isi Kepalanya telah di penuhi dengan banyak pertanyaan yang mengganggu. Betapa semua asap yang selama ini ada dalam pikirannya telah benar-benar telah berwujud nyata dalam kehidupan. Setiap bentuk yang tercipta dari setiap hisapan para pemuja itu, memang selalu beragam. Selama ini, tak jarang Metha menyaksikan dari kejauhan. Mimpi-mimpi yang dimiliki para pemuja yang tengah duduk termenung itu, terwujud dalam kepulan asap itu. Lalu yang apa yang sesungguhnya terjadi saat ini?.
Tba-tiba, sang ahli yang tengah menyampaikan kabar itu jatuh menggelepar. Seluruh orang di stasiun televise itu heboh, dan secara bersamaan gambar dalam televisi mereka berubah menjadi ribuan semut yang berkumpul tumpang tindih. Edward mencoba mengganti channel yang lain. Namun didapati hal yang sama.
Dan tiba-tiba juga, Edward terjatuh menggelepar, disusul anak-anak. Metha panik mendapati hal yang demikian. Dia langsung menjatuhkan diri memeluk suami dan anak-anaknya sambil menangis, berteriak menyebut nama mereka. Lalu saat tubuh mereka berhenti menggelepar, seiring itu pula asap hitam keluar dari tubuh mereka. Menari-nari di udara memenuhi ruang, berwujud mahluk-mahluk yang menakutkan.
Metha mundur beberapa langkah dalam ketakutan. Berlari menuju kamarnya untuk bersembunyi. Namun asap hitam itu mengejarnya, masuk dari cela pintu dan jendela. Menyeringai dengan tatapan mata yang merah menyala. Metha benar-benar dalam ketakutan, bersebunyi di sudut kamar memeluk tubuhnya sendiri. Berteriak-teriak meminta tolong. Dan karena takut melihat wujud asap yang semakin mendekat. Metha menyembunyikan wajah di antara kedua lutut yang ia peluk.
Tapi bersamaan dengan itu, tubuh Methapun secara tiba-tiba menggelepar dengan mata yang melotot seolah menahan sakit. Disaat tubuhnya berhenti menggelepar, dari jasadnya yang mati, keluarlah asap hitam dari pori-pori dan semua lubang dalam tubuhnya. Asap itupun menggabungkan diri dengan asap-asap yang keluar dari tubuh suami dan anak-anak Metha.
………….
Tak jauh dari kota, di sebuah Tempat Pembuangan Akhir sampah. Api besar telah menguasai tempat itu, membakar semua sampah yang ada. Dari api yang semakin membesar itu, asap hitam tercipta, membumbung tinggi dan memenuhi angkasa. Semakin besar api itu, semakin besar pula asap itu. Menjadi muara dari Asap Raksasa yang kini telah menguasai kehidupan manusia.



Sabtu, 13 Agustus 2011

Arti Hidupku Dalam Kematian Mereka








Dunia boleh saja menangisi kebodohan yang dilakukan manusia. Matahari marah dengan kesombongan dan keangkuhan kita, itu pasti. Lalu kenapa kita harus memaki? Ketika bencana alam itu datang menerjang dan kemudian ratusan tubuh yang telah membiru terkapar dan berserakan. Atau ketika haus tak bisa lagi kita hilangkan, karena kering semakin menjadi. Kenapa kita harus memaki?!
“Angkat bareng-bareng, bang?!” ucap udin memberi perintah pada diriku. Di hadapanku ada sesosok tubuh yang tertindih sebatang pohon besar dengan posisi telungkup. Tapi yang jelas nyawanya sudah tidak ada lagi. Aku dan Udin tengah mengevakuasi lokasi korban banjir dan tanah longsor.
“Oke! Satu..!Dua..! Tiiga..!!” Akhirnya pohon itu dapat disingkirkan dari tubuh itu.
“Woi! Cepatan kesini! Bawa kantungnya sekalian!” teriak Udin lagi  kepada Tim Penyelamat yang lain.
Aku sebenarnya bukan bagian dari mereka. Hanya kebetulan saja ada di sekitar terjadinya bencana banjir dan tanah longsor ini. Yang telah menenggelamkan beberapa kampung di sekitar gunung. Kebetulan juga, Tim Penyelamat sedang kekurangan orang. Jadi, uluran tanganku pun segera disambut baik oleh mereka. Meskipun sebenarnya aku tidak memiliki pengalaman sama sekali tentang aksi penyelamatan.
Aku sedikit bergetar saat melihat sosok mayat yang ada di hadapanku. Ini pertama kalinya aku melihat langsung sebuah kematian yang tragis seperti ini. Meski wajahnya tak terlalu terlihat, karena terbenam dalam lumpur. Tapi warna pucat dan sedikit darah yang mengering itu membuat aku mundur beberapa langkah.
“Masa Allah..!” ucapku dalam hati dalam ketakutan dan gemetar. Sesaat aku hilang, Shock!
”Bang! Tolong dibantu untuk angkat ke mobil!” Teriakan udin tiba-tiba membuyarkan sedikit rasa terkejutku. Akhirnya aku kembali mendekati tubuh yang kini telah berada dalam kantung mayat. Tertutup, masih penuh lumpur dan semua begitu gelap baginya. Sementara aku masih dalam gemetar.
…..
Mobil bak terbuka itupun akhirnya melaju, melewati tanah yang becek lagi licin. Aku dan Udin bergabung dalam bak mobik itu, bersama Tim Penyelamat yang lain, duduk di tepian bak mobil itu. Dan di hadapan kami, ada belasan kantung yang saling menindih, kotor penuh lumpur. Dalam kantong-kantong itu, mayat yang kami temukan tertidur dalam kegelapan. Dengan banyak luka-luka dengan wajah yang hampir tidak dapat dikenali lagi dan sedikit menebar bau busuk. Karena telah berhari-hari tergeletak sebelum akhirnya kami menemukan mereka.
Bulu kudukku sedikit berdiri, ngeri. Entah karena takut atau karena merasa jijik. Entahlah, aku tidak tahu pasti. Tubuh ini masih sedikit bergetar, tapi masih aku coba agar tidak terlihat oleh yang lain. Tapi rupanya Udin yang memang sudah pengalaman dengan semua hal ini, mengetahui juga hal itu.
Dia mencoba mendekati posisi dimana aku duduk, sambil mencari-cari sela-sela agar kakinya tidak sampai menginjak mereka yang berada di dalam kantung itu. Akhirnya dengan sedikit limbung karena jalanan mobil yang tak stabil, Udin bisa juga duduk di sampingku.
“Santai, Bang. Gak apa-apa. Itung-itung pengalaman. Nanti lama-lama juga jadi terbiasa,” ucapnya kemudian sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku menoleh kepadanya sambil tersenyum kecut. Tapi memang aku akui saat ini, semua menjadi serba sulit untukku.
“Lihatlah, Bang”, ucap udin dengan kepala yang dipakai untuk menunjukan kepadaku kantung-kantung mayat itu. Aku mengikuti arah yang dia tunjuk.
“Kita juga nanti akan seperti mereka, Bang. Mati!” ucapnya lagi, kini dengan gerakan telapak tangan yang berbalik. yang menggambarkan posisi terkapar.
Aku sedikit terkejut mendengar ucapan itu. Bagaimana bisa dia mengatakan semua itu dengan santai. Mati! Ya, akupun akan mati seperti mereka. Dalam kegelapan, tertutup, dan sendiri. “Ya, Tuhan apa yang ingin Engkau tunjukan kepadaku saat ini?”ucapku dalam hati.
Kematiankah? Kematian sebagai akhir dari sebuah kehidupan setiap manusia. Yang sebelumnya tak pernah aku pikirkan. Bahkan mungkin selama ini, aku menganggap enteng semua ini, seperti sesuatu yang tidak menakutkan saja, seolah tidak akan terjadi kepadaku suatu saat nanti. Entahlah.., tapi saat ini, dengan melihat semua ini. Apakah aku masih bisa menganggap semua itu hal sepele? Suatu hal yang tidak menakutkan lagi? Ya, Tuhan... menjadi pucat membiru, kaku tanpa nyawa. Mati! Berada dalam kegelapan, sendiri, sepi dan dingin. Astagfirullah…..
Tidak terasa, airmata ini tiba-tiba mengambang di pelupuk mataku. Namun dengan cepat aku singkirkan dengan mengusapnya menggunakan bahu lenganku. Berpura-pura seolah ada debu masuk yang mengganggu pendangan mataku
Tapi sekali lagi, Udin sepertinya mengetahui akan hal ituitu. Ditepuk-tepuknya lagi bahu ini. Dalam hati, aku hanya berbisik lirih padanya,”Terima kasih..”
…….
Sampailah akhirnya kami ditempat pengungsian. Ada banyak tenda-tenda besar berdiri. Semua orang terlihat sibuk. Para Tim Penyelamat dan relawan seperti diriku, orang-orang dari PMI, orang dengan seragam dokter dan suster, dan wajah-wajah duka mereka yang tertimpa bencana. Tergambar jelas semua itu di mata ini.
Akupun meloncat turun, sebagaimana teman-teman yang lain.
“Ayo, Bang. Kita bawa mereka ke tempat penampungan di sebelah sana,” ucap Udin sambil menunjuk satu tenda besar yang posisinya berada di sisi paling kiri dari tenda pengungsian ini. Sesaat aku mencoba melihat tempat yang ditunjuk Udin, lalu mengangguk.
Dengan sedikit keberanian yang coba aku tambah. Aku dan udin membopong satu kantung mayat bersama-sama, menuju tempat yang tadi ditunjukannya. Langkah kakiku tiba-tiba berhenti, saat berada tepat di depan pintu tenda besar itu. Disana telah tergeletak puluhan kantung-kantung mayat yang terjejer rapih. Ada yang masih dalam kondisi tertutup seutuhnya. Ada yang sudah terbuka sebagian, dari kepala hingga dada. Aku merasa akan hilang lagi, aku terkejut mendapati semua itu.
Akupun menyaksikan beberapa kerumunan orang yang menangisi kantung-kantung itu. Ada yang berteriak histeris, ada yang hanya diam menatap, ada yang tengah memeluk dalam tangisan yang tertahan. Ya, Tuhan.. Apa lagi ini?
Udin yang selalu mengetahui setiap perubahan diriku, mengetahui bahwa semua hal ini memang baru sama sekali untukku. Udinpun membiarkan aku terpaku melihat semua itu. Lama dia biarkan aku menerima semua hal yang aku lihat untuk pertama kalinya. Entahlah, apa yang ada dibenaknya saat itu.
Bang.. Udah, yuk, kita lanjut” tegur udin kemudian setelah beberapa saat tadi aku dibiarkan.
Eh, i-iya, Din”
Kamipun masuk dan kemudian menjejerkan kantung yang kami bawa di sela-sela kantung yang sudah ada, di tempat yang masih sedikit lega. Aku hanya berdiri di hadapan kantung itu, mematung. Dengan perasaan yang tidak menentu yang aku rasa di dalam dada. Ya, Tuhan..! Aku berdiri tepat diantara kumpulan bangkai manusia. Inikah kematian yang kau sebut itu?! Mataku berkeliling menatap ke sekeliling, dengan tubuh yang lebih keras bergetar. Merasakan ngeri.. atau takut.. atau jijik, atau..? Entahlah!
Udin dengan tenangnya membuka resleting dari kantung yang kami bawa, sampai sebatas dada. Terlihat jelas olehku. Wajah dari mayat yang kami bawa. Masa Allah!! Aku mundur beberapa langkah ke belakang.
