Apa yang bisa melindungi kita dari
terik matahari dan hujan? Apa yang selalu menjadi tujuan setiap saat kita pergi
dan kembali? Jawabannya pasti tertuju pada Rumah. Ya, Rumahlah yang bisa
melindungi kita dari terik matahari dan hujan, yang juga menjadi tujuan kita
untuk pulang. Sudah pasti Rumah, bukan kandang apalagi kolong jembatan.
Meski ada juga dalam kehidupan ini,
mereka yang menjadikan kandang dan jembatan sebagai tempat tinggal mereka.
Kadang terasa aneh jika hal itu terjadi di negeri kita yang makmur ini, apalagi
kita tahu bahwa para dewan yang terhormat itu bisa menghabiskan uang negara
sekian banyak hanya sekedar untuk jalan-jalan dengan tujuan yang tidak jelas.
Atau membangun gedung baru yang memakan biaya trilyunan rupiah. Tapi banyak
dari rakyatnya hidup di dalam kandang ataupun kolong jembatan. Hebatnya..
Nah, jika berbicara tentang rumah
itu. Maka saat ini, aku tengah dipusingkan tentang masalah yang sama. Ketika saat ini, dengan
penghasilanku yang hanya seorang buruh pabrik. Yang berpenghasilan pas-pasan,
dan memiliki seorang istri dengan tiga orang anak yang mulai beranjak besar.
Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil yang berbiaya sekitar 400 Ribu
Rupiah, yang harus dibayar setiap bulannya. Dengan kondisi; satu buah teras kecil,
satu ruang tamu, satu kamar dan sebuah dapur berikut dengan kamar mandi.
Awalnya, rumah kontrakan tersebut
terasa cukup bagi keluarga kecilku. Cukuplah kami berkumpul dalam satu kamar,
dalam satu tempat tidur. Tapi tolong, jangan tanyakan bagaimana cara aku dan
istriku bisa membuat ketiga orang anak kami itu dalam keadaan yang demikian.
Karena itu rahasia kami berdua. Terima kasih..
Tapi seiring anak-anak kami yang
mulai tumbuh dewasa dan mempunyai keinginan untuk memiliki kamar sendiri. Lama kelamaan, rumah kontrakan itu
menjadi terasa sempit dan sesak. Sulit untuk bisa bergerak. Tapi hebatnya, aku
dan istriku selalu bisa mensiasati keadaan agar kami bisa berhubungan intim.
Maaf..
Menjadi hal yang mustahil jika kami
berlima berkumpul dalam satu ranjang saat kami tidur. Kemudian untuk mensiasati
keadaan, akhirnya kami tidur tanpa beralaskan tempat tidur. Dua buah kasur pun
kami gelar dilantai. Dan akhirnya kami pun, sedikitnya bisa tidur tanpa harus
berdesak-desakan lagi dan saling tindih.
Tapi kemudian, anak-anak mulai
mempunyai keinginan sendiri. Mereka meminta hak mereka untuk miliki kamar
sendiri. Agar privasi mereka bisa terjaga. Aku sendiri bisa memaklumi keinginan
anak-anakku itu. Karena aku pikir, tidak mungkin juga anak perempunku yang
tertua, Rini, yang semakin dewasa itu. Tidur dalam satu kasur bersama orang
tuanya dan juga adik-adiknya yang juga mulai dewasa. Sudah barang tentu ada
rasa malu, jika harus tidur bercampur dengan orang tua dan juga adik-adiknya.
Hal itu juga dirasakan oleh anak lelakiku yang kedua, Aldi. Sedangkan anak kami
yang bungsu, Agil, masih suka tidur bersama kami berdua, dalam dekapan ibunya,
istriku. Entah sampai kapan dia begitu, saatnya akan tiba juga nanti.
Tapi dengan keadaan diriku yang
berpenghasilan pas-pasan ini, bukanlah hal yang mudah untuk bisa mewujudkan
keinginan untuk memiliki rumah sendiri. Uang mukanya itu, lho. Ya tuhaaan…
mahal sekali! Belum lagi biaya administrasi, Notaris dan yang lainnya yang
harus di bayar. Meski hanya untuk perumahan kelas sangat sederhana, semua itu
terlihat begitu mahal bagiku. Belum lagi cicilan yang harus aku bayar setiap bulan,
beserta urusan tetek bengek lainnya, seperti membayar listrik dan air.
Jelas-jelas semua itu di luar kemampuanku.
Seandainya ada yang murah pun,
lokasi perumahan itu dengan tempat kerjaku dan sekolah anak-anak sangat jauh.
Malah akan membuat anggaran pengeluaran baru yang lebih besar dari biasanya.
Sangat berbeda dengan rumah kontrakan yang aku tempati saat ini. Dengan biaya
perbulan yang tetap. Itu sudah termasuk dengan urusan listrik dan air. Pokoknya
tahu beres. Lokasinya juga dekat dengan tempat kerjaku dan juga sekolah
anak-anak.
Untuk kehidupan sehari-hari saja,
kami selalu kekurangan. Terlebih biaya kebutuhan anak-anak yang semakin hari
semakin tinggi dan bermacam-macam pula. Masih untung aku bisa menyekolahkan
mereka, meski kadang sering telat untuk membayar SPP mereka. Sudah pasti juga,
aku jauh dari memiliki sebuah tabungan di Bank. Bahkan ketika banyak orang bisa
memiliki kendaraan bermotor, meski dengan cara kredit. Aku masih saja setia
pada Angkot dan jalan kaki. Bagaimana aku bisa berfikir untuk memiliki rumah
sendiri kalau begini keadaannya?.
Tiba-tiba aku teringat dengan orang
tuaku di kampung. Yang sudah lama tidak pernah aku temui. Bukan karena tidak
ingin menemui mereka, tapi karena memang keadaanku yang tidak memungkinkan
untuk pulang menemui mereka. Sesungguhnya perasan bersalah selalu menghinggapi
diri ini. Karena seolah aku telah melupakan mereka. Bahkan kiriman uang yang
dulu selalu rutin aku kirimkan kepada mereka. Sekarang sudah tidak pernah lagi
aku lakukan. Berhenti sama sekali, semenjak anak-anak mulai besar dan harus
sekolah. Ah, saat ini aku benar-benar merasa sebagai anak yang gagal
dan tidak berbakti .
Tapi aku masih bersyukur, karena
orang tuaku begitu pengertian dan memahami keadaanku. Mereka tak pernah
mengeluh dan menuntut macam-macam kepadaku. Asalkan aku bisa hidup mandiri dan
tidak menyusahkan orang tua, mereka sudah merasa cukup dan berbahagia. Tapi
meskipun demikian, aku tetap tidak dapat menghilangkan perasaan sedih atas
semua keadaan ini.
Aku memang bukan anak satu-satunya,
masih ada kakakku, Paijo dan juga Adikku, Parmin. Yang juga hidup merantau
sebagaimana aku. Dan kehidupan mereka juga tidak jauh berbeda dengan diriku.
Dan mereka pun jarang pulang dan jarang pula mengirimkan uang kepada orang
tuaku ,sebagaimana diriku.
Orang tuaku, meskipun mereka tidak
pernah mendapatkan kiriman uang dari anak-anaknya. Namun kehidupan mereka
senantiasa bahagia dan terus berjalan. Dengan mengandalkan hasil panen dari
sawah dan juga kebun yang tidak seberapa itu. Mereka hidup tentram. Mungkin
hanya merasa kesepian, sebab dirumah itu hanya tinggal mereka berdua saja.
Kamarku dan juga kamar saudara-saudaraku selalu kosong tak berpenghuni. Namun
Ibu masih selalu rajin membersihkannya setiap hari. “Biar tidak ada yang
tinggali,” kata Ibu jika kami bertanya kenapa Ibu masih melakukan hal itu.
Aku sendiri heran, bagaimana orang
tuaku bisa memiliki rumah sendiri di desa? Rumah yang lumayan besar, dengan
kamar-kamar yang bisa ditempati oleh masing-masing anaknya. Sedangkan kami
anak-anaknya? Untuk bisa memiliki rumah dengan kamar lebih dari satu saja kami
tidak mampu. Malah tinggal di rumah kontrakan milik orang lain. Suatu perbedaan
yang kadang tidak masuk akal, apalagi orang tuaku hidup hanya mengandalkan dari
hasil bercocok tanam.
Pernah terlintas dalam percakapan
antara aku dan istriku tentang orang tuaku.
“Coba pinjam saja uang sama orang
tua kamu, Mas?,” ucap Istriku sambil meletakan gelas kopi di atas meja, lalu
duduk di sampingku.
“Ya, tidak mungkin aku pinjam uang
sama orang tuaku, Bu. Uang darimana mereka? Kita saja tidak pernah mengirimkan
uang kepada mereka” jawabku sedikit kesal mendengar usulan istriku yang aku
anggap mengada-ada itu.
“Suruh jual saja sawah atau kebun
yang ada, Pak. Mereka masih punya itu, khan?,”ucap istriku lagi. Aku melirik
sesaat kepadanya. Sedikit membenarkan ucapan istriku. Tapi seketika aku membuang
jauh pikiran tentang hal itu. Mengingat dulu, orang tuaku telah menjual sawah
dan kebun yang mereka miliki, untuk biaya pernikahanku dan juga
saudara-saudaraku.
“Mereka sudah pernah jual sawah dan
kebun itu dulu, untuk biaya pernikahan kita dan juga saudara-saudaraku, bu,”
jawabku kemudian.
“Trus bagaimana kita bisa punya
rumah sendiri kalau begini terus?”
“Entahlah..”
“Apa harus menunggu warisan dari
mereka, baru kita jual sawah dan kebun itu. Dan baru bisa membeli rumah
sendiri?”
“Hati-hati kamu kalau bicara, Bu!
Itu sama saja kamu menyumpahi orang tuaku cepat mati!”
Akhirnya percakapan itu berhenti,
dan istriku masuk kedalam rumah dengan wajah kesal melihat kemarahanku. Tapi
aku sendiri sebenarnya sempat berfikiran demikian, sebagaimana istriku. Mungkin
karena sudah pusing dan tidak tahu jalan keluar dari masalah yang ada. Dan
satu-satunya hal yang bisa membantu diriku untuk bisa memiliki rumah adalah
dengan menjual sawah dan kebun yang dimiliki orang tuaku. Kalau perlu rumah
mereka juga dijual. Tapi betapa durhakanya diriku juga berfikir demikian.
Seolah mengharapkan kematian itu cepat datang menimpa orang tuaku.
Tapi seminggu kemudian, aku
mendapat kabar bahwa Bapak meninggal dunia karena sakit sesak yang dideritanya,
akibat kegemarannya menghisap rokok lintingan setiap hari. Dan 100 hari setelah
kematian Bapak, Ibu menyusul Bapak. Mungkin karena merasa kesepian semenjak
ditinggal Bapak. Ibu jadi sering sakit-sakitan, dan akhirnya menghembuskan
nafas terakhirnya.
…
Setelah pemakaman Ibu siang tadi.
Malamnya tiba-tiba, Mas Paijo memanggil aku dan juga adikku Parmin untuk
berkumpul di ruang tengah rumah kami didesa. Aku yang masih bersedih atas
kepergian Ibu dan juga Bapak yang secara bersamaan. Ditambah juga perasaan
bersalah, atas apa yang sempat terlintas dalam hatiku. Yang seolah mengharap
orang tuaku cepat mati, dan kemudian hal itu terjadi sekarang. Aku sedikit
heran dan bertanya-tanya tentang tujuan Mas Paijo mengumpulkan kami malam ini.
Akhirnya kami berkumpul, kami duduk
berhadap-hadapan. Mas Paijo duduk di kursi yang lebih panjang, sedangkan aku
dan Parmin duduk kursi yang berada di sisi kanan dan kirinya.
“Sebelumnya aku minta maaf sama
kalian berdua. Jika aku membicarakan hal ini, pada saat kita masih dalam
suasana berkabung seperti ini,” ucap Mas Paijo membuka pembicaraan.
“Memangnya ada apa toh, Mas?” tanya
Parmin.
“Hmmm, aku ingin membicarakan
warisan peninggalan orang tua kita,” ucap Mas Paijo sedikit ragu dan juga
takut. Mendengar hal itu, aku sontak marah kepada Mas Paijo. Karena aku pikir,
hal ini tidak pantas untuk dilakukan pada saat kami baru saja menguburkan Ibu
siang tadi. Dan kami masih dalam suasana berduka. Sungguh tak etis membicarakan
hal demikian saat ini. Namun tidak demikian dengan Parmin, ia menyetujui usulan
Mas Paijo untuk membicarakan masalah warisan itu sekarang. Alasannya, biar cepat
selesai setelah kami semua pulang meninggalkan rumah ini. Akhirnya aku
mengalah, dan mengikuti keinginan mereka berdua.
Jadilah malam itu, sesuai dengan
wasiat yang di tinggalkan orang tuaku. Mas Paijo mendapatkan sawah yang masih tersisa, dan
Parmin mendapatkan kebun yang masih ada. Sedangkan aku, mendapatkan Rumah
peninggalan orang tuaku ini. Dan tidak lama setelah hari itu, Mas Paijo menjual
sawah yang telah menjadi haknya itu. Demikian pula dengan Parmin, ia juga
menjual kebun yang juga telah menjadi hak miliknya.
Dan dengan uang hasil menjual sawah
dan kebun itu, Mas paijo dan Parmin membeli rumah sendiri di kota dan sebagian
uangnya digunakan untuk modal usaha mereka. Yang tersisa hanya rumah kami.
Entahlah, mengapa juga Ibu dan Bapak menyerahkan rumah itu kepadaku?
Dibandingkan memberikan sawah atau kebun kepadaku. Atau menyerahkan rumah itu
untuk Parmin, anak bungsu mereka. Aku hanya berfikir, mungkin Bapak dan Ibu
mengetahui bahwa aku tak akan sanggup untuk menjual rumah yang telah mereka
bangun dari hasil keringat mereka sendiri, yang penuh dengan kenangan indah
kami semua.
Ya, aku memilih untuk tidak menjual
rumah itu. Meskipun istriku terus mendesak diriku untuk menjualnya, dan uangnya
dijadikan modal membeli rumah baru untuk kami sekeluarga di kota, sebagaimana
yang dilakukan Mas Paijo dan juga Parmin. Tidak, aku tidak akan melakukan
seperti yang dilakukan saudara-saudaraku. Karena aku pikir, apalagi yang bisa
aku berikan kepada orang tuaku sekarang? Setelah dulu aku tak pernah memberikan
apa-apa kepada mereka. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah menjaga amanat
mereka untuk tetap menjaga rumah itu tetap ada. Dan menjaga semua kenangan tentang
mereka. Ya, paling tidak, selalu ada tempat untuk kami tempati, bagi Mas Paijo
dan juga Parmin. Ketika kami semua pulang kampung, pulang ke desa dimana kami
dilahirkan. Agar kami senantiasa ingat rumah, ingat orang tua kami dan ingat
tempat darimana kami berasal.