Dunia boleh saja menangisi kebodohan yang dilakukan manusia. Matahari marah dengan kesombongan dan keangkuhan kita, itu pasti. Lalu kenapa kita harus memaki? Ketika bencana alam itu datang menerjang dan kemudian ratusan tubuh yang telah membiru terkapar dan berserakan. Atau ketika haus tak bisa lagi kita hilangkan, karena kering semakin menjadi. Kenapa kita harus memaki?!
“Angkat bareng-bareng, bang?!” ucap udin memberi perintah pada diriku. Di hadapanku ada sesosok tubuh yang tertindih sebatang pohon besar dengan posisi telungkup. Tapi yang jelas nyawanya sudah tidak ada lagi. Aku dan Udin tengah mengevakuasi lokasi korban banjir dan tanah longsor.
“Oke! Satu..!Dua..! Tiiga..!!” Akhirnya pohon itu dapat disingkirkan dari tubuh itu.
“Woi! Cepatan kesini! Bawa kantungnya sekalian!” teriak Udin lagi kepada Tim Penyelamat yang lain.
Aku sebenarnya bukan bagian dari mereka. Hanya kebetulan saja ada di sekitar terjadinya bencana banjir dan tanah longsor ini. Yang telah menenggelamkan beberapa kampung di sekitar gunung. Kebetulan juga, Tim Penyelamat sedang kekurangan orang. Jadi, uluran tanganku pun segera disambut baik oleh mereka. Meskipun sebenarnya aku tidak memiliki pengalaman sama sekali tentang aksi penyelamatan.
Aku sedikit bergetar saat melihat sosok mayat yang ada di hadapanku. Ini pertama kalinya aku melihat langsung sebuah kematian yang tragis seperti ini. Meski wajahnya tak terlalu terlihat, karena terbenam dalam lumpur. Tapi warna pucat dan sedikit darah yang mengering itu membuat aku mundur beberapa langkah.
“Masa Allah..!” ucapku dalam hati dalam ketakutan dan gemetar. Sesaat aku hilang, Shock!
”Bang! Tolong dibantu untuk angkat ke mobil!” Teriakan udin tiba-tiba membuyarkan sedikit rasa terkejutku. Akhirnya aku kembali mendekati tubuh yang kini telah berada dalam kantung mayat. Tertutup, masih penuh lumpur dan semua begitu gelap baginya. Sementara aku masih dalam gemetar.
…..
Mobil bak terbuka itupun akhirnya melaju, melewati tanah yang becek lagi licin. Aku dan Udin bergabung dalam bak mobik itu, bersama Tim Penyelamat yang lain, duduk di tepian bak mobil itu. Dan di hadapan kami, ada belasan kantung yang saling menindih, kotor penuh lumpur. Dalam kantong-kantong itu, mayat yang kami temukan tertidur dalam kegelapan. Dengan banyak luka-luka dengan wajah yang hampir tidak dapat dikenali lagi dan sedikit menebar bau busuk. Karena telah berhari-hari tergeletak sebelum akhirnya kami menemukan mereka.
Bulu kudukku sedikit berdiri, ngeri. Entah karena takut atau karena merasa jijik. Entahlah, aku tidak tahu pasti. Tubuh ini masih sedikit bergetar, tapi masih aku coba agar tidak terlihat oleh yang lain. Tapi rupanya Udin yang memang sudah pengalaman dengan semua hal ini, mengetahui juga hal itu.
Dia mencoba mendekati posisi dimana aku duduk, sambil mencari-cari sela-sela agar kakinya tidak sampai menginjak mereka yang berada di dalam kantung itu. Akhirnya dengan sedikit limbung karena jalanan mobil yang tak stabil, Udin bisa juga duduk di sampingku.
“Santai, Bang. Gak apa-apa. Itung-itung pengalaman. Nanti lama-lama juga jadi terbiasa,” ucapnya kemudian sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku menoleh kepadanya sambil tersenyum kecut. Tapi memang aku akui saat ini, semua menjadi serba sulit untukku.
“Lihatlah, Bang”, ucap udin dengan kepala yang dipakai untuk menunjukan kepadaku kantung-kantung mayat itu. Aku mengikuti arah yang dia tunjuk.
“Kita juga nanti akan seperti mereka, Bang. Mati!” ucapnya lagi, kini dengan gerakan telapak tangan yang berbalik. yang menggambarkan posisi terkapar.