Wajah dalam kantung itu pucat membiru dan kaku penuh lumpur. Dengan mulut yang menganga bau busuk! Hampir saja aku muntah. Tapi aku tahan. Lihatlah! Ternyata seorang perempuan dengan rambutnya yang panjang terurai bercampur lumpur mengenakan pakaian  yang koyak dan kotor tak jelas warnanya. Dan ditangannya?! Masa Allah..!! Ternyata seorang bayi berada dalam pelukannya!!
Akupun segera berlari keluar, tidak tahan rasanya untuk tidak muntah. Aku sendiri tidak mengetahui apakah ini karena bau busuk itu, atau karena aku tak kuasa melihat pemandangan itu. Perempuan dengan seorang bayi dalam pelukannya, Mati!
Udin lalu datang menghampiriku yang masih membungkuk muntah-muntah. Ditepuk-tepuknya lagi punggung ini.
“Maaf ya, Bang. Saya tidak tahu kalau Abang tidak kuat melihat hal seperti itu,”ucap udin meminta maaf.
Sambil menggelengkan kepala, “Gak apa-apa, din. Saya yang harusnya minta maaf karena gak banyak ngebantu. Tapi  malah muntah seperti ini
Udin tersenyum, “Gak apa-apa, Bang. Saya juga dulu seperti abang.
Tiba-tiba terdengar tangisan memilukan dari dalam tenda, seorang pria paruh baya dengan kulit yang telah mengeriput, beruban dan wajah yang menampakan letih. Menangis meraung-raung di hadapan mayat perempuan dan bayi yang kami bawa tadi. Perempuan  dan bayi itu ternyata adalah anak dan cucunya. Tiba-tiba juga aku merasakan hati ini seperti tersayat-sayat. Perih!
…..
Senja perlahan mulai terlihat. Di samping sebuah tenda yang dijadikan dapur, aku duduk di atas sebatang kayu yang besar. Segelas kopi hangat dalam genggaman tanganku. Aku diam sendiri dalam tertunduk. Tenggelam dalam bayang-bayang semua peristiwa yang baru saja aku alami. Mayat-mayat itu? “Ya, Tuhan... Apa yang hendak Engkau tunjukan kepadaku saat ini? bisikku lirih dalam hati.
Wajah pucat seorang perempuan dengan bayinya tadi, tiba-tiba mengingatkan aku akan sosok Mami dirumah. Wajah orang tua yang menangisi mayat perempuan dan bayinya itupun, mengingatkan aku akan sosok Papi. Ya, Papi dan Mami.  Orang tua yang aku anggap telah menyia-nyiakan kehadiranku dengan semua kesibukan mereka. Seolah aku tak pernah ada dalam kehidupan mereka. Karena selalu sibuk dengan pekerjaan mereka.
Apakah mereka akan menangisi kematian aku? Sebagaimana Bapak tua itu menangisi mayat anak perempuannya yang menggendong bayi itu. Entahlah, aku merasa hal itu tak akan mereka lakukan. Selama ini, aku memang tidak pernah ada, todak pernah berarti apa-apa dimata mereka. Dan entah, sudah berapa puluh kali aku mencoba untuk menjadikan diriku sebagaimana mayat-mayat itu. Mati! Tapi kematian yang aku buat sendiri. Tidak seperti mereka, yang harus mengalami akhir hidup mereka dengan tragis tanpa mereka menginginkannya. Ya, Tuhan.. Kenapa harus orang-orang itu yang harus mengalami nasib seperti ini? Mengapa bukan aku?! Ataukah ini semua adalah jawaban atas semua tanya yang telah aku lepaskan kepada-Mu? Tentang apa guna aku hidup di dunia ini. Jika memang demikian yang Engkau inginkan. Ijinkan aku mengabdikan hidupku bagi mereka yang tengah mengalami bencana seperti ini.
Senja itu menghilang, tersingkirkan oleh kegelapan malam yang mulai menguasai kehidupan. Sedangkan kegelapan yang selama ini menyelimuti kehidupanku sedikitnya telah tersingkirkan dengan cahaya yang kini menerangi hatiku. Semua karena kejadian-kejadian yang baru saja aku alami dan pada akhirnya, aku tahu apa yang ingin aku lakukan dalam menjalani kehidupan ini. Meski arti hidup itu ku dapati dalam kematian mereka.



Jumat, 12 Agustus 2011

Mimpi Bunga, Anak Pelacur







Seandainya saja kehidupan ini Tuhan ciptakan dengan Keadilan yang seadil-adilnya bagi semua manusia. Mungkin Bunga tak akan lahir dari rahim seorang ibu, yang hanya seorang perempuan desa dan kemudian merantau ke kota. Lalu diperkosa oleh segerombolan pemuda mabuk, saat ibu tersesat setibanya di kota dalam kebingungan mencari alamat rumah sutini, teman sekampung, yang katanya sudah berhasil hidup di kota.
Selanjutnya Ibu ditemukan oleh seorang perempuan setengah baya bertubuh tambun yang biasa di panggil “Mami’ oleh semua anak buahnya dan rata-rata mereka itu adalah perempuan. Selama dalam penampungan Mami, ibu mengandung diri Bunga dan setelah melahirkan Bunga, Ibunya pun bekerja sebagai anak buah Mami, menjadi seorang pelacur.
Bunga besar dalam lingkungan yang penuh dengan aroma dan bau menyengat dari botol-botol minuman keras yang biasa ditenggak oleh para tamu lelaki. Mereka yang biasa datang ketempat Mami. Dan juga bau dengus nafas birahi mereka setelah menenggak habis isi dalam botol-botol itu. Birahi mereka itu kemudian menciptakan aroma baru dari tubuh  yang penuh dengan peluh itu.
Belum lagi bau cairan sperma yang kemudian mengering, merembas ke dalam sprei dan kasur tempat mereka bergumul, yang hanya sesekali saja dicuci dan dijemur. Aroma dan bau itu senantiasa lekat dalam penciuman hidung Bunga, yang memang tidak terlalu mancung. Tapi sesekali Bunga bisa mencium bau harum tubuh ibunya, bau harum yang segar dan alami khas perempuan desa. Atau wewangian yang setiap saat dipakai ibunya saat bekerja. Bau yang tidak menyolok, sebagaimana bau yang menebar dari tubuh perempuan-perempuan lain, anak buah Mami.
Bunga suka sekali bau harum yang berasal dari tubuh ibunya. Iitulah sebab, terkadang Bunga sulit untuk tidur jika tidak dikeloni Ibu. Bau harum tubuh Ibunya selalu membuat dirinya bisa tidur dengan lelap diantara suasan bising yang ada. Lelap dalam mimpi-mimpi indah tentang sebuah tempat yang jauh lebih indah dari tempat ia tinggali sekarang.
Bersama ibunya, tinggal di sebuah rumah yang kecil namun terlihat asri dan juga damai. Berada di sebuah pegunungan, di ana, pagar dan halaman senantiasa dipenuhi oleh beraneka macam bunga, juga kupu-kupu dengan coraknya yang berbeda lagi indah. Selalu bermain di kebun bunga milik mereka itu. Terkadang terbang berputar, mengelilingi diri Bunga. Sementara Ibu memandangnya dari kejauhan  sambil tersenyum.
Udara yang sejuk dikala pagi. Lalu terbitnya Mentari bisa terlihat dengan jelas. Bunga serta Ibunya duduk berdua menunggu hadirnya yang malu-malu itu. Burung-burung lalu bernyanyi, menambah ramai suasana pagi yang indah itu. Betapa mimpi itu selalu saja membuat Bunga tersenyum dalam tidurnya.
Tapi pada suatu malam, Bunga gelisah tidak dapat memejamkan mata. Karena ibunya tidak juga pulang menemaninya tidur. Kepada Mami dan semua teman seprofesi Ibu, Bunga bertanya tentang keberadaan Ibu,“Ibu aku kemana ya, Mam? Mbak-mbak yang cantik ini, tau gak, kemana Ibu pergi?”
Menurut penuturan Mami, seseorang telah membayar mahal dan meminta ijin kepadanya untuk membawa Ibu Bunga pergi keluar dari kompleks itu. Tetapi hati Bunga tetap tidak merasa tenang, sebelum Ibunya pulang untuk menemaninya tidur. Bunga tidak bisa tidur, jika tidak mencium harum tubuh Ibu!
Lalu Bunga berlari menuju kejalan, dan kemudian duduk di pinggir trotoar, menunggu Ibu pulang. Namun hingga pagi menjelang, Ibunya tak kunjung menampakan diri. Hati Bunga semakin gelisah mendapati hal itu, bahkan rasa kantuk sama sekali tidak dapat ia rasakan setelah semalaman tidak tidur.
“Sudah kamu pulang saja. Nanti Ibumu pasti pulang,” ucap Mami saat ia mengetahui bahwa Bunga masih tetap menunggu Ibunya. Sama sekali tidak tercermin di wajah Mami perasaan khawatir akan nasib Ibu. Bunga hanya menggelengkan kepala.
Selama 3 hari, Bunga selalu kembali ke pinggir trotoar menunggu Ibunya pulang. Ia hanya kembali untuk makan di saat lapar, dan kembali lagi. Namun Bungan sama sekali tidak tidur, dan sama sekali tidak dapat tidur. Karena Bunga tidak suka bau dan aroma tidak sedap yang senantiasa tercium dari tempat Mami itu.
Semua orang yang berada di tempat Mami mulai khawatir melihat keadaan Bunga. Mereka takut terjadi sesuatu pada Bunga, jika dia dibiarkan terus seperti itu. Sedangkan mereka tidak tahu kemana perginya sang Ibu. Meski peristiwa seperti ini kerap terjadi di tempat mereka. Dan bayangan ketakutan semakin menghinggapi mereka, jika memang benar telah terjadi hal buruk telah menimpa Ibunya Bunga. Seperti yang pernah terjadi pada Ipah, salah satu teman mereka yang di ketemukan mati, dengan tubuh yang terpotong-potong.
Mereka berupaya untuk terus membujuk Bunga untuk kembali ke rumah Mami untuk istirahat. Namun ajakan itu selalu ditolak Bunga, dan Bunga masih saja melakukan apa yang ia inginkan. Menunggu Ibu pulang. Seperti kisah seekor anjing yang selalu menunggu majikannya yang telah tiada pulang, hingga ajal menjemput Anjing itu. Seperti itulah sekarang yang dilakukan Bunga, dengan terus menunggu di pinggir trotoar jalan yang berada di depan gang kompleks.
Hingga suatu malam, dalam tubuh menggigil, Bunga melihat samar-samar dalam kegelapan seseorang melangkah tergesa mendekati dirinya. Namun pandangan matanya yang telah lama tidak terpejam dalam lelap tidur, membuat pandangan matanya sedikit kabur. Orang itu melangkah tergesa mendekati Bunga, yang tengah merengkuh tubuhnya sendiri mengusir dingin.
Tapi Bunga segera bangkit dari duduknya, saat ia mulai mengenali aroma tubuh orang tersebut.
“Ibu?!” seru Bunga kegirangan menebar senyum bahagia.
Seseorang yang dipanggil Ibu itupun  berjongkok mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Bunga. Lalu ia tersenyum saat dirinya telah berada dihadapan Bunga.
“Iya, Bunga. Ini Ibu, sayang. Maafkan Ibu yang telah menyusahkanmu”
Bunga langsung memeluk tubuh ibu erat-erat, menumpahkan semua rasa rindunya. Dan Ibu langsung membalas pelukan itu, lalu berdiri membawa Bunga dalam pangkuanya.
“Bunga kangen sekali sama Ibu..” ucap Bunga, lalu tangisannya mulai pecah. Kembali ia memeluk tubuh Ibunya erat-erat.
“Iya, sayang.. Maafkan Ibu, yah. Mari pergi dari sini” ucap Ibunya sambil mengusap lembut rambut Bunga. Dan terdengar tangis Bunga yang mulai mereda, kemudian berhenti sama sekali. Dia telah lelap tertidur dalam pangkuan Ibu.
….
“Bunga, sayang… Bangun, nak..”ucap Ibu dengan lembut mencoba membangunkan Bunga. Perlahan-lahan bocah kecil itu terjaga dari tidurnya. Matanya mengerjap beberapa kali.
“Lihatlah, apa itu..” tunjuk Ibu. Bunga mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ibunya. Masih dalam pandangan yang samar. Dia mulai mengucek-ucek matanya. Dan kembali menatap ke arah yang di tunjuk Ibunya. Setelah melihat, Bunga menoleh ke arah Ibu  dan  tersenyum.
DiTurunkan Bunga dari pangkuan. Mata bunga berbinar-binar saat melihat apa yang ada dihadapannya.
“Itu rumah kita, Bu?” tanya Bunga.
Ibu mengangguk,“Iya sayang. Itu menjadi Rumah kita sekarang.”
Bunga begitu senang melihat sebuah rumah sebagaimana dalam mimpinya, rumah kecil yang sederhana, di halamannya penuh dengan bunga yang berwarna-warni. Kupu-kupu berterbangan mengitari bunga-bunga itu, sebagian ada yang hinggap lalu terbang lagi. Dan bocah kecil itu langsung berlari menuju rumah yang dikatakan Ibu sebagai Rumah mereka sekarang. Lalu dia menari berputar diantara bunga-bunga itu. Jari-jari mungilnya menyentuh dahan dan juga bunga-bunga. Lalu ia berlari kesana kemari dengan riang, mencium setiap kelopak bunga yang ada. Sesekali ia berlari mengejar kupu-kupu itu. Betapa bahagia terlihat hati Bunga saat itu. Sementara Ibunya, hanya menatap anaknya dari kejauhan sambil tersenyum.
Semua orang berkumpul mengerumuni tubuh kecil Bunga. Sementara Mami dan dua orang anak buahnya duduk berjongkok di sisi Bunga yang tergeletak tak sadarkan diri, dipinggir trotoar.
“Badannya panas! Cepat bawa Bunga Kerumah sakit! biar Mami yang akan pergi kekantor polisi untuk mengurus Ibunya. Setelah itu, Mami akan menyusul ke rumah sakit. Cepat!” seru Mami kepada anak buahnya. Lalu tubuh kecil Bunga di gotong. Mereka langsung menghentikan kendaraan yang lewat. Dan kemudian membawa Bunga yang tengah tak sadarkan diri.
Setelah sekian lama, dirumah sakit. Mami datang ke kamar dimana Bunga di rawat. Lalu Mami menghampiri salah seorang anak buahnya yang tengah duduk menunggui Bunga.
“Gimana, Mam?” tanya anak buah Mami itu. Saat Mami telah berada di dekatnya.
“Iya, memang benar. Perempuan itu adalah Ibunya Bunga”jawab Mami
“Innalilahi… kasian mereka ya, Mam”
“Iya. Mami juga bingung bagaimana nasib mereka nanti.”
“Iya, mam..”
…..
Jasad Ibu dan Anak itu memang terpisah dalam ruang perawatan Rumah Sakit. Ibu temukan dalam keadaan sekarat di sebuah Hotel. Wajahnya babak belur penuh luka dan darah. Ditemukan dalam keadaan telanjang, terkapar di lantai. Meskipun masih tertolong, namun kini masih berada dalam keadaan koma. Sedangkan Bunga, sampai saat ini juga masih belum sadarkan diri.
Namun mereka terlihat bahagia tinggal bersama di rumah kecil milik mereka. Yang terletak di sebuah pegunungan. Di mana, pagar dan halaman senantiasa dipenuhi oleh beraneka macam bunga. Lalu kupu-kupu dengan coraknya yang berbeda lagi indah, selalu bermain di kebun bunga milik mereka. Dan terkadang terbang berputar, mengelilingi diri Bunga. Sementara Ibu memandangnya dari kejauhan  sambil tersenyum.
Udaranya sejuk dikala pagi. Lalu terbitnya Mentari bisa terlihat dengan jelas. Bunga serta Ibu duduk berdua menunggu hadirnya yang malu-malu itu. Burung-burung lalu bernyanyi, menambah ramai suasana pagi yang indah itu. Betapa semua itu selalu membuat Bunga dan Ibu tersenyum dalam tidurnya.


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Daftar Isi

 

Daftar Isi





Labels


View My Stats

kampungblogs

ArtikelBlogs

Cerpen

Translator

Translate This Page To:

English

Powered by: ALS & Google

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Pengunjung Blog

Alexa

GebLexs

Muntahan Diri

KumpulanBlogs

Entri Populer

MatiJiwa

Awank Kening

Jiwa-jiwa

everything is about Reina Ally

BlogUpp

KutuBuku


Mas ukkan Code ini K1-3B6F99-D
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Followers


ShoutMix chat widget
 

Recent Comments

Templates by | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger