Hmmm, dua ribu rupiah. Ya, mungkin dengan dua ribu rupiah aku bisa melepas dahaga dan rasa letihku dengan segelas kopi di warung kecil itu. Dan paling tidak, aku masih punya sisa dua ribu lagi. Untuk bekal perjalananku selanjutnya.
Setelah yakin dengan hitung-hitungan untung rugi. Akhirnya aku mendekati warung kecil itu.
“Mbak, ada kopi?,” tanyaku kepada pemilik warung yang ternyata seorang perempuan.
“Ada, mas. Kopi apa?”
“Kopi hitam aja, satu”
Lalu diapun menyiapkan pesananku. Sementara aku duduk di kursi plastik yang disediakan sang pemilik warung. Aku ambil sebatang rokok yang aku simpan dari saku baju. Aku nyalakan. Lalu aku hisap dalam-dalam rokok kretek itu. Aaaah.., nikmat sekali. Asap rokok yang beterbangan langsung menghilang ditiup angin yang pelan berhembus.
“Ini kopinya, Mas” ucap sang pemilik warung sambil menyodorkan kopi pesananku.
“O ya-ya, makasih” Aku menerima kopi itu. Dan sebelum aku letakan di bawah kursi plastik. Aku tuang sebagian kopi itu ke piring kecil yang dipakai sebagai tatakan. Dengan perlahan-lahan sambil menikmati aroma kopi itu. Aku coba mendinginkan kopi dalam piring kecil itu dengan cara meniupnya beberapa kali. Dan setelah yakin agak dingin. Aku sruput dan…. Aaaaaah..! Lengkap sudah kenikmatan yang aku rasa saat ini. Rokok dan kopi yang menemani waktu rehatku sejenak.
Tiba-tiba aku mendengar suara tawa cekikan seorang bocah. Aku menoleh ke arah suara itu. Ooh, ternyata perempuan pemilik warung ini sedang bercanda dengan anak perempuannya yang masih kecil. Yang jika aku perkirakan, umurnya tak jauh dengan Kintan, anakku.
“Umur berapa anaknya, Mbak?” tanyaku pada Perempuan pemilik warung. Mencoba memenuhi rasa penasaranku.
“Baru dua tahun setengah, Mas” jawabnya.
“Ooh, lucu yah? Anak saya juga seumuran dengan anak, Mbak”
“Iya, Mas. Anaknya perempuan juga?”
“Iya, sama. Perempuan juga. Kintan namanya”
“Bagus sekali namanya”
Aku tersenyum. Lalu mereka masuk ke dalam warung, yang ternyata aku baru mengetahui bahwa warung itu juga merangkap sebagai rumah bagi mereka. Hehehe.. aku tersenyum sendiri. Membayangkan bagaimana Perempuan pemilik warung dan suaminya bisa membuat anak itu di dalam warung itu
Bagaimana mereka bisa berhubungan badan di dalam sana? Sedangkan jelas-jelas aku dapat melihat, ukuran dalam warung itu hanya pas untuk satu orang. Yang jika dipaksakan untuk berdua, mereka akan saling berhimpitan. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu bagaimana mereka bisa melakukan keajaiban itu.
Tiba-tiba, aku merasa bersyukur bahwa aku masih bisa tinggal di rumah kontrakan meski kontrakan tempat aku tinggali juga sempit. Pekerjaan yang aku lakoni ini, meskipun berpenghasilan kecil, masih bisa menghidupi anak dan istriku. Walaupun sering kali aku telat meneriman gaji setiap bulannya. Seperti saat ini, uang di kantong tinggal pas-pasan. Namun gaji sudah seminggu belum juga turun dari waktu yang seharusnya. Ya, mau bagaimana lagi? Tapi aku tetap bersyukur saat melihat keadaan pemilik warung tadi. Alhamdulillah!..
………
Uangku kini tinggal dua lembar lagi, dua ribu rupiah tepatnya. Setelah tadi aku membayar kopi yang aku beli di warung kecil itu. Dan kini aku telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan lagi. Karena masih banyak surat-surat yang harus aku antar.
Namun apes! Saat aku baru saja melewati dua tikungan. Tiba-tiba aku merasakan ada keanehan dari motorku bagian belakang. Dan benar saja perkiraanku. Ban belakang motorku kempes! Akh, sial! Dan akupun membawa motor butut sialan itu ke tepi jalan.
Aku amati ban motor yang kempes itu. Akh!, ada-ada saja. Aku sempat kebingungan mendapati kondisi apes seperti ini. Uang di kantong tinggal dua ribu. Kalau seandainya aku pergi ketempat tambal ban? Mana mungkin uang itu tak cukup untuk membayar ongkosnya. Aku menoleh ke kiri dan kanan jalan. Berharap ada orang yang aku kenal dan bisa menolongku. Namun harapan itu pastilah sia-sia. Mana mungkin suatu kebetulan itu datang dalam kehidupan nyata seperti ini?!
Pfuuuuh… aku hela nafas panjang. Mencoba menenangkan hati. Ya sudahlah, gimana nanti aja. Akhirnya dalam terik matahari dan dengan beban motor kempes yang penuh dengan surat-surat. Aku mendoronnya menyusuri jalan. Dan masih berharap ada keajaiban yang akan menolongku saat ini. Walau aku tahu harapan itu sia-sia. Tapi ini lebih baik untuk menyenangkan hati dalam kondisi seperti ini.
Dan setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan. Aku menemukan juga tukang tambal.
“Bos! Tolong ditambal motorku” ucapku kepada si Tukang Tambal.
“Bozor kenafa, bang?!” tanya tukang tambal dengan logat sumatera.
“Kena paku kayaknya tadi”
“ooh…”
Lalu ia mulai mempersiapkan alat-alat kerjanya. Sementara aku duduk di belakang motorku sambil mengamati pekerjaannya. Karena aku tau, jika aku lengah sedikit. Mungkin urusan tambal ini bisa lebih runyam. Dari yang hanya tinggal ditambal, akan bisa berubah menjadi ganti ban dalam. Hal yang tidak boleh terjadi dalam kondisi keuanganku saat ini.
Ah, untungnya. Ban motorku hanya bocor sedikit saja. Setelah di cek dengan cara menyelupkan ban motor yang telah di isi angin kedalam air. Gelembung-gelembung kecil itupun terlihat pada titik bocor ban ku.
“Aku titip sebentar motorku yah?!” ucapku.
“Iya, Bang”
Setelah yakin bahwa ban motorku hanya perlu tambalan. Aku harus mencari tambahan uang untuk membayar ongkos tambal ini. Ah, aku tiba-tiba ingat dengan Perempuan pemilik warung tadi. Mungkin aku bisa meminjam uang darinya untuk tambahan membayar ongkos tambal, pikirku.
Lalu dengan penuh harap, aku berjalan dengan tergesa-gesa menuju warung kecil itu. Meski sebenarnya keringat tubuhku belum begitu kering. Namun aku harus melakukan perjalanan lagi yang lumayan jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki, apalagi dalam terik matahari.
..
“Maaf, Mbak…” ucapku
“Iya..” Perempuan Pemilik warung itu sempat terkejut melihat diriku lagi.
“Nnnngg.. bisa minta tolong?”
“Minta tolong?” tanya dia sedikit bingung. Mungkin dia berfikir. Dengan kondisinya yang tak jauh beda dengan diriku. Apalah yang dia punya untuk bisa menolongku.
“Begini, Mbak…..”
Lalu aku menjelaskan maksud diriku datang lagi dan menceritakan kejadian apes yang aku alami.
“Hmmm.. tapiiiii..” perempuan itu nampak ragu dan sedikit curiga. Meski sebenarnya dia iba dan bermaksud membantu. Namun siapa yang bisa percaya dengan orang lain dijaman seperti sekarang. Semua cerita sedih bisa dijadikan sandiwara hanya sekedar mengharap belas kasih orang lain.
“Tolong deh, Mbak. Kalau perlu KTP saya yang jadi jaminan. Saya cuma pinjam Lima Ribu aja, kok. Buat nambahin kekurangan ongkos tambal ” Aku coba meyakinkan dirinya.
Dan akhirnya diapun mengiyakan permohonanku. Jadilah sudah, KTP ku digadai dengan uang sebesar lima ribu rupiah.
….
Setelah kembali menempuh perjalanan yang lumayan. Akupun sampai kembali ketempat tukang tambal tadi. Tapi aku terkejut, ketika aku lihat ban dalam motorku masih belum terpasang kembali sebagaimana mestinya.
“Lho???...”
Lalu si Tukang Tambal menghampiriku
“Itu, bang. Ban Motor zi Abang ternyata bocor pas bekaz tambalan lama. Jadi ta’ bisa aku tambal, karena bannya sudah sobek bezar” ucap si Tukang Tambal menjelaskan perkara yang membuat aku bingung. Sambil memperlihatkan karet bekas tambal yang mengelupas dan kondisi ban dalam motorku yang sudah sobek.
“Kok??”
“Ya begitulah, Bang”
“Bukannya tadi cuma bocor kecil aja. Kenapa sekarang bisa sobek begitu?” tanyaku heran dan sedikit curiga.
“Kan zudah aku bilang. Bozornya di bekas tambalan yang lama.”
Dia sudah menangkap kecurigaan yang aku punya. Namun biar bagaimanapun aku tetap tidak bisa menerima penjelasannya. Apalagi saat aku lihat, sobekan ban dalam motorku itu seperti baru.
“Akh! Yang bener lo!” ucapku sedikit emosi.
“Terzerah si Abang. Kalau mau, ganti ban baru Tiga pUluh Ribu, itu yang paling murah. Kalau gak? Yaa, bayar ongkos bongkar zaja Lima ribu,” ucapnya enteng tanpa merasa bersalah dan takut.
Aku diam, diantara rasa lelah setelah bolak-balik dan mendorong motor tadi. Kini bercampur dengan emosi. Karena merasa telah dipermainkan si Tukang Tambal . Dan aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Haruskah aku marah-marah dan berkelahi dengan dia. Yang sudah pasti percuma jika kulakukan hal itu. Karena aku tak punya apa-apa untuk membuktikan kecurangannya. Otakku mendadak kosong. Yang ada hanya wajah dan tubuh yang babak belur tidak jelas nantinya.
Atau aku membawa-mendorong motorku lagi dalam keadaan yang masih kempes. Atau membeli ban baru seharga Tiga Puluh Ribu Rupiah, yang jelas-jelas untuk itu juga aku tak punya uang. Dan jika begitu, aku harus kembali ke warung kecil itu dan meyakinkan si Perempuan pemilik warung untuk meminjamkan aku uang lagi. Apa dia bisa percaya kepadaku? Aku bener-benar tak tahu..
Yang aku rasa hanya rasa sakit di kepala secara tiba-tiba, seolah darah mendesak-desak dalam peredarannya yang semakin cepat. Dan tubuhku mendadak lemas. Aku hanya bisa duduk jongkok di samping motorku, memandang ban dalam motorku yang telah sobek besar.
Ya. Tuhan.. aku sungguh-sungguh tidak mengerti bagaimana orang-orang kecil seperti kami masih saja saling menindas dan berbuat curang satu sama lain.. Haruskah kami seperti ini dalam mencari nafkah di kehidupan ini???
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini