“Disini!” ucap udin sambil jari telunjuknya mengarah ke tanah.
“Disini?” tanya bejo memastikan apa yang dikatakan udin.
“Iya, disini. Cepat gali!” tanpa menunggu perintah lagi. Bejo mulai mengayunkan paculnya untuk menghantam tanah. “Buat yang besar, Jo!” Perintah Udin lagi kepada Bejo
“Oke, bos!”
Malam yang gelap menjadi saksi atas apa yang dilakukan Udin dan Bejo. Suara jangkrik yang gaduh seolah tengah menggosipkan apa yang dilakukan mereka berdua di tempat itu. Sepi dan hening yang sebelumnya tersaji oleh gelap malam, seketika berubah menjadi irama pacul yang menyentuh tanah.
Satu jam kemudian
“Udah, Bos?! Udah cukup dalem belom nih? Kalau belom, ntar gua gali lagi,” tanya Bejo dari dalam tanah yang ia buat, sambil membasuh keringat yang sesekali jatuh menutupi pandangan matanya.
“Udah cukup! Lo naik ke atas sekarang. Biar gua gantian yang dibawah,” jawab Udin. Dan Bejopun akhirnya keluar dari dalam liang itu, dibantu oleh udin. Dan setelah itu mereka tukar posisi.
“Jo! Lo turunin mayat itu sekarang. Kasih ke gua!”perintah Udin dari dalam tanag.
Bejopun mengangkat tubuh yang telah berbalut kain putih yang menutupi hampir seluruh tubuh. Lalu memberikan kepada udin. Dengan hati-hati udin menerima tubuh yang tertutup kain putih itu, lalu direbahkan ke tanah. Dari mulut Udin terdengar kata-kata yang asing di telinga Bejo. Entah apa yang tengah diucapkan Udin saat itu.
“Tarik badan gua, Jo! “ teriak udin kemudian sambil tangannya menjulur ke atas meminta Bejo untuk menariknya. “Huff..!” Tubuh Udin akhirnya terangkat ke atas meski dengan sedikit susah payah.
“Sekarang lo timbun dah tanahnya,” perintah Udin kemudian.
“Siap, Bos!” jawab Bejo patuh.
Tidak berapa lama kemudian. Lubang kuburan yang tadi Bejo buat, akhirnya tertutup kembali oleh tanah. Namun kini, di dalam gundukan tanah itu telah terkubur sesosok tubuh mayat. Yang mana hanya Bejo dan Udin yang mengetahui siapa yang tadi terbungkus dalam kain putih itu.
“Udah, yuk! Kita pergi sekarang,” ajak udin. Dan tetap pada kepatuhannya, Bejo mengikuti langkah Udin menjauh dari tempat itu. Namun baru sesaat mereka melangkahkan kaki menjauhi dari gundukan tanah itu…
“MEEOOONGG….!!”
Mereka dikejutkan oleh seekor kucing hitam yang tiba-tiba sala melompat melewati gundukan tanah yang baru mereka buat. Entah darimana asal kucing itu, secara tiba-tiba saja muncul. Dan dalam kegelapan matanya terlihat menyala-nyala, sejenak menatap Udin dan juga Bejo, lalu lari dan menghilang dalam kegelapan.
“Bangsat! Bikin kaget gua aja” umpat Udin sambil menepuk dadanya yang mendadak kencang berdetak.
“Iye, Bos. Gua juga kaget banget,” ucap bejo ikut-ikutan.
Ketika rasa terkejut mereka belum hilang, secara tiba-tiba juga petir menggelegar memecah kegelapan dan keheningan malam yang mencekam. Disusul dengan angin yang juga mendadak kencang berhembus. Bejo dan Udin spontan gelagapan mendapati perubahan alam yang mendadak ramai ini.
“Lari, Jo!” teriak Udin.
Dan akhirnya mereka dengan tergesa berlari meninggalkan lokasi tersebut. Petir yang menggelegar saling bersahutan dan angin yang kencang itu telah merubah malam yang sebelumnya hening lagi sepi. Ketika Udin dan Bejo hilang ditelan kegelapan, satu kilatan petir bersamaan suara yang menggelegar tepat jatuh ketengah gundukan tanah itu.
Dan secara ghaib pula, setelah itu, angin berhenti berhembus dan suara petir seketika hilang. Kembali sepi dan kembali senyap. Hanya suara burung hantu yang sesekali terdengar.
Tiba-tiba, bumi bergetar hebat dan seiring dengan itu, gundukan tanah itu terbelah secara perlahan-lahan. Dari tanah yang terbelah itu, muncul asap putih yang membumbung bergumpal di udara. Lalu berhenti.. Hanya ada angin yang berhembus sesekali agak kencang, menyibak dedaunan kering di sekitar gundukan tanah. Suara lolongan anjing terdengar panjang, seolah mengucap kata, “Selamat datang kembali, Kawan!”
……
Esok paginya. Penduduk desa gempar. Selain karena kejadian semalam yang mendadak aneh. Tapi pada hari ini juga mereka dikejutkan oleh penemuan mayat laki-laki yang sangat dikenal oleh seluruh penduduk kampung ini. Dalam kondisi dada yang bolong dan mata yang melotot serta lidahnya yang menjulur keluar. Lelaki itu adalah Mamat, anak lelaki kesayangan Juragan Boneng.
“Ada apaan, Kang?,” tanya udin kepada salah seorang penduduk kampung. Saat mendekat pada kerumunan penduduk.
“Eh, elo din. Kapan datang?” Orang tersebut malah balik bertanya kepada udin.
“Lima hari yang lalu, Kang. Ada apaan sih?.”
“Itu.. Si Mamat mati. Jantungnya juga hilang, Din,” bisik orang tersebut ditelinga Udin.
Udin mencoba melongok lebih dalam melewati banyak kepala yang menghalangi pandangannya. Lalu udin tersenyum penuh arti.
……
Besoknya lagi, kejadian yang sama berulang. Mayat baru ditemukan dengan kondisi yang sama seperti Mamat kemarin. Bagian dada yang bolong, pandangan mata melotot serta lidahnya terjulur keluar. Dan besoknya lagi, lalu besoknya dan besoknya lagi. Kejadian yang sama berulang. Seluruh korban jika dihitung-hitung berjumlah 7 orang dan kesemuanya adalah pemuda desa yang mempunyai hubungan dekat dengan Mamat, anak kesayangan Juragan Boneng.
Seluruh penduduk kampung mulai ketakutan untuk keluar malam. Membuat suasana kampung yang sebelumnya sudah mencekam terasa semakin berada dalam nuansa yang lebih horror lagi. Dan setelah berhenti selama 3 hari, kejadian yang sama kembali terulang. Kini mayat yang ditemukan adalah mayat Bejo, dengan kondisi yang sedikit berbeda. Karena mayatnya ditemukan tengah tergantung di sebuah pohon tepat di tengah-tengah desa. Dadanya tidak bolong, sebagaimana 7 mayat sebelumnya.
Dan 2 hari setelahnya, diketemukan lagi mayat Juragan Boneng di garasi rumahnya, dengan kondisi tubuh yang tergilas mobil miliknya. Dan semua kejadian-kejadian itu semakin membuat banyak orang penasaran. Polisi sudah turun tangan dan pada akhirnya atas nasehat dan wejangan dari Pak Lurah, sebagian penduduk mulai sedikit memiliki keberanian untuk menggalangkan lagi siskamling, Ronda setiap malam secara bergiliran.
…
Suatu malam di rumah udin, ketika semua orang sibuk meronda. Dalam cahaya yang menerangi segenap isi kamar yang kosong sama sekali, dengan diterangi hanya sebatang lilin. Udin duduk bersila di depan nyala lilin tersebut. Dan di hadapannya terdapat 7 buah toples besar, dimana dalam setiap toples itu berisi jantung manusia yang telah diberi air keras. Dan dalam temaram cahaya lampu lilin itu, ternyata udin tidak sendirian.
“Neng.., ini semua abang kumpulin buat kamu. Semoga kamu senang menerimanya,” ucap udin pada sosok perempuan yang berdiri dihadapannya, sambil menyodorkan 7 toples yang berisi jantung manusia itu.
“iiyaa baaanngg…..” sosok itu menjawab dengan suara datar dan bergetar lirih.
“Ini jantungnya Si Mamat, Neng. Ini jantungnya Si Aris. Ini jantung Si Roni dan ini jantung Si Husen dan…” Satu persatu toples itu disodorkan kepada sosok yang berada dihadapan udin, sambil disebutkan nama dari pemilik jantung tersebut satu persatu. Mamat, Aris, Roni, Husen, Ali, Badra, dan Suep. “Ambilah, Sayangku. Sebagai bukti cinta abang yang abadi untuk kamu”
“iiyaa baaangg….” Sosok yang berdiri di depan udin lalu membungkuk. Dan saat membungkuk, rambutnya yang panjang tergerai sampai pinggul, sebagian jatuh menutupi wajahnya. Tatap matanya kosong dan seolah patuh. Diambilnya jantung itu satu persatu dari dalam toples dan dimasukannya langsung ke dalam mulutnya yang tiba-tiba bisa melebar seukuran jantung itu. Amblas semua seketika!
Udin tersenyum penuh arti. Entah apa yang sebenarnya bisa membuat dirinya senang melihat hal ganjil yang dia saksikan itu. Semua jantung itu adalah jantung orang-orang yang telah mengakibatkan kematian kekasih yang sangat ia cintai, Ijah. Dengan sebelumnya, mereka memperkosa Ijah secara bergiliran. Tapi pada akhirnya bisa bebas dari hukuman, karena Bapaknya Mamat adalah orang terkaya di desa ini, Juragan Boneng. Dan tentu saja ia sanggup untuk membuat para penegak hukum itu memutar balikan fakta yang ada.
“Sini duduk dekat abang, Sayang..” ucap Udin kemudian, setelah sosok perempuan yang berambut panjang dan berbaju putih itu telah melahap habis semua jantung yang disodorkan Udin. Lalu sosok perempuan misterius itu berjalan melayang menghampiri Udin dan duduk di sisinya. Udin kemudian merengkuh kepala sosok perempuan misterius itu untuk disandarkan di dadanya.
“Abang sayang sekali sama, Neng Ijah. Sayaaaaang…. Sekali!” ucap udin sambil membelai rambut panjang dan kusut sosok perempuan itu.
“iiyaa baaangg… Iijaah jugaa saayaangg samaa Aabaang…..”
Dikecupnya kening perempuan itu, lalu turun ke mata kanan dan kirinya, lalu hidung dan jatuh ke bagian leher, lalu ke bibir yang belepotan darah dari jantung yang baru dia lahap. Udin mendesah penuh gelora nafsu yang membakar tubuhnya dalam dingin suasana malam itu. Dengan bernafsu dilumatnya bibir itu terus tanpa henti, sambil tangannya menggerayangi tubuh perempuan misterius itu dan sejenak berhenti di daerah selangkangan. Nafsu itu semakin tidak tertahan dan tangan itu semakin masuk ke dalam selangkangan. Kemudian secara perlahan, Udin merebahkan tubuh perempuan misterius itu.
Udin yang tengah bernafsu itu, terus saja melumat bibir perempuan misterius itu tanpa memperdulikan darah yang belepotan di sekitar mulut perempuan itu. Sementara perempuan itu hanya diam tanpa merespon apa-apa, matanya melotot memandang langit-langit kamar. Sampai saat secara tiba-tiba… Mulut perempuan itu kembali melebar sebesar kepala udin. Seketika kepala udin sudah masuk ke dalam mulutnya.
Udin yang tak pernah menyangka hal itu akan terjad mencoba melepaskan diri, dengan kepala yang masih berada dalam mulut perempuan itu. Terus berontak, mencoba melepaskan diri, namun semua itu sia-sia. Tubuh Udin pun mengelepar-gelepar saat mulut perempuan itu menutup dan…
Kepala Udin terpisah dari tubuhnya. Darah mengucur dari tubuh bagian atas yang tanpa kepala itu, mengenai hampir seluruh wajah perempuan misterius itu. Matanya tiba-tiba semakin membesar dengan senyuman menyeringai.
“Hiiiihiiiiihiiihi… kiitaa sekaaraangg telaah berrsaatuu, baangg. HiHiHiii….!” Tubuh Perempuan itu melayang ke udara menembus genteng rumah Udin dan menghilang meninggalkan jasad Udin yang masih menggelepar.
…..
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini