Rasa kecewa kembali dirasakan oleh Pangdim, setelah mengetahui bahwa anaknya yang baru saja lahir ternyata kembali berjenis kelamin Perempuan. Sama seperti ke-6 anaknya yang lain: Ani, Sekar, Dewi, Ningrum, Nida dan Rifa. Pupuslah sudah harapan Pangdim untuk bisa memiliki keturunan seorang Lelaki. Sebab Lastri, istrinya, sudah tidak mau lagi mengikuti keinginan Pangdim untuk hamil lagi setelah ini. “Ini yang terakhir ya, Mas” ucap Lastri saat ia mengetahui dirinya hamil lagi. Senang, namun tetap menyimpan rasa lelah, “Aku sudah cape, Mas. Umurku juga sudah tidak muda lagi”
“Mana Bapak kamu, Ni?” tanya Ibu pelan.
Sambil tertunduk sedih, Ani duduk di kursi disamping Ibu berbaring. Rifa didudukannya dalam pangkuan, sedangkan Nida didudukan di sisi kaki ranjang. Dan dengan cekatan, tanpa diminta, Nida memijat kaki Ibunya. “Ani sudah mencari Bapak, Bu. Tapi tidak ketemu juga,” jawab Ani lirih.
Wajah Ibu seketika berubah sedih mendengar ucapan Ani. Sepertinya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya, Pangdim. Sebagaimana juga Ani mengetahui akan respon Ibunya, saat mengetahui sosok Bapak tidak berhasil ia temui.
Ibu menghela nafas panjang membuang kecewa yang ia rasa. Lalu mencoba tersenyum kepada anak-anaknya,”Ya, sudah. Biarkan saja Bapak kamu itu. Mungkin sedang di mushola, sujud syukur.”
“Di mushola juga tidak ada, Bu. Ani sudah mencari kesana,” kata Ani lagi. Tapi kemudian Ani merasa menyesal telah berkata demikian. Karena hal itu sama sekali tidak memberikan ketenangan dalam hati Ibu. Dan memang benar, senyum Ibu seketika kembali tenggelam dalam rona kesedihan. Akh, bodohnya aku! gumam Ani. Senyum Ibu masih terkembangkan, namun tidak terlihat lebih baik dari sebelumnya. Mencoba mengalihkan perasaannya dengan menyapa Rifa yang sejak tadi meronta dalam pangkuan Ani, meminta untuk duduk di atas ranjang bersama Ibunya.
………………………
Rumah Pangdim dan Lastri ramai oleh sanak saudara yang datang untuk melihat anggota baru dalam keluarga besar mereka.
“Waah, anakmu cantik sekali, Mbak Lastri! Buat aku aja, yah?!” ucap Maemunah adiknya. Lastri tersenyum bangga mendengar pujian itu. Sedang Maemunah terlihat gemas sambil terus menggoda Bayi itu,“Namanya siapa, Mbak?”
“Namanya Kejora,”jawab Lastri sambil melangkah masuk ke dalam kamar, menghampiri Maemunah dan bayinya yang mulai merengek karena tidurnya terganggu oleh Maemunah.
“Kejora apa, Mbak?”
“Kejora Sasti Mulia”
“Artinya?...”
“Gak tau aku apa artinya”
“Lho? Masa kasih nama gak tau artinya sih, Mbak?”
“Bapaknya gak mau kasih nama. Jadi aku yang kasih nama,” ucap Lastri sambil berbisik.
“O-oh…”
Sementara itu, di ruang tamu, Pangdim sedang asik berbincang dengan kakak-adik Ipar dan saudaranya. Ani terlihat sibuk mengurusi Nida dan Rifa yang tidak bisa diam saat di suapi. Sedangkan Sekar, Dewi dan Ningrum tengah bermain dengan sepupunya di luar rumah. Terlihat ramai dan gaduh, kegembiraan dalam pertemuaan yang sangat jarang terjadi diantara mereka.
“Wah, Mas Pangdim benar-benar hebat! Tukang cetak anak perempuan,” ucap Jamsuri adik iparnya sambil tertawa.
“Hush! kamu kalo ngomong asal jeplak aja, Jam” Protes Mas Paijo Kakak Ipar Pangdim. Sementara Pangdim hanya tersenyum kecut.
“Keluarga kita memang aneh, Dim. Kamu tau sendiri keponakan-keponakanmu itu semua laki-laki. Pinginnya aku sama istriku punya anak perempuan.” Kini Mas Karjo yang bicara sambil menghisap rokok kreteknya.
“Tukeran aja, Mas!” sahut Jamsuri.
“Kamu itu! Kalo dibilangin ngeyel, Jam,” kembali Mas Paijo terlihat tidak suka dengan candaan Jamsuri. Dan Jamsuri hanya tertawa menanggapi kemarahan Paijo. Sedangkan Pangdim tetap tersenyum kecut mendengar perbincangan yang ada diantara mereka. Rasa kecewanya semakin menjadi saat mendengar ocehan mereka.
……………………
“Paaak..! Tolong gendong Kejora dulu sebentar!” teriak Lastri dari dalam kamar mandi, saat mendengar tangis Kejora yang semakin kencang. Tapi Pangdim terlihat acuh meskipun mendengar suara tangis Kejora dan juga teriakan Istrinya. sampai saat Lastri kembali berteriak,”Paaak…!!”
Pangdim akhirnya beranjak juga dari kursi, tapi bukan untuk menggendong Kejora yang tengah menangis. Tapi malah keluar rumah mencari anak-anaknya yang lain. Dan setelah mencari hingga ujung jalan, Pangdim tidak menemukan anak-anaknya satupun. Akhirnya ia kembali ke rumah. Dari jalan menuju ke rumah, Pangdim bisa mendengar tangisan Kejora yang semakin keras. Sepertinya Lastri masih di kamar mandi. Entah sedang apa dia disana? Mandi atau sedang buang hajat? Pangdim semakin kebingungan.
Baru saja langkah kaki Pangdim masuk ke dalam kamar dimana Kejora berada, ia melihat Lastri yang masih berbalut handuk baru saja mengangkat Kejora dari tempat tidur untuk menggendongnya. Pangdim berdiri terpaku melihat semua itu. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tangis Kejora seketika berhenti saat berada gendongan Lastri.
“Mas memang tidak mendengar aku teriak dari tadi?!” ucap Lastri dengan sorot mata penuh kemarahan. Pangdim diam dalam pasrah mendapati kemarahan Lastri. “Keterlaluan!” Kecewa itu begitu dirasa Lastri, saat matanya terlihat mulai berkaca-kaca, menahan airmata atas kesedihan yang tengah ia rasa.
Pangdim melangkah lunglai meninggalkan kamar. Kembali duduk di teras rumah seperti sebelumnya. Tidak lama kemudian, anak-anaknya pulang dalam berlarian sambil bercanda. Tiba-tiba seperti menemukan tempat untuk melampiaskan kebingungannya, Pangdim melotot kepada anak-anaknya itu.
“Darimana kalian?! Bapak cari-cari sampai ke ujung jalan tidak ketemu!” bentak Pangdim. Ani, Sekar, Dewi, Ningrum, Nida dan Rifa, mereka semua langsung tertunduk dalam perasaan takut. Tawa mereka seketika berhenti.
“Darimana?!” bentak Pangdim lagi karena tidak mendapat jawaban.
“Anu..Anu..tadi Adik-adik minta jalan-jalan ke lapangan, Pak. Sambil disuapi makan” jawab Ani terbata-bata dalam ketakutan.
“Ngapain main jauh-jauh sampai kesana?! Kalau ada yang culik, bagaimana?!”
Dengan masih berbalut handuk Lastri keluar menghampiri, sambil menggendong Kejora,”Biarin saja anak-anak diculik orang! Bapaknya aja gak mau ngurusin!”
Pangdim terkejut mendapati Lastri yang tiba-tiba keluar dan menjawab ucapannya. Sebenarnya Pangdim tidak suka mendengar ucapan Lastri, namun ia urungkan untuk membalas ucapan Lastri yang dianggap tidak pantas itu. Yang bisa dia lakukan adalah menyuruh anak-anaknya untuk masuk kedalam rumah.
Lastri menyambut anak-anaknya yang melangkah dengan wajah-wajah tertunduk sedih dan ketakutan itu, sambil Lastri mengerutu,”Kok, jadi anak-anak yang disalahin?! Gak ngaca apa?”
Pangdim menahan geram mendengar gerutu Lastri yang dianggap semakin kurang ajar itu. Tapi dirinya mengakui kesalahan yang telah ia buat saat Kejora menangis tadi. Akhirnya hanya bisa diam berpura-pura tidak mendengar, kembali duduk di teras melanjutkan acara melamunnya. Entahlah, sudah beberapa bulan semenjak Kejora Lahir, Pangdim sama sekali tidak mau menggendongnya, melihat pun tidak. Seolah rasa kecewa dan marahnya dilampiaskan kepada Bayi yang tidak berdosa itu.
……….
Hampir setahun berlalu, sikap Pangdim tidak juga berubah. Ia semakin tidak perduli dengan anak-anak dan juga Lastri. Setiap hari hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Kekecewaan yang sepertinya tidak wajar dimiliki oleh Pangdim, mengingat banyak orang yang begitu mendamba kehadiran seorang anak, namun tidak juga diberi kepercayaan oleh Tuhan. Tapi rasa kecewa Pangdim telah menutupi hatinya untuk sekedar bersyukur. Betapa arti seorang anak Laki-laki begitu berarti bagi seorang Pangdim.
Ini bukan masalah nama besar keluarga atau Marga yang akan hilang jika memiliki anak perempuan. Pangdim bukanlah keturunan dari suku yang nama besar keluarga selalu mengikuti di belakang nama mereka dan juga anak-anaknya. Tapi bagi Pangdim, anak lelakilah yang akan mewarisi kepemimpinannya di keluarga. Jika terjadi sesuatu pada dirinya, maka anak lelakinya yang kemudian akan menjaga Lastri dan saudara-saudara perempuannya kelak. Dan ini juga tentang harga dirinya sebagai seorang lelaki, yang selama ini selalu mendapat julukan Pabrik Penghasil Susu, atau Pabrik Pencetak Anak Perempuan.
Pangdim harus menunjukan kepada semua orang, bahwa ia juga bisa memiliki anak laki-laki diantara banyak anak perempuan yang ia miliki. Demi keinginan yang satu ini, pangdim malah sempat berfikir untuk menikah lagi. Namun urung ia lakukan, mengingat kehidupan ekonomi keluarganya sekarang saja sudah serba pas-pasan. Apalagi jika memiliki lebih dari satu istri? Hal yang sangat mustahil untuk dilakukan.
Lastri begitu sedih melihat sikap keras suaminya itu. lebih sedih lagi jika melihat anak-anaknya yang seolah kehilangan figur seorang Bapak dalam kehidupan mereka. Tidak jarang ia menangis sambil sembunyi-sembunyi saat tidak dapat lagi menahan kesedihan hatinya. Harapannya, bahwa Pangdim akan berubah seiring waktu yang berjalan, sama sekali tidak terwujud. Pangdim tidak juga merubah sifatnya, dan tidak juga bisa melupakan rasa kecewanya.
Hingga suatu malam, saat Pangdim baru saja hendak memejamkan mata. Lastri bangkit dari tidurnya. Duduk di sisi tubuh Pangdim, menatap sendu wajah suaminya.
“Mas… Aku mengalah,”ucap Lastri lirih.
Pangdim mengangkat tangannya yang sempat menutupi matanya dalam tidur. Mengangkat sedikit kepalanya karena tidak terlalu mengerti akan maksud dari ucapan Lastri.
“Hmm..maksud kamu apa, Las?” tanya Pangdim kemudian.
Lastri tertunduk, kesedihan begitu telihat di wajahnya. Meskipun ia merasa berat, tapi demi anak-anak. Lastri telah bertekad untuk memenuhi keinginan Pangdim. Mencoba untuk memiliki anak lagi. Hamil lagi.
“Ya, Mas.. Aku bersedia untuk hamil lagi. Bersedia mencoba lagi, agar keinginan Mas untuk memiliki anak laki-laki bisa kesampaian.”
Pangdim terkejut mendengar ucapan Lastri, segera ia mengambil posisi duduk bersandar pada kepala ranjang. “Kamu serius, Las? Jangan main-main kamu?!”
“Aku serius, Mas. Asal kamu kembali seperti semula, menjadi Bapak bagi anak-anak kita. Kasihan Kejora yang tidak pernah kamu anggap sama sekali” ucap Lastri dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tapi Pangdim sama sekali tidak melihat akan hal itu. Pikirannya lebih kepada bayangan akan kesempatan baru untuk memiliki anak laki-laki.
“Baik! Aku penuhi syarat yang kamu ajukan. Jadi kapan kamu akan berhenti KB?” Wajah Pangdim terlihat begitu senang dan bersemangat.
“Besok aku akan segera ke dokter untuk konsultasi lagi”
“Oke! Makin cepat makin baik”
“Tapi, Mas…”
“Apa lagi?”
“Usiaku sudah termasuk usia rawan untuk memiliki anak lagi..”
“Halaaah..! Perduli amat! Dulu kamu bisa melahirkan sampai 7 orang anak. Masa satu lagi kamu tidak bisa?!”
Lastri tertunduk. Tidak terasa airmata yang sedari tadi ia tahan menetes jatuh. Segera ia merebahkan lagi tubuhnya membelakangi Pangdim yang terlihat berseri-seri. Lastri begitu tahu, bahwa percuma menunjukan airmata itu kepada suaminya. Bertahun-tahun ia menjadikan bantal guling sebagai sahabat dalam menumpahkan tangisnya, tidak dalam pelukan suaminya! Sedangkan Pangdim malam itu, ia tidak bisa memejamkan matanya lagi karena pikirannya terus menerus dibayangi akan sosok anak laki-laki yang akan segera ia miliki.
-----
Tangerang, 24062011
0 comments:
Posting Komentar
Komentar anda disini