SEMUA TIDAK LAGI SAMA

Semua tak lagi sama. Diriku jatuh pada kesendirian dan kesepian tanpa dirimu lagi. Hari-hari yang baru tampak asing bagiku. Entah, mengapa semua seolah nampak masih sama? Tapi aku merasa harus tetap berusaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.

CINTA DALAM RINDU-RINDU

Seperti rindu ini kepadamu, seperti itu pula malam terlewatkan dalam sepi dan sendiri. Aku mengejar dirimu dalam bayang-bayang, aku berlari dengan semua imaji diri. Mencari senyummu, wangi tubuhmu, harum nafasmu, manis senyum dibibirmu, indah gelak tawamu

DEMI SEPENGGGAL KATA

Demi sepenggal kata yang ingin aku persembahkan kepada hidup yang akan mati. Dimana kata mungkin akan melayang jauh diterpa angin topan dan juga badai. Terbelah dan pecah menjadi butir-butir air mata penyesalan malam para pendosaMelanang buana didunia yang gemerlap namun hitam dan samar tanpa putih...

LELAKI DENGAN 7 BIDADARI

Rasa kecewa kembali dirasakan oleh Pangdim, setelah mengetahui bahwa anaknya yang baru saja lahir ternyata kembali berjenis kelamin Perempuan. Sama seperti ke-6 anaknya yang lain: Ani, Sekar, Dewi, Ningrum, Nida dan Rifa. Pupuslah sudah harapan Pangdim untuk bisa memiliki keturunan seorang Lelaki

KENAPA HARUS JATUH CINTA

“AKh sialan!” gerutu Bejo memaki dirinya sendiri. Disuatu sore diruang tamu rumah kost-kostan, Dia angkat kedua kaki diatas meja. Tubuhnya disandarkan ke kursi yang dia miringkan. Sementara kedua tangannya nangkring asik di jidatnya yang jenong.

PELACUR ITU IBUKU

Semua orang terlihat sibuk dalam beberapa hari ini. “Besok adalah Hari Ibu,” kata mereka. Tapi apakah hari itu akan berarti buat ibuku? Yang juga kata orang, ibu adalah seorang Perempuan murahan, Perempuan bayaran, Sundel atau yang lebih sering kudengar sebutan untuk Ibu adalah seorang Pelacur

KESATRIA BURUNG BESI RAKSASA

Menurut cerita Nenek, Emak Udin itu diculik oleh Burung Besi Raksasa. Dulu. Saat Udin masih belajar berjalan. Tak ada yang bisa menyelamatkan Emak, karena Bapak juga telah lama tertidur di dalam tanah. Udin Memang tak mengenal dengan baik siapa orang tuanya,

TANKTOP VS CELANA BUTUT

Aku hanya melongo, bengong bego tak percaya dengan apa yang kulihat. “Ayo, Pah. Kita berangkat,” ucap istriku. Sementara aku masih melongo bego, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Istriku satu-satunya, berdandan mengenakan rok pendek yang panjangnya jauh di atas dengkul

CAWAN HIDUP

Ada masa dimana kebahagiaan dalam cawan itu, kita reguk lupa hingga tak bersisa. Sedangkan kesedihan yang kita tuang, meluber melewati batas tampung cawan itu. Lalu membasahi wajah dengan airmata. Tapi diantaranya, gelembung-gelembung hampa menjadi bagian dari setiap tetes rasa yang kita tuangkan kedalam cawan.

WAJAH-WAJAH GELAP

Jika dilihat, wajah setiap orang itu selain berbeda bentuk, tapi juga berbeda dalam cahaya yang terpancar. Sebelumnya aku tak percaya, tapi kemudian menjadi percaya, saat menatap diriku dalam cermin. Setelah sebelumnya aku bergumul dengan kekasihku , Lina. Gadis cantik yang aku kenal setahun lalu.

Senin, 08 Agustus 2011

Penantian Perempuan Tua








Pagi. Selepas shalat subuh. Aku pergi keluar rumah seperti biasa. Menikmati udara pagi yang masih segar jauh dari polusi. Tercium aroma tanah yang basah, daun-daun yang bermandikan embun. Sesekali masih terdengar dari mesjid-mesjid alunan suara orang yang tengah mengaji dan juga suara penceramah mengisi acara siraman rohani pagi dalam kuliah subuh. Pagi yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Setelah sejenak berdiri memandang gelap yang masih tersisa sebelum matahari mengusirnya,  aku ikat rambut yang panjang tergerai dengan satu karet gelang. Baru kemudian memulai aktifitas menyapu halaman rumah.
Aku hanya seorang perempuan tua, yang hidup dengan rutinitas seadanya. Sebagai ibu dari anak-anakku, dan sebagai istri dari suamiku. Tidak ada yang istimewa dari kehidupanku ataupun dari diriku. Wajahku yang semenjak remaja, hanyalah wajah cerminan perempuan dusun berkulit hitam yang jauh dari kata cantik, serta bodoh. Karena aku tak pernah tamat sekolah dasar. Aku juga tak tahu tentang bagaimana cara menghias diri. Namun demikian, aku masih beruntung karena Kang Diman, seorang pemuda dari desa seberang, terpikat dengan diriku apa adanya, dan kemudian menikahiku.
Kang Diman bukanlah sosok lelaki yang tampan dan kaya. Wajahnya biasa saja, dan pekerjaannya hanya sebagai seorang supir becak. Namun demikian, aku melihat sifat-sifat baik yang dimiliki suamiku itu. Sabar, pengertian dan juga giat dalam bekerja, serta jarang sekali mengeluh. Meski kesialan kerap dialami setiap saat.
Setelah selesai menyapu halaman. Aku masuk kembali ke dalam rumah menuju dapur. untuk menanak air, menyiapkan makanan pagi bagi suami dan juga anak-anak. Di sela-sela menunggu, aku mencuci semua piring, gelas dan semua perabotan kotor yang belum sempat aku cuci tadi malam. Pagi-pagi, kopi serta sarapan sudah harus tersedia untuk suami dan anak-anakku sebelum mereka beraktifitas dan meninggalkan aku sendirian di rumah.
“Anak-anak sudah pada bangun, Bu?” tiba-tiba suara Kang Diman terdengar olehku, sedikit mengejutkanku.
“Belum, Pak..” jawabku sambil tanganku mengaduk-aduk kopi dalam gelas.
“Hmm.. nanti kalau aku selesai shalat subuh mereka belum bangun. Tolong bangunkan mereka. Suruh pada shalat subuh juga. Kayak orang kaya saja, bangun siang-siang” ucap Kang Diman lagi sambil ngeloyor masuk kamar mandi mengambil air wudhu.
“Iya, Kang..”
Setelah semua telah siap, aku membawa kopi, teh manis dan lauk untuk sarapan ke atas meja. Dan kembali meraih gagang sapu untuk melanjutkan membersihkan seisi rumah. Gelap perlahan mulai tersingkirkan oleh pagi yang akan hadir bersama matahari. Satu persatu terdengar langkah dan cakap orang-orang yang juga mulai sibuk dengan aktifitas mereka. Wajah-wajah yang masih berharap untuk bisa memeluk bantal guling kembali.
Kang Diman selesai menunaikan shalat subuh, lalu menghampiri meja makan. Duduk sambil menyeruput kopi yang aku buatkan tadi.
“Anak-anak tolong di bangunkan, Bu” ucap Kang Diman lagi kemudian.
“Iya, Kang.. “ aku segera menghentikan kegiatanku untuk melaksanakan permintaan Kang Diman.
…..
Matahari telah sedikit menunjukan wajahnya. Ia terlihat masih malu-malu atau mungkin masih malas lagi mengantuk. Kang Diman sudah berada di pekarangan rumah, mengelap kursi penumpang becak kesayangannya. Kadang handuk yang biasa dikalungkan di lehernya dia kibas-kibaskan kearah becaknya, seolah mengusir debu-debu nakal yang masih tidak mau pergi dari menempel di badan becak.
Aku berdiri memperhatikan dirinya melakukan semua itu. Sudah merupakan kewajibanku untuk mengantarkan kepergian suami setiap kali pergi bekerja mengais rejeki untuk keluarga tercinta. Ketika melihat Kang Diman telah duduk dan siap mengayuh becak kesayangannya. Segera aku menghampirinya.
“Bilangin ke anak-anak, jangan kelamaan mandi atau sarapannya, Bu. Nanti pada kesiangan semua lagi,” ucap Kang Diman saat aku mengecup punggung tangannya.
“Iya, Kang…”
Becakpun mulai dikayuh dengan berat menuju pintu halaman rumah, masuk ke jalan gang dan terus melaju hingga menghilang dari pandangan. Aku menghela nafas panjang memandang kepergian suamiku. Ada sesak yang tiba-tiba aku rasa di dalam dada. Dan semakin menjadi ketika aku menoleh kedalam rumah yang kosong. Tidak terasa bibir bergetar seiring rasa yang tiba-tiba menjalar masuk ke dalam hatiku. Airmata aku tahan untuk tidak jatuh di pagi yang cerah ini, mengambang di pelupuk mata.
Seketika kesadaran mengingatkan kepadaku untuk tetap tegar menghadapi hari-hari yang sama yang akan aku alami selama hidupku. Dengan menggunakan ujung lengan baju baju, aku coba menghapus airmata yang menggenang di mataku.  Menarik nafas panjang untuk kemudian melangkah kembali masuk kerumah.
Aku adalah perempuan tua dengan rutinitas yang sama setiap hari. Sebagai ibu dari anak-anakku, dan sebagai istri dari suamiku. Tidak ada yang istimewa dari kehidupanku ataupun dari diriku. Kecuali cerita tentang anak-anak yang telah pergi pada pagi-pagi seperti ini namun hingga kini tidak pernah kembali. Tanpa ada kabar berita. Tanpa ku tahu apa yang terjadi pada mereka. Aku hanya mengingat siang setelah kepergian mereka, terjadi kerusuhan besar. Dimana semua orang terlihat seperti kerasukan. Api terlihat berkobar dimana-mana. Wajah-wajah bengis menyeringai sambil berteriak tergambar jelas di layar televisi. Sejak itulah rumah ini menjadi sepi.
Lalu cerita tentang suamiku, Kang Diman, lelaki yang begitu aku cintai, Bapak dari anak-anakku yang telah pergi tak kembali. Kang Diman yang seolah selalu lupa bahwa anak-anaknya telah pergi sekian lama tanpa ada kabar berita. Entah keyakinan atau kesadarannya yang mulai hilang. Yang ku tahu, begitu besar harapan Kang Diman terhadap anak-anak. Karena kelak, mereka yang di harapkan mampu mengangkat derajat dan taraf hidup keluarga ini. Harapan yang membuatnya tidak percaya dan menerima kenyataan bahwa anak-anak kami tidak pernah kembali.
Dan aku.. aku adalah perempuan tua yang menyimpan asa yang perlahan mulai terkikis habis melihat kenyataan yang ada atas kehidupan pagi kami. Bahwa suatu saat juga semua akan pergi meninggalkan diriku di rumah ini seorang diri. Tetap pada rutinitas yang sama dalam hampa menunggu mereka yang pergi tanpa kembali.

0 comments:

Posting Komentar

Komentar anda disini

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Daftar Isi

 

Daftar Isi





Labels


View My Stats

kampungblogs

ArtikelBlogs

Cerpen

Translator

Translate This Page To:

English

Powered by: ALS & Google

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Pengunjung Blog

Alexa

GebLexs

Muntahan Diri

KumpulanBlogs

Entri Populer

MatiJiwa

Awank Kening

Jiwa-jiwa

everything is about Reina Ally

BlogUpp

KutuBuku


Mas ukkan Code ini K1-3B6F99-D
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Followers


ShoutMix chat widget
 

Recent Comments

Templates by | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger