“Iya, Mas..Bahagia sekali rasanya kita bisa bersatu seperti ini,” jawab Reva sambil sedikit menengadahkan kepala menatap wajah suaminya.
“Iya, aku juga merasakan kebahagiaan yang luar biasa atas kebersamaan kita ini, Sayang. Meski sampai detik ini, aku masih tidak juga percaya kalau aku bisa seperti ini.”
“Maksud, Mas?”
Edo menghela nafas panjang, seolah ada sesak yang ia rasa saat itu. Entah sebuah perasaan yang mengisyaratkan kebahagiaan atau kecewa.
“Mas…?”
Edo melirikan matanya ke arah Reva, lalu melepaskan kecupan di keningnya. “Ya, Sayang.. sebenarnya, jika aku ingat-ingat sekarang ini. Dulu aku sempat merasa putus asa untuk bisa merasakan kebahagiaan seperti ini. Aku merasa tidak akan bisa memiliki seseorang yang akan menjadi pendamping hidupku”
“Kok??”
“Iya, kamu serasa jauh sekali saat itu. Kehidupanku selalu dilanda kesepian setiap saat. Bimbang dan ragu, bahkan merasakan kekosongan di dalam diriku, yang hanya bisa terpenuhi dengan kebersamaan seperti.”
Reva tiba-tiba semakin merapatkan tubuhnya dalam memeluk tubuh suami tercinta. “Aku juga begitu kok, Mas…”
“Ah, masa, sih?”
Reva menganggukan kepalanya, hingga menimbulkan gesekan yang membuat Edo sedikit merasa geli. Tubuh Edo sedikit mengelinjang karenanya.
“Iya, Mas.. sebelum kita menikah; sebelum aku bertemu denganmu. Aku juga berada dalam kehampaan yang sama. Apalagi aku senantiasa didera kekecewaan karena penghianatan laki-laki”
Mendengar itu, Edo langsung melorotkan tubuhnya, mensejajarkan kepalanya dengan kepala Reva. Mereka kini berhadap-hadapan, saling menatap dan tersenyum. Edo membeli rambut yang menutupi wajah dan telinga Reva, “Benarkah begitu?” Reva menganggukan kepala.
Perlahan bibir Edo mendekati bibir Reva, mencium mesra dengan segenap perasaan, lalu menjadi saling mengulum memainkan lidah dimulut Reva. Lalu berhenti… “Aku sayang kamu..” ucap Edo kemudian, sambil kembali membelai rambut Reva. Mata Reva berubah sayu, lalu menjatuhkan kepalanya kedalam pelukan Edo, “Aku juga sayang kamu, Mas..” Edo pun memeluk erat tubuh istrinya yang begitu ia cintai.
Sekilas bayangan memang sempat melintas di pikirannya, tentang semua perjalanan cintanya, sebelum bertemu dan menikah dengan Reva. Rasa sakit hati pernah membunuh dirinya berkali-kali, ketika perasaan Cinta pertamanya tak pernah terbalas oleh Fifi; gadis cantik yang dia kenal saat di sekolah dulu. Lalu kemudian, saat pertama kali menjalani hubungan percintaan dengan Mawar, yang hanya berjalan tak lebih dari 2 bulan. Dan berakhir karena ternyata Edo hanya menjadi pelampiasan dari rasa kesepian dan sakit hati Mawar yang baru saja di putuskan oleh kekasihnya. Sesaat Mawar menyadari kekeliruannya, dia meninggalkan Edo yang terlanjur mencintainya dengan sangat.
Rasa sakit dan kecewa kembali ia rasakan. Merubah semua yang selama ini menjadi dirinya, hingga dendam bersemayam dalam hati. Kemudian berlalu kisah-kisah percintaan lain, tanpa ada cinta sedikit pun. Semua senantiasa dijalani hanya untuk memberi kecewa dan sakit yang sama kepada mereka, sebagaimana ia rasakan dahulu. Namun bathinnya memberontak seketika, menyadarkan kekeliruannya.
Hingga akhirnya dia kembali mencoba untuk memberi cinta dalam satu ikatan percintaan. Lina, gadis terakhir yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya. Kembali telah menghadirkan kecewa dan rasa sakit yang berlebih dalam pengkhianatan. Peristiwa hidup kembali berputar, sampai akhirnya Edo merasa lelah. Dan tidak lagi percaya, bahwa kebahagiaan atas cinta itu bisa ia miliki dalam hidupnya.
“Aku berharap kita akan selamanya seperti ini, sayang,” ucap Edo kemudian, sambil memeluk tubuh Reva lebih erat. Dan terdengar isakan kecil dari Reva, yang membuat Edo sedikit terkejut.”Kamu kenapa, sayang?” Edo lepaskan pelukannya pada tubuh Reva dan mendorong sedikit tubuh Reva, agar ia bisa melihat diri Reva.
Reva menundukan wajahnya, ia tidak ingin airmata itu terlihat,”Tidak apa-apa kok, Mas..” Reva mencoba menghapus airmata. Namun Edo menarik dagunya, dan menatap lekat-lekat wajah Reva.
“Kamu menangis?” tanya Edo kemudian. Tapi kembali Reva jatuhkan kepalanya dalam pelukan Edo. “Sayang…?” ucap Edo lagi.
“Entahlah, Mas.. Aku menangis bukan karena aku bersedih atas kita. Tapi aku menangis karena bahagia yang aku rasa. Dan aku tak mampu menjabarkannya untukmu. Aku bahagia, Mas!”
Edo termenung sesaat, sepertinya ia mengerti apa yang dirasakan Reva. Lalu dipeluknya lebih erat tubuh Reva. “Aku juga bahagia bersama kamu saat ini. Terima kasih, sayang…”
Suasana hening sesaat. Mereka berdua larut dalam perasaan masing-masing. Kebahagiaan yang begitu nyata mereka rasa di dalam hati. Yang mungkin dulu terasa mustahil bagi mereka. Mengingat penantian panjang mereka untuk bisa seperti sekarang ini. Reva bukanlah sosok perempuan yang memiliki banyak kekasih. Kehidupan percintaannya terbilang sedikit sepi. Mungkin ia pernah mengagumi seseorang, mendambanya dan mencintainya. Namun semua itu hanya sebuah rasa yang ia pendam dalam hati. lalu lelaki itu pergi..
Mungkin Reva tak seberuntung teman-temannya, yang selalu berganti pasangan dengan cepat dan mudah. Hilang satu, tumbuh seribu. Tidak pula Reva seperti adik perempuannya, yang juga terkenal selalu bisa memikat hati banyak lelaki. Sampai-sampai kedua orangtua mereka dibuat khawatir setiap saat ole ulahnya itu.
Satu kali Reva menjalani sebuah kisah percintaan, namun berakhir dengan penghianatan dan disusul dengan kisah percintaan dalam beda keyakinan. Yang juga berakhir karena ditentang orang tua, tapi semua juga selesai dalam pengkhianat didepan matanya. Sepi dan penuh dengan rasa kecewa, jauh dari percaya bahwa kebahagiaan itu masih mungkin di raihnya. Lalu menjatuhkan dirinya dalam pasrah, untuk di jodohkan oleh orangtuanya. Tapi nasib berkata lain, karena akhirnya Reva bertemu dengan Edo, sosok lelaki sederhana yang mampu menyembuhkan luka hatinya. Dan mengembalikan kepercayaan dirinya lagi.
…
Kala itu..
“Ada satu hal yang menggerakan hatiku dalam keyakinan kepadamu, Va” ucap Edo pada saat mereka bertemu dulu, di sebuah kedai kecil yang terbuka. Dan berada di luar sebuah Mall. Saat itu, hati Reva serasa berdetak lebih cepat, seolah sebuah peristiwa yang diharapkan akan terjadi saat ini. Tapi ia mencoba untuk menguasai diri dan juga perasaannya itu.
“Bahasa kamu berbelit-belit, Do. Cape nunggunya. Langsung aja, deh. Maksud kamu apa, sih?” ucap Reva setelah menyedot Ice Lemon Tea yang ada di hadapannya. Setelah itu menyandarkan tubuhnya di kursi, memandang ke arah Edo. Meski dia tak mampu berlama-lama menatap wajah lelaki itu. Edo tertawa mendengar ucapan Reva. Lalu Edo pun menyandarkan tubuhnya di kursi. Menghela nafas panjang, dan kembali tersenyum mencoba menghilangkan kegugupan yang ia rasa, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Edo… maksud kamu apa?” tanya Reva lagi, tak sabar mendengar Edo melanjutkan kata-katanya. Edo melirik sesaat menatap wajah Reva, lalu kembali membuang pandangannya jauh kesekeliling kedai itu. Hal itu membuat Reva sedikit kesal, hal itu ditunjukan dengan melipat kedua tangannya di dada.
Tapi Edo tiba-tiba berdiri dan menghampirinya, lalu duduk bersimpuh didepannya sambil menarik tangan Reva. “Aku sayang sama, Va. Aku jatuh cinta sama kamu. Tapi aku ingin hubungan kita langsung menuju jenjang pernikahan, Va. Aku ingin kamu menjadi istriku. Aku harap kamu mau menerima lamaranku ini”
Sesaat Reva diam membatu, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Semua terjadi di saat dirinya melepas kendali pada perasaannya, yang sejak awal memang sudah tidak menentu. Jantung itu berdetak lebih keras dan cepat, pandangan matanya seolah mengisyaratkan rasa tidak percaya atas apa yang dilakukan Edo dalam bersimpuh memohon, atas ucapan Edo yang meminta dirinya menjadi pendamping hidup. Lama Reva terdiam membisu tanpa tahu apa yang harus ia lakukan.
“Va, maukah menerima lamaranku ini?”ucap Edo lagi, karena tidak mendapat jawaban dari Reva. Hal itu membuat dirinya merasakan kecewa, yang perlahan menyelusup kedalam hatinya. Tapi semua berubah, ketika Reva melakukan satu gerakan meski perlahan. Reva menganggukan kepala. Senyum Edo terkembangkan seketika. Sedangkan airmata Revalina mulai jatuh membasahi wajahnya. Reva langsung memeluk tubuh Edo. Dan dalam isak tangis bahagia ia mengucap,”I-ya..Edo..aku bersedia. Aku bersedia menjadi istrimu. Aku bersedia!”
….
Edo melirikan matanya ke wajah Reva, lalu tersenyum. Istrinya telah memejamkan mata, lelap dalam tidur meraih mimpi indah mereka berdua. Edo membelai rambutnya dengan lembut, melepas kecup. “Aku sayang kamu, Va..” ucapnya kemudian. Reva menggeliat sesaat.
Bahagia memang begitu nyata mereka rasakan saat ini. Setelah penantian panjang; setelah kecewa senantiasa mendera kehidupan dalam rasa sakit. Kini mereka menikmati semua kebahagiaan, yang dulu serasa tak mungkin bagi mereka.
Semua kecewa yang senantiasa mereka rasakan, telah membuat mereka semakin bisa mengerti dan menghargai arti kebersamaan yang ada. Semua semata menguatkan diri mereka, sebelum menjalani percintaan yang sebenarnya dalam sebuah pernikahan. Mungkin dulu, mereka merasa semua kecewa itu sepertinya tak pernah berkesudahan. Tak pernah memberi sedikit waktu kepada mereka, untuk bisa merasakan bahagia.
Tapi siapa yang tahu maksud Tuhan dari setiap kejadian yang telah kita alami itu. Sampai akhirnya kini, Edo dan Ravelina mampu mengucapkan syukur yang terus menerus atas kebahagiaan yang ada saat ini. Seolah lupa semua luka hati dan kecewa yang pernah mereka alami.
Malam semakin larut, Edopun memenjamkan mata. Mencoba meraih mimpi dalam damai hatinya. Namun, sebelum pada akhir mata itu terpejam, rasa syukur kembali dia ucapkan kepada Langit, atas anugerah terindah dalam hidupnya. Bernama, Ravelin. Selamat malam, sayang…
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini