SEMUA TIDAK LAGI SAMA

Semua tak lagi sama. Diriku jatuh pada kesendirian dan kesepian tanpa dirimu lagi. Hari-hari yang baru tampak asing bagiku. Entah, mengapa semua seolah nampak masih sama? Tapi aku merasa harus tetap berusaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.

CINTA DALAM RINDU-RINDU

Seperti rindu ini kepadamu, seperti itu pula malam terlewatkan dalam sepi dan sendiri. Aku mengejar dirimu dalam bayang-bayang, aku berlari dengan semua imaji diri. Mencari senyummu, wangi tubuhmu, harum nafasmu, manis senyum dibibirmu, indah gelak tawamu

DEMI SEPENGGGAL KATA

Demi sepenggal kata yang ingin aku persembahkan kepada hidup yang akan mati. Dimana kata mungkin akan melayang jauh diterpa angin topan dan juga badai. Terbelah dan pecah menjadi butir-butir air mata penyesalan malam para pendosaMelanang buana didunia yang gemerlap namun hitam dan samar tanpa putih...

LELAKI DENGAN 7 BIDADARI

Rasa kecewa kembali dirasakan oleh Pangdim, setelah mengetahui bahwa anaknya yang baru saja lahir ternyata kembali berjenis kelamin Perempuan. Sama seperti ke-6 anaknya yang lain: Ani, Sekar, Dewi, Ningrum, Nida dan Rifa. Pupuslah sudah harapan Pangdim untuk bisa memiliki keturunan seorang Lelaki

KENAPA HARUS JATUH CINTA

“AKh sialan!” gerutu Bejo memaki dirinya sendiri. Disuatu sore diruang tamu rumah kost-kostan, Dia angkat kedua kaki diatas meja. Tubuhnya disandarkan ke kursi yang dia miringkan. Sementara kedua tangannya nangkring asik di jidatnya yang jenong.

PELACUR ITU IBUKU

Semua orang terlihat sibuk dalam beberapa hari ini. “Besok adalah Hari Ibu,” kata mereka. Tapi apakah hari itu akan berarti buat ibuku? Yang juga kata orang, ibu adalah seorang Perempuan murahan, Perempuan bayaran, Sundel atau yang lebih sering kudengar sebutan untuk Ibu adalah seorang Pelacur

KESATRIA BURUNG BESI RAKSASA

Menurut cerita Nenek, Emak Udin itu diculik oleh Burung Besi Raksasa. Dulu. Saat Udin masih belajar berjalan. Tak ada yang bisa menyelamatkan Emak, karena Bapak juga telah lama tertidur di dalam tanah. Udin Memang tak mengenal dengan baik siapa orang tuanya,

TANKTOP VS CELANA BUTUT

Aku hanya melongo, bengong bego tak percaya dengan apa yang kulihat. “Ayo, Pah. Kita berangkat,” ucap istriku. Sementara aku masih melongo bego, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Istriku satu-satunya, berdandan mengenakan rok pendek yang panjangnya jauh di atas dengkul

CAWAN HIDUP

Ada masa dimana kebahagiaan dalam cawan itu, kita reguk lupa hingga tak bersisa. Sedangkan kesedihan yang kita tuang, meluber melewati batas tampung cawan itu. Lalu membasahi wajah dengan airmata. Tapi diantaranya, gelembung-gelembung hampa menjadi bagian dari setiap tetes rasa yang kita tuangkan kedalam cawan.

WAJAH-WAJAH GELAP

Jika dilihat, wajah setiap orang itu selain berbeda bentuk, tapi juga berbeda dalam cahaya yang terpancar. Sebelumnya aku tak percaya, tapi kemudian menjadi percaya, saat menatap diriku dalam cermin. Setelah sebelumnya aku bergumul dengan kekasihku , Lina. Gadis cantik yang aku kenal setahun lalu.

Minggu, 31 Juli 2011

Aku Bukan Lelaki Sialan Itu!








“Hen.. Hendra,” samar-samar aku mendengar suara memangil-manggil namaku, lalu sentuhan lembut terasa di pipiku.
“Hen,kita sudah sampai, Sayang..” ucap suara lembut itu lagi. Dengan bersusah payah, aku coba untuk bisa membuka mata ini. Tapi Akh! Kepala ini terasa berat sekali. Pening. Dan dalam samar pandanganku, aku menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita yang aku kenal tersenyum menatap diriku. Dia adalah Tante Siska.
“Udah sampai kita, Tante?” tanyaku sambil memegang kepalaku yang terasa berat ini. Tante Siska hanya menganggukan kepala. Lalu ia pun membuka pintu, keluar dari mobil, dan berjalan memutar menghampiri pintu dimana aku duduk.
Dibukanya pintu mobil itu,”Yuk, tante bantu kamu turun”
 Lalu diletakannya tanganku di bahunya, sementara tangan kanannya melingkar di pinggangku. Membantu diriku untuk turun dari mobil dan berdiri.
“Kamu mabuk berat tadi, Sayang..” ucap Tante Siska, sambil tangannya mengelus lembut pipiku.
“Oh. Eh, iya yah?” jawabku setengah sadar dan tidak. Lalu Tante Siska mengecup pipiku. “Emmuaach..! Nanti kita ketemu lagi yah.?!” Ucapnya lagi sambil tangannya masuk ke dalam saku celanaku. “Dan ini buat saku kamu selama kita pisah, yah.Dikecupnya lagi bibirku.
Aku hanya diam, masih dalam keadaan sadar dan tidak. Aku hanya mampu menganggukan kepala. Lalu Tante Siska kembali berjalan memutari mobil, membuka pintu dan kemudian masuk kedalamnya. Tidak lama kemudian mobil itu melaju. Masih sempat ia melambaikan tangan kepadaku dan melepas ciuman jarak jauh. Aku membalas lambaian tangan itu dan berhenti saat mobil itu hilang dari pandangan di sebuah tikungan.
Aku melangkah gontai menyusuri jalan setapak yang masih tanah menuju rumahku. Suasana malam yang dingin dan semilir angin yang berhembus membuat dingin itu semakin terasa. Tapi karena efek dari berbotol-botol minuman beralkohol yang aku tenggak. Dingin ini tidak begitu terasa olehku, hanya burung hantu yang bertengger di atas pohon yang merasakan bagaimana dinginnya malam. Sesekali ia menggoyangkan tubuh, bulunya bermekaran, seolah mencoba mengusir dingin yang semakin menjalar dalam tubuhnya.
Aku berjalan dalam langkah yang goyah, menembus kabut yang mulai turun sebatas lututku. Samar-samar aku melihat jalan itu. Dalam samar pandangan mata ini, sulit bagiku untuk bisa memilih jalan yang harus aku tempuh. Jalan itu seolah menari-nari kesana-kemari. Kadang aku harus diam, mencoba menangkap jalan itu agar diam. Lalu mulai melangkah lagi. Selangkah demi selangkah. Berhenti, lalu jalan lagi. Saat ketika keseimbangan tubuhku hampir lepas. Aku segera bersandar pada pohon besar yang ada di sektiar jalan ini. Panas! Tiba-tiba panas semakin menjalar ke seluruh tubuhku. Rasa pening, berat, dan sakit di kepalaku semakin terasa. Dan tiba-tiba ada sesuatu yang mendorong-dorong keluar dari dalam tubuhku.  
Hoeeekk..!! Hoeekkk..!! Uhuk! Uhuk! Hoeks!....Cuh!!
Keluarlah semua isi dalam perutku, yang lebih banyak berisi air. Mungkin sedikit telihat kacang kulit yang telah lebur menjadi bubur dalam muntahku. Aku tengadahkan kepalaku menghadap langit, sambil tanganku mencoba membersihkan sisa liur yang menempel di tepi bibirku.
Akh, sialan!” Aku melihat bulan yang mengintip di atas sana, di balik awan hitam. Seolah jijik melihat diriku dan apa yang baru saja aku lakukan. Dan sepertinya bosan melihat diriku selalu seperti ini dalam melewati hari-hariku. Aku angkat tangan kananku menghadap bulan, sambil satu jari tengah aku layangkan kepadanya, “Fuck You, Bulan! Emang gua pikirin!!” teriakku dan kembali melanjutkan perjalanan pulang.
…..
Bruk! Bruk! Bruk!!Bukaaaa..! Wooiii! Buka pintunyaa!! teriakku sambil mengedor-gedor pintu rumah. Tidak lama kemudian aku mendengar suara langkah tergopoh-gopoh dari balik pintu.
“B-bang.. m-maaf tadi ketiduran di kamar udin,” ucap Ijah,  istriku, saat pintu itu terbuka sedikit dan kepalanya melongok keluar.
“Aakh! Berisik, Lo! Lelet bener jadi perempuan!” ucapku  sambil mendorong pintu itu dengan kasar agar terbuka lebih lebar. Tubuh ijah sekonyong-konyong terdorong ke belakang. Badannya merapat ke dinding yang menahan jatuh tubuhnya. Masih dengan langkah yang sedikit terhuyung, aku berjalan memasuki kamar. Tanpa memperhatikan istriku lagi. Mungkin kepalanya sempat terbentur dengan tembok tadi. Tangannya terlihat mengusap-usap bagian belakang kepala.
Setelah berada di dalam kamar, aku langsung menjatukan tubuhku di atas kasur. Masih sempat melihat Ijah mengintip dari balik pintu yang dibukanya perlahan. Ah, perempuan tolol itu,” gumamku. Kemudian dengan berhati-hati menutup pintu kamar. Pelaansekali. Seolah takut suara derit yang keluar dari pintu itu, akan membangunkan diriku yang sebenarnya masih belum tertidur. Ya, sepertinya dia memang takut kepadaku.
Entahlah, aku tidak tahu. Bagaimana bisa dirinya terdampar di tempat ini? Di rumah ini bersamaku? Sekilas dalam kesadaran yang masih tersisa aku terbang kemasa-masa lalu. Ke masa yang paling suram dalam perjalanan hidupku. Masa-masa yang tak pernah bisa aku lupakan, meski berbotol-botol minuman keras itu aku tenggak. Kemanapun aku pergi, aku selalu saja dihantui oleh bayangan lelaki sialan yang harus ku panggil ‘Bapak!
Lelaki yang dengan gampangnya melepaskan tamparan ke wajahku. Ketika dia merasa aku sedikit mengganggu kesenangannya. Atau ketika aku tidak menjawab dengan segera panggilannya. Lelaki yang dengan cepat bisa melemparkan gelas, botol-botol kosong, asbak atau apapun yang dapat di jangkaunya. Pada saat ia kehabisan minuman beralkohol itu dan tak mampu untuk membelinya lagi. Dengan cepat mendekati diriku, untuk kemudian mencengkram keras bahuku pada saat aku baru tersadar bahwa darah meleleh jatuh dari kepalaku. Namun tanpa perduli akan darah itu, ia memaki diriku, melempar aku hingga jatuh tersungkur
“Dasar anak sialan! Gara-gara elo,  gua kehabisan uang! Kerjaan lo cuma maen melulu!! Bantuin gua, kek, cari duit!” makinya kepadaku, menjadikan aku sasaran  pelampiasan atas habisnya uang yang telah dia hamburkan di meja judi dan untuk membeli botol-botol minuman itu.
Lelaki sialan itu menyeret aku ke kamar mandi, menelanjangi aku. Lalu dilemparnya gayung yang mengambang di atas bak mandi ke arahku. Namun meski dalam keadaan mabuk seperti itu, gayung itu masih sempat mengenai tubuhku dengan keras. Sehingga menimbulkan rasa sakit. Tak puas sampai disitu, diangkatnya ember yang penuh air untuk ditumpahkannya semua ke tubuh telanjangku. Dan terakhir, dengan segenap tenaganya dihempaskan ember kosong itu menutup kepala dan sebagian tubuhku yang meringkuk kedinginan.
Aku menangis dibuatnya, tapi hal itu tidak membuat rasa iba itu muncul. Ditariknya tanganku, dihempaskan di sudut kamar mandi. Dan dalam gelap pandanganku, karena wajahku masih tertutup ember. Aku mendengar suara pintu kamar mandi ini dikunci. Langkahnya terdengar menjauh dari kamar mandi, semakin menjauh meninggalkan rumah  ini.
Sementara aku yang masih dalam keadaan telanjang, basah dan kedinginan terkunci. Menangis sejadi-jadinya. Namun tangisan serta teriakanku tidak membuat langkahnya kembali untuk membuka pintu ini. Aku terpenjara dalam kedinginan sepanjang malam. Pintu akan terbuka ketika dari sela-sela tembok, ada cahaya matahari yang masuk dan aku mengetahui bahwa pagi telah datang. Maka kembali aku berteriak-teriak keras, berharap ada orang yang mendengar dan membukakan pintu ini.  Meski aku tahu, siapapun yang membantu membukakan pintu ini, pasti akan segera pergi dalam ketakutan meninggalkan aku. sebab mereka tahu siapa lelaki sialan yang harus aku panggil ‘bapak’ itu.
Luka memar, kepala yang bocor, mata yang membiru, pelipis dan bibir yang sobek, bagian bokong perih, dan pipi yang merah panas. Sudah jadi makananku hampir setiap hari. Entah, semua itu aku dapat dari ikat pinggang yang membabi buta menghujam seluruh tubuhku, atau dari gayung dari kamar mandi, gagang sapu, asbak, botol, piring atau gelas. Atau bahkan hasil buah karya tangan bapaku sendiri.
Aku usap sedikit bekas luka yang tak hilang di pelipis mataku. Inilah satu karya terhebat dari lelaki jahanam itu. Dia yang di jari-jari tangannya bertengger sebuah batu akik besar, berhasil membuat pelipisku harus mendapat 7 jahitan, berbekas hingga kini. Dan Ijah saat itu, satu-satunya manusia yang sudah kehilangan kesadarannya. Sekian banyak orang lari menghindar dan menjauhi diriku karena takut kepada lelaki keparat itu. Aku sendiri memilih untuk menghindari mereka. Tapi, entah apa yang membuat Ijah mau mendekati dan berteman denganku.
Pada akhirnya, semua hal yang terjadi pada diriku diketahui ijah. Dari semua kedekatan itu. Aku akhirnya bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam hidupku. Dan aku jutuh cinta, seolah kehidupanku memiliki warna yang baru, harapan baru. Tapi tetap saja, seberapa keras usaha yang dilakukan Ijah untuk bisa menariku keluar dari kehidupan keras itu. Lelaki jahanam itu lebih berkuasa atas kehidupanku….
Semakin hari, semua semakin membuatku jauh dari kebahagiaan. Sakit bukan hanya sakit dalam tubuh ini. Namun telah  berakar menjadi dendam. Ada malam-malam, di mana bapak pulang dengan keadaan yang sama. Tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Dibekapnya mulutku, dibaliknya tubuhku telungkup dan entah apa yang merasuki dirinya. Tiba-tiba dia melorotkani celanaku. Seketika aku merasakan sakit yang teramat sangat pada duburku. Aku ingin berteriak! Tapi aku tak bisa. Tangan lelaki keparat itu begitu keras membekap mulutku, sehingga kadang membuat aku sendiri sulit bernafas. Aku hanya bisa merasakan sakit dan dengus nafas lelaki sialan itu disisi wajahku. Dengan tetesan keringat yang jatuh satu persatu  menimpa rambut kepalaku
Aku tak bisa melupakan hal itu! Tidak bisa!! Rasa sakit itu telah tertancap dalam dadaku, perih itu bukan hanya perih yang aku rasakan pada duburku. Tapi perih yang selalu kurasakan dalam sesak dada ini. Meski berbotol-botol minuman aku tenggak, meski berpuluh-puluh pil ekstasi aku telan. Sejenak hilang. Tapi kemudian dia akan datang lagi dan lagi. Bersama wajahnya yang menyeringai. Lihatlah! Luka di dahi ini membuat semua ingatan itu tak pernah  mau pergi!
Walau pada akhirnya siksaan itu berhenti. Itu hanya karena kematiannya. Kematian yang aku buat sedemikian rupa. Ketika suatu malam, aku berfikir untuk menghabisi nyawanya, tapi aku tak mau diriku terkukung dalam penjara, sebagaimana penjara yang aku rasakan di dalam kamar mandi. Aku berfikir untuk menghabisinya dengan caraku sendiri.
Sebuah botol minuman aku siapkan. Dengan hati-hati aku buka tutupnya jangan sampai rusak. Lalu memasukan segala macam obat-obatan, berpuluh-puluh pil obat kuat, dan juga obat tidur, serta ekstasi ke dalam botol itu. Aku diamkan, aku biarkan larut sambil menunggu dia pulang dan tertidur di samping botol-botol itu. Dan seperti yang aku tahu, efeknya dari botol-botol yang biasa ia tenggak selalu membuatnya ingin buang air. Dan saat itulah, dengan diam-diam aku menukar botol yang ada diatas meja dengan botol yang telah aku siapkan. Lalu menunggu semua terjadi dalam lelap tidur.
Benar saja, esok harinya aku mendapati dirinya terkapar dengan mulut yang berbusa. Wajah pucat dan membiru, dengan mata yang melotot melihatku. Aku tak perduli! Dengan tenang aku pergi ke sekolah sambil melemparkan sisa obat-obatan itu ke tubuh mayatnya. Dan saat aku pulang dari sekolah, aku mendapati rumahku telah ramai dikerumuni orang-orang kampung. Dari mulut orang-orang itu aku hanya mendengar,”Maaf, Hen.. Bapak kamu sudah meninggal. Sepertinya over dosis. Yang sabar ya, Nak. Tapi aku hanya tersenyum senang penuh kemenangan. Tidak akan ada airmata untukmu, Lelaki jahanam!!”
……..
Lalu aku jatuh dalam pelukan Tante Maribeth. Awalnya aku berfikir, kebaikannya kepadaku adalah kebaikan seorang ibu yang mampu memberikan kembali kasih sayang yang telah lama hilang dari kehidupanku. Tapi semua itu tiba-tiba sirna, ketika dalam setiap belaiannya selalu berakhir dengan ciuman mesra yang menggoda hasrat birahi dan berakhir dengan nafsu yang terpenuhi tergambar di wajahnya. Tapi aku tak perduli. Kasih sayang dan perhatian, aku dapatkan berlebih darinya. Sebagai pengganti kasih sayang ibu yang telah lama menghilang. Dan lagi, semua kebutuhanku juga terpenuhi olehnya, sekedar untuk  menyambung hidupku yang kini seorang diri.
Tapi kisah itu pun berakhir, saat ada seorang lelaki yang tiba-tiba saja mendobrak pintu kamar ketika kami masih dalam keadaan setengah telanjang. Lelaki yang kemudian mencaci maki Tante Maribeth dan menyebutnya sebagai pelacur! Sambil melayangkan tendangan dan pukulan kearahku dan hal itu juga diterima oleh Tante Maribeth. Melihat hal itu terjadi, membuat darahku tiba-tiba bergejolak marah. Dengan segenap kekuatan yang ada, aku berbalik menghajar lelaki itu hingga terkapar tak sadarkan diri. Tapi apa yang terjadi? Tante Maribeth malah memaki dan mengusir diriku, “Apa yang telah kamu lakukan pada suamiku?! Kamu jahat! Pergi Kamu! Aku gak mau lihat kamu lagi. Pergii..!!
Semenjak itu, aku selalu berlari dari satu pelukan ke pelukan perempuan-perempuan setengah baya seperti dirinya. Mencari kasih sayang yang sempat hilang akan sosok ibu, sebagaiman hari ini, dengan Tante Siska. Menghabiskan waktu hingga pagi tiba, melepas hasrat birahi untuk memberikan mereka kenikmatan. Tenggelam dalam ketidaksadaran diri, terpengaruh oleh berbotol-botol minuman memabukan dan obat-obatan yang aku tenggak.
Ibu.. Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja kebencian menggerogoti hati, pikiran dan kesadaranku. Semua rasa sakit ini ada karena Ibu! Mungkin jika ibu tidak lebih dulu meninggalkan diriku dengan Lelaki keparat itu. Mungkin aku tidak akan mengalami semua ini. Ini salahmu, Bu! Salahmu! Aku benci Ibu!!
Segenap rasa sakit dan kebencian menjadi satu dalam diriku, menggetarkan tubuhku dengan hebat. Aku tak kuasa lagi berada dalam bayang-bayang Lelaki sialan itu, rasa sakit dan juga kebencian akan sosok Ibu yang telah menyebabkan semua ini harus aku alami. Bergegas aku bangkit dengan sorot mata penuh kebencian. Aku berlari keluar dari kamar.
Berteriak-teriak memanggil nama istriku,“Ijaaaah..!! Ijaaahh..! Dimane lo?!” Seperti orang yang kesurupan, aku mencari-cari sosok perempuan sialan itu. Dan aku mendapatinya tengah berada di sudut kamar anakku. Dengan wajah ketakutan, gemetar sambil merengkuh tubuh udin yang juga berada dalam ketakutan.
“Ja..jangann, Bang. Aampuuuun, Bang,” ucap Ijah mengiba. Mungkin inilah sumber ketakutan yang tadi sempat aku lihat dari wajah ijah. Tapi aku tak melihat perempuan sialan itu sebagai Ijah. Tapi aku melihat sosok Ibu! Ibu yang telah membiarkan semua hal buruk itu terjadi pada diriku.  Selama hidupku semua itu terus menghantui setiap tidur malam dalam mimpi-mimpi buruk. Ibu yang aku benci! Aku benci Ibu!
“Sini, Lo!” Dengan kekuatan penuh aku tarik rambut kepalanya dan menggiringnya keluar dari kamar. Aku hanya mendengar jeritan yang mengiba dari perempuan sialan ini dan bocah tengik itu.
“Perempuan sialan! Ibu yang gak becus lo! Ibu macem ape, Lo, hah?!” teriakku memenuhi ruang. Sebuah tamparan keras langsung mendarat di wajahnya. “Gara-gara elo! Gara-gara Lo gak becus ngurus anak! Gara-gara elo yang mesti mati duluan! Lo dah buat gua harus menanggung semua rasa sakit selama hidup gua!” teriakku sambil  mendekatkan wajahku ke wajahnya. Tanganku mencengkram keras kerah bajunya. Perempuan sialan itu hanya menangis, menjerit, dan sesegukan tanpa henti. Mengiba,”Ammpuuunnn…., Bang. Ijah salah apa sama, Abang? Ampuuun, Baang
Aku angkat tubuhnya agar tegak berdiri, lalu aku hempaskan keras ke sudut ruang. Tubuh perempuan sialan itu terlempar keras hingga membentur tembok. Terdengar keras suara benturan batok kepalanya yang beradu dengan tembok itu. Namun, dengan cepat aku menghampirinya lagi dan menghujam dirinya dengan pukulan, tamparan dan tendangan bertubi-tubi..
“Mampus! Mampus aja lo sekalian!! Rasa sakit lo gak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang gua rasa selama ini. Dan semua gara-gara elo, sunde!” Tangan ini langsung mencengkram keras batang lehernya, sehingga aku mendengar suara nafasnya yang tercekat, menggapai-gapai udara.
Tapi pada saat itu, tiba-tiba aku merasakan tubuh ini dihantam benda keras. Aku menoleh ke belakang, cengkaraman tangan itupun terlepas, tubuh Ijah jatuh terduduk sambil terbatuk-batuk, berusaha menggapai-gapai udara yang sempat hilang. Ternyata Bocah tengik itu berdiri dalam linangan airmata, gemetar memegang gagang sapu memandang takut diriku. Perlahan-lahan mundur dalam ketakutannya, mendapati diriku yang masih tegak berdiri dan menatap dirinya dengan kebencian.
“Bocah tengik!! Bagus! Lo udah bisa ngelawan sekarang, hah?!. Bagus……” Aku berjalan mendekati dirinya yang terus melangkah mundur. Dan dengan sigap aku tangkap gagang sapu yang berada dalam genggaman tangannya. Bocah itu terlihat panik.
“Ayo, lawan lagi sekarang. Lawan Gua!! Jangan jadi Lelaki pengecut! Banci! Ayo, lawan…!!”
Bocah tengik itu hanya gemetaran dalam ketakutan. Aku benci bocah yang tak berdaya seperti dia. Seharusnya dia bisa melawan. Bukan hanya menangis dan ketakutan begitu!
“Goblok, Lo! Pengecut!” Sebuah tendangan ke arah depan secara mendadak aku lepaskan menghantam tubuhnya. Sekonyong-konyong tubuh kecil itu terpental jauh kebelakang. Tersungkur. Mengaduh. Tidak! Jangan mengaduh! Bangun, Bocah Goblok! Lawan gua!  Jangan menangis. Lawan!!” Aku benci bocah yang penakut seperti ini.
Aku seret tubuh bocah tengik  itu menuju kamar mandi, aku paksa dia berdiri.  Dan tepat di atas bak kamar mandi itu, aku angkat tubuhnya dengan posisi kepala ke bawah. Aku masukan kepala bocah penakut itu ke dalam bak yang berisi air. Dia meronta-ronta. Ayo, merontalah! Lawan! Jangan cuma menangis dan jadi penakut, lawan gua!!
Dia megap-megap setelah beberapa kali aku benamkan kepalanya dalam air bak mandi itu. Ayo lawan!” Dia terlihat pucat. GobloK! Lo mesti kuat! Jangan jadi banci yang lemah!” Aku turunkan tubuh menggigil itu dan menyeretnya keluar, berjalan menghampiri perempuan sialan itu. Lalu dengan kasar aku lempar tubuh bocah pengecut itu kearahnya. “Lo liat! Ini akibatnya kalo elo jadi perempuan gak mampu mendidik anak! Anak loe jadi penakut! Cengeng! Lemah dan gak berguna!!” teriakku kepada perempuan dan bocah sialan itu.
Mereka saling merengkuh tubuh mereka, saling berusaha menyembunyikan diri mereka dari diriku. Masih dalam tangis, masih dalam jeritan, masih dalam ketakutan, gemetar dan mengiba..
“Goblok!! Jangan nangis!” Aku keluarkan  ikat pinggang yang melilit di celanaku. Dan saat aku coba ayunkan ke arah tubuh mereka.
“Baang..!! Abang Tega!! Abang sekarang seperti Bapak!! Bapak yang udah buat abang menderita!! Abang gak juah beda sama Bapak!” teriak perempuan sialan itu disela tangis dan gemetar tubuhnya.
Sejenak aku tertegun, seolah ada bongkahan batu keras menghantam kepalaku sedemikian keras. “A-aku.. aku seperti bapak? Lelaki jahanam itu?” ucapku dalam terbata, seolah kata-kata yang keluar dari mulut perempuan itu menyadarkan aku akan sosok lelaki jahanam itu. Lelaki yang telah menjadikan semua luka dan perih ini tak pernah mau pergi. Senantiasa menjadi mimpi buruk  sepanjang waktu hidupku.
“Abang udah buat luka dan rasa sakit yang sama di hati udin! Sebagaimana yang Bapak lakukan ke abang dulu! Sadar, Baang..!! Sadar, Bang
Aku menggelengkan kepala tidak percaya,”Tidak. Tidak. Aku bukan lelaki jahanam itu. Aku bukan lelaki jahanam itu!” Gemetar tubuhku kini, tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Ijah merangkul erat tubuh udin, mereka masih dalam ketakutan dan tangisan. Masih dalam gemetar tubuh yang ketakutan. Aku pandangi mereka, “Ijah? Udin?...” Tiba-tiba pandanganku tersadarkan akan sosok anak-istriku. Darah mengalir dari sisi mulut istriku, udin meringkuk dalam pelukan ibunya, kedinginan..
“Jah, ijah! Aku suamimu, Jah. Aku bukan bapakku, Jah. Aku bukan lelaki jahanam itu, Jah?! Din?! Teriakku menyakinkan kepada mereka bahwa aku bukan lelaki jahanam itu. Ijah dan udin hanya menggelengkan kepala dalam ketakutan dan dalam isak tangis mereka. Aku jatuh terduduk. Kupandangi kedua tanganku sendiri. Tangan ini? Sebuah ikat pinggang yang berada dalam genggaman tangan kananku, mengembalikan ingatanku akan tangan lelaki jahanam itu, yang selalu menghantam keras tubuh ini beribu-ribu kali.
Tidaaak!!
Aku segera bangkit masuk ke dalam kamar. Berdiri di depan cermin dan mencoba menatap diriku sendiri. Oh, Tuhan! Benar apa yang dikatakan Ijah. Wajah yang ada di dalam cermin itu adalah wajah dari Lelaki jahanam itu. Dia menyeringai, tersenyum sinis penuh kemenangan. Di dalam genggaman tangannya, aku melihat ikat pinggangku. Tidaaak!! Aku hantam dengan keras kaca itu. Pecah dan jatuh berserakan di lantai. Mampus, Lo!!
Aku keluar lagi dengan bergegas,’Lihat, jah! Ini aku, Hendra suamimu?! Lihatlah?! Lelaki jahanam itu telah ku hancurkan!” Tapi ijah dan udin malah menjauhkan tubuhnya, menghindar, ketika aku berusaha mendekati mereka. “Jah, aku hendra, Jah! Suamimu! Udin, ini bapak, nak.” Mereka menggelengkan kepala masih dalam ketakutan…
“Apakah mereka masih tidak percaya bahwa aku adalah Hendra, Suami dan ayah mereka. Bukan lelaki jahanam itu. Bukan! Aku bukan lelaki itu!”
Aku segera berlari lagi, mencari-cari cermin yang bisa aku pakai untuk meyakinkan mereka. Akhirnya aku mendapatinya di dalam kamar anakku dan benar! Di dalam cermin itu aku melihat sosok lelaki jahanam itu lagi. Dia masih menertawakanku. Bukankah dia sudah aku hancurkan?! Bagaimana bisa?!
Aku berlari menuju dapur, sebuah pisau aku raih dan kembali ke dalam kamar, berdiri di depan cermin. Menatap lelaki jahanam itu dalam cermin. Dia masih tertawa. Sialan! Nafasku memburu,Tertawalah, Lelaki jahanam! Tertawalah sesukamu! Sesaat lagi tawamu akan terhenti!”
Aku letakan pisau dalam genggaman tangan itu, ke leherku. Dan dalam satu kali putaran, “Creess..!” Aku melihat dari cermin darah mengalir dari leher Lelaki Jahanam itu. Dia genggam lehernya, mencoba menghentikan aliran darah itu.  Tubuhnya limbung dan kemudian jatuh ambruk bersimpah darah. HaHahaha!! Mampus Lo!! Hahahaha..!!” Aku tertawa senang. Pada akhirnya aku bisa menghabisi riwayat lelaki jahanam itu dengan tangaku sendiri. Aku bebas!!
Aku berjalan tertatih keluar kamar. Pisau yang berlumuran darah terjatuh jatuh dari genggamanku.  Namun baru selangkah kaki berada di luar pintu kamar. Tubuhku ambruk!
“Baaanggg!!”
“Bapaaakk….!!”
Aku mendengar teriakan dan tangis anak-istriku. Oh, apakah berarti aku telah benar-benar berhasil menghabisi hidup lelaki keparat itu. Aku berhasil?! Ijah bersusah payah mengangkat tubuhku dan mendudukan kepalaku dalam pangkuan di pahanya. Tangannya menekan leherku dimana darah terus mengalir dari sana.
“Baang.., maafin Ijah, Bang. Ijah gak bermaksud begini.. Aku mendengar Ijah menangis.
“Paak..! Udin sayang sama bapak.  Maafin Udin, paak.. Udin memeluk tubuhku erat. Terasa hangat kurasakan dalam dadaku tiba-tiba.
Oh, Tuhan. Akhirnya aku telah benar-benar berhasil menghabisi riwayat Lelaki Jahanam itu. Aku berhasil! Ingin aku mengucapkan kata-kata kepada mereka, “Ini aku, Hendra suamimu, Jah, dan bapakmu, Din” Tapi aku tak mampu menggerakan bibirku untuk berkata. Aku juga ingin mengucap kepada Ijah, “Selamatkan anak kita, Jah. Selamatkan dia dari mimpi burukku.” Namun aku tak berdaya. Perlahan aku merasakan berat pandangan mataku. Lalu menjadi samar dalam berkabut. Kemudian menjadi gelap dan hanya gelap...

Anakku, Anak Yang Istimewa

       
        Akh, tatapan mata itu lagi. Mengapa mereka selalu melepas tatapan mata seperti itu, seolah mereka benar-benar perduli. Tidak, mereka tengah mentertawakan diriku saat ini. Menyalahkan semua hal yang terjadi pada anakku adalah karena kesalahan diriku. Sudahlah! Janganlah kau perdulikan kami. Tidak perlu kau berpura-pura merasa iba, tapi sebenarnya kau tidak menginginkan aku dan anakku berada di dekat kalian.
“Stop! kiri depan, Bang!” teriakku kepada supir angkot yang aku naiki . Dan tak lama kemudian angkot itupun berhenti. Bergegas aku turut sambil menyeret Rangga, anakku. Aku ingin segera  pergi menghindari tatapan mata itu. Tidak bisakah mereka untuk tidak memperdulikan kami?! Saat aku membayar angkot ini, seorang lelaki muda yang duduk dikursi depan, di samping supir pun, melepas pandangan yang sama kepada anakku. Ingin rasanya aku mencabik-cabik wajah pemuda itu.
Aku tarik tangan Rangga untuk cepat-cepat menghindar dari tatapan mata-mata itu. Dan seperti biasa, dia hanya mengikuti apa yang aku perbuat dengan pandangan kosong tanpa ekspresi. Ah, kenapa dengan dirimu, Nak?! Tidakkah kau lihat bagaimana mereka melecehkan dirimu?! Tapi percuma berbicara denganmu, kau tak akan pernah mengerti dan akan sulit untuk kamu mengerti hal-hal seperti ini. Sedangkan untuk membedakan angka 1 dan 2 pun kau butuh berbulan-bulan untuk mengerti itu.
“Baru pulang, Bu Rangga?,” tiba-tiba suara sapaan mengejutkanku, saat sudah berada di dalam gang menuju rumahku. Seketika langkahku terhenti. Seorang tetangga yang kebetulan sedang berada di luar rumah, Ibu retno. Dia salah satu tetangga yang cukup baik kepada kami selama ini. Dia satu-satunya tetangga yang begitu baik memperlakukan Rangga, seolah Rangga selayaknya anak-anak lain.
“E-eh, iya, Bu. Baru pulang..” jawabku cepat dalam gugup, karena sedari turun dari angkot aku tergesa-gesa jalan tanpa menoleh ke kiri-kanan jalan.
Ibu Retno tersenyum, lalu ia juga tersenyum kepada Rangga. “Eh, Rangga, kok, diem aja ditanya sama ibu? Ayo, jawab doong… Rangga habis pulang sekolah, yah?,” tanya Ibu Retno dengan lembut dan penuh kasih. Lalu ia berjalan menghampiri Rangga. Membungkukan tubuhnya. Sementara Rangga malah menyembunyikan wajahnya di belakangku. Karena mendapati sikap anak Rangga yang bersembunyi, Ibu Retno menegakan kembali posisi tubuhnya, sambil tangannye membelai lembut rambut kepala Rangga.
“Ya, sudah, Bu. Kami permisi dulu,” ucapku kemudian. Dan Ibu Retno hanya tersenyum sambil menganggukan kepala.
Saat melangkah meninggalkan Ibu Retno, aku melihat Rangga sempat menoleh ke arahnya, sambil tersenyum. Dan akupun melihat Ibu Retno  melambaikan tangan kepada Rangga. Ah, cuma dia satu-satu orang yang benar-benar tulus dalam memberi perhatian kepada Rangga di daerah tempat tinggalku.
Rangga akhirnya tertidur juga. Setelah sebelumnya dia berteriak-teriak marah, memukuli diriku, dan melempar semua barang yang ada dirumah. Hanya karena aku ingin mengganti seragam sekolahnya. Setelah dia merasa lelah dengan semua yang dia lakukan. Akhirnya dia mau untuk aku gantikan pakaiannya.
Kamu memang berbeda, Anakku. Semua orang yang melihatmu, pasti bisa langsung mengetahui kalau dirimu memang berbeda. Wajahmu bulat seperti bulan. Dokter menyebutnya Moon Face, dengan mata yang menyipit dengan sisinya seolah tertarik. Jidatmu yang melebar panjang, mulutmu yang tak pernah berhenti terbuka mengeluarkan air liur. Kau memang berbeda, Anakku...
Entah mengapa kau selalu mengamuk jika menginginkan sesuatu yang ibu tidak mengerti apa maksudnya. Atau ketika Ibu tidak berkenan memenuhi maumu, atau saat Ibu memintamu melakukan hal-hal kecil untuk dirimu sendiri. Seperti makan, mandi dan berganti pakaian. Dirimu selalu saja berteriak-teriak marah, melempar apapun yang bisa kau lempar, memukuli ibu sedemikian rupa.
Ataukah kamu sendiri merasakan kemarahan sebagaimana ibu, Nak? Kamu marah dengan keadaanmu yang tidak normal itu? Kamu marah dengan kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu? Kamu marah kepada Ibu yang telah melahirkan kamu dengan keadaan seperti ini?! Kamu marah. Marah pada semua yang ada?! Maafkan ibu, Nak… Semua memang salah Ibu.
Ya Tuhan, mengapa Engkau bebankan kepada anakku semua kesalahanku? Aku mungkin rela dengan semua hukuman yang akan Engkau berikan kepadaku. Tapi mengapa semua Engkau limpahkan semua kepada anakku? Apa salahnya kepada-Mu? Aku tak sanggup membayangkan kehidupannya kelak. Ketika aku tak lagi ada dalam kehidupan ini, ketika kau memanggilku pulang.
Kehidupan inipun masihlah dipandang bagi hamba-hambamu yang terlahir sempurna itu, adalah kehidupan yang keras dan berat. Lalu Bagaimana dengan anakku?! Bagaimana dia akan menjalani kehidupan yang kejam dan keras ini kelak? Sedang dia tak pernah tahu mana hitam, mana putih?.
Aku belai lembut rambut kepala Rangga, begitu lelap dia tertidur. Wajahnya seolah tersenyum. Akupun tak mengerti apa yang ada dalam mimpinya hari ini. Begitu indahkah mimpi itu bagimu, Nak? Tidurlah.., bermimpilah.., biarkan tidurmu menjadi satu-satu jalan bagi dirimu untuk sejenak menghilang dari kehidupan ini. Hilang dari tatapan mata  mereka kepadamu, yang merasa iba sekaligus risih dan juga takut. Tidurlah, Nak… Tidur dan bermimpilah..
Di dapur aku diam termangu. Bayang-bayang masa lalu kembali hadir. Dulu disini. Aku dan suamiku bertengkar.
“Tidak.Tidak! Tidak mungkin dia itu anakku. Tidak mungkin!” ucap Mas Hendro saat itu. Aku mendapati perkataannya itu yang seolah menuduh diriku. Tentu saja aku tidak terima.
“Mas! Jadi kamu menuduh aku berselingkuh dengan lelaki lain, begitu?!” teriakku membela diri.
Seketika Mas Hendro membalikan arah tubuhnya membelakangi aku.“Aakh! Aku gak tau! Yang pasti tidak mungkin dia anakku. Tidak mungkin anakku seorang idiot! Tidak ada dalam keluargaku itu keturunan idiot!!”
“Mas!!”
Setelah itu Mas Hendro mengemasi semua barangnya dan tak pernah kembali lagi. Mungkin dia malu memiliki anak yang terbelakang seperti Rangga. Atau mungkin dia sendiri tak tahu harus berbuat apa untuk kehidupan Rangga kelak. Sebagaimana yang aku rasa saat ini. Sungguh, hati ini setiap saat serasa tercabik-cabik disaat membayangkan kehidupannya kelak. Apakah mungkin dia bisa merasakan kehidupan sebagaimana orang yang normal? Kegembiraan dalam bermain, sekolah setinggi-tingginya, jatuh cinta, menikah dan memiliki keturunan. Ya, Tuhaaan… Apakah mungkin?
Dada ini begitu sesak, sesesak-sesaknya ku rasa. Sakit! Sakit rasanya jika mengingat semua itu. Bagaimana aku bisa percaya kepada kebaikan semua orang itu? Jika seorang lelaki yang seharusnya menjadi ayah bagi dirinyapun pergi. Dan setiap saat aku  mendapati pandangan mata yang sama seperti tadi. Ya, Tuhan,… Airmata itupun jatuh.. satu persatu. Perlahan, lalu menjadi lebih deras ketika sesak semakin terasa atas ketidak berdayaanku merubah semua keadaan ini. Dalam bayanganku, anakku berdiri dalam linangan airmata, dalam gemetar ketakutan. Dimana orang-orang di sekelilingnya mengejeknya, “Anak bego..! Idioot..! Bocah bego.. idioot…!Mereka berkeliling meneriakan kata-kata itu sambil tertawa.
Tidak! Tidak akan aku biarkan mereka melakukan semua itu kepada buah hatiku tercinta. Tak akan aku ijinkan!!
Seketika tangisku terhenti, berubah menjadi kemarahan yang tercerminkan dari desahan nafasku yang memburu. Aku raih sebuah pisau dan bergegas berjalan menuju kamar dimana Rangga tidur. Maafkan ibu, Nak!
….
“Astagfirullah, Len..” ucap Ibu Retno tak percaya atas apa yang baru saja aku ceritakan kepadanya. Di tangan ini masih menggegam pisau.
“Sudah. Sudah.., syukur kalau kamu cepat tersadar, Nak” Ibu Retno mencoba menenangkan aku yang tengah menangis meraung-raung dalam pelukannya. Diraihnya pisau dari genggaman tanganku dan tangisku pun semakin pecah.
“A-aku gak sanggup, Bu... A-aku gak bisa membayangkan kehidupan anakku nanti, Buu” ucapku disela-sela tangis. Tangisan yang ingin ku lepas dalam peluk ini. Aku tak mampu untuk menghentikan tangis ini. Sesak itu semakini menjadi-jadi. Tidak! Aku tidak ingin  menghentikan tangis ini. Selama ini, semua itu hanya terlepas dalam tetesan airmata yang bisu. Aku ingin semua terlepas dalam tangisan yang meraung-raung saat ini. Aku lemah! Bagaimana aku bisa menjadi seorang ibu bagi anakku?! Rangga butuh seorang Ibu yang tegar yang setiap saat ada dan kuat untuk membela dirinya. Tidak seperti diriku saat ini.
Kesedihanpun tergambar dari wajah Ibu Retno. Dia tidak percaya saat mendapati diriku berdiri di depan rumahnya dengan tubuh gemetar, penuh keringat yang membasahi sekujur tubuhku. Di tanganku sebuah pisau tergenggam dengan erat dan dia semakin tak percaya bahwa aku tadi berniat untuk menghabisi nyawa Rangga, anakku.
..
Di dalam kamar itu, aku dan Ibu retno berdiri menatap