Aku sedikit terkejut mendengar ucapan itu. Bagaimana bisa dia mengatakan semua itu dengan santai. Mati! Ya, akupun akan mati seperti mereka. Dalam kegelapan, tertutup, dan sendiri. “Ya, Tuhan apa yang ingin Engkau tunjukan kepadaku saat ini?”ucapku dalam hati.
Kematiankah? Kematian sebagai akhir dari sebuah kehidupan setiap manusia. Yang sebelumnya tak pernah aku pikirkan. Bahkan mungkin selama ini, aku menganggap enteng semua ini, seperti sesuatu yang tidak menakutkan saja, seolah tidak akan terjadi kepadaku suatu saat nanti. Entahlah.., tapi saat ini, dengan melihat semua ini. Apakah aku masih bisa menganggap semua itu hal sepele? Suatu hal yang tidak menakutkan lagi? Ya, Tuhan... menjadi pucat membiru, kaku tanpa nyawa. Mati! Berada dalam kegelapan, sendiri, sepi dan dingin. Astagfirullah…..
Tidak terasa, airmata ini tiba-tiba mengambang di pelupuk mataku. Namun dengan cepat aku singkirkan dengan mengusapnya menggunakan bahu lenganku. Berpura-pura seolah ada debu masuk yang mengganggu pendangan mataku
Tapi sekali lagi, Udin sepertinya mengetahui akan hal ituitu. Ditepuk-tepuknya lagi bahu ini. Dalam hati, aku hanya berbisik lirih padanya,”Terima kasih..”
…….
Sampailah akhirnya kami ditempat pengungsian. Ada banyak tenda-tenda besar berdiri. Semua orang terlihat sibuk. Para Tim Penyelamat dan relawan seperti diriku, orang-orang dari PMI, orang dengan seragam dokter dan suster, dan wajah-wajah duka mereka yang tertimpa bencana. Tergambar jelas semua itu di mata ini.
Akupun meloncat turun, sebagaimana teman-teman yang lain.
“Ayo, Bang. Kita bawa mereka ke tempat penampungan di sebelah sana,” ucap Udin sambil menunjuk satu tenda besar yang posisinya berada di sisi paling kiri dari tenda pengungsian ini. Sesaat aku mencoba melihat tempat yang ditunjuk Udin, lalu mengangguk.
Dengan sedikit keberanian yang coba aku tambah. Aku dan udin membopong satu kantung mayat bersama-sama, menuju tempat yang tadi ditunjukannya. Langkah kakiku tiba-tiba berhenti, saat berada tepat di depan pintu tenda besar itu. Disana telah tergeletak puluhan kantung-kantung mayat yang terjejer rapih. Ada yang masih dalam kondisi tertutup seutuhnya. Ada yang sudah terbuka sebagian, dari kepala hingga dada. Aku merasa akan hilang lagi, aku terkejut mendapati semua itu.
Akupun menyaksikan beberapa kerumunan orang yang menangisi kantung-kantung itu. Ada yang berteriak histeris, ada yang hanya diam menatap, ada yang tengah memeluk dalam tangisan yang tertahan. Ya, Tuhan.. Apa lagi ini?
Udin yang selalu mengetahui setiap perubahan diriku, mengetahui bahwa semua hal ini memang baru sama sekali untukku. Udinpun membiarkan aku terpaku melihat semua itu. Lama dia biarkan aku menerima semua hal yang aku lihat untuk pertama kalinya. Entahlah, apa yang ada dibenaknya saat itu.
“Bang.. Udah, yuk, kita lanjut” tegur udin kemudian setelah beberapa saat tadi aku dibiarkan.
“Eh, i-iya, Din”
Kamipun masuk dan kemudian menjejerkan kantung yang kami bawa di sela-sela kantung yang sudah ada, di tempat yang masih sedikit lega. Aku hanya berdiri di hadapan kantung itu, mematung. Dengan perasaan yang tidak menentu yang aku rasa di dalam dada. Ya, Tuhan..! Aku berdiri tepat diantara kumpulan bangkai manusia. Inikah kematian yang kau sebut itu?! Mataku berkeliling menatap ke sekeliling, dengan tubuh yang lebih keras bergetar. Merasakan ngeri.. atau takut.. atau jijik, atau..? Entahlah!
Udin dengan tenangnya membuka resleting dari kantung yang kami bawa, sampai sebatas dada. Terlihat jelas olehku. Wajah dari mayat yang kami bawa. Masa Allah!! Aku mundur beberapa langkah ke belakang.
Wajah dalam kantung itu pucat membiru dan kaku penuh lumpur. Dengan mulut yang menganga bau busuk! Hampir saja aku muntah. Tapi aku tahan. Lihatlah! Ternyata seorang perempuan dengan rambutnya yang panjang terurai bercampur lumpur mengenakan pakaian yang koyak dan kotor tak jelas warnanya. Dan ditangannya?! Masa Allah..!! Ternyata seorang bayi berada dalam pelukannya!!
Akupun segera berlari keluar, tidak tahan rasanya untuk tidak muntah. Aku sendiri tidak mengetahui apakah ini karena bau busuk itu, atau karena aku tak kuasa melihat pemandangan itu. Perempuan dengan seorang bayi dalam pelukannya, Mati!
Udin lalu datang menghampiriku yang masih membungkuk muntah-muntah. Ditepuk-tepuknya lagi punggung ini.
“Maaf ya, Bang. Saya tidak tahu kalau Abang tidak kuat melihat hal seperti itu,”ucap udin meminta maaf.
Sambil menggelengkan kepala, “Gak apa-apa, din. Saya yang harusnya minta maaf karena gak banyak ngebantu. Tapi malah muntah seperti ini”
Udin tersenyum, “Gak apa-apa, Bang. Saya juga dulu seperti abang.”
Tiba-tiba terdengar tangisan memilukan dari dalam tenda, seorang pria paruh baya dengan kulit yang telah mengeriput, beruban dan wajah yang menampakan letih. Menangis meraung-raung di hadapan mayat perempuan dan bayi yang kami bawa tadi. Perempuan dan bayi itu ternyata adalah anak dan cucunya. Tiba-tiba juga aku merasakan hati ini seperti tersayat-sayat. Perih!
…..
Senja perlahan mulai terlihat. Di samping sebuah tenda yang dijadikan dapur, aku duduk di atas sebatang kayu yang besar. Segelas kopi hangat dalam genggaman tanganku. Aku diam sendiri dalam tertunduk. Tenggelam dalam bayang-bayang semua peristiwa yang baru saja aku alami. Mayat-mayat itu? “Ya, Tuhan... Apa yang hendak Engkau tunjukan kepadaku saat ini?” bisikku lirih dalam hati.
Wajah pucat seorang perempuan dengan bayinya tadi, tiba-tiba mengingatkan aku akan sosok Mami dirumah. Wajah orang tua yang menangisi mayat perempuan dan bayinya itupun, mengingatkan aku akan sosok Papi. Ya, Papi dan Mami. Orang tua yang aku anggap telah menyia-nyiakan kehadiranku dengan semua kesibukan mereka. Seolah aku tak pernah ada dalam kehidupan mereka. Karena selalu sibuk dengan pekerjaan mereka.
Apakah mereka akan menangisi kematian aku? Sebagaimana Bapak tua itu menangisi mayat anak perempuannya yang menggendong bayi itu. Entahlah, aku merasa hal itu tak akan mereka lakukan. Selama ini, aku memang tidak pernah ada, todak pernah berarti apa-apa dimata mereka. Dan entah, sudah berapa puluh kali aku mencoba untuk menjadikan diriku sebagaimana mayat-mayat itu. Mati! Tapi kematian yang aku buat sendiri. Tidak seperti mereka, yang harus mengalami akhir hidup mereka dengan tragis tanpa mereka menginginkannya. Ya, Tuhan.. Kenapa harus orang-orang itu yang harus mengalami nasib seperti ini? Mengapa bukan aku?! Ataukah ini semua adalah jawaban atas semua tanya yang telah aku lepaskan kepada-Mu? Tentang apa guna aku hidup di dunia ini. Jika memang demikian yang Engkau inginkan. Ijinkan aku mengabdikan hidupku bagi mereka yang tengah mengalami bencana seperti ini.
Senja itu menghilang, tersingkirkan oleh kegelapan malam yang mulai menguasai kehidupan. Sedangkan kegelapan yang selama ini menyelimuti kehidupanku sedikitnya telah tersingkirkan dengan cahaya yang kini menerangi hatiku. Semua karena kejadian-kejadian yang baru saja aku alami dan pada akhirnya, aku tahu apa yang ingin aku lakukan dalam menjalani kehidupan ini. Meski arti hidup itu ku dapati dalam kematian mereka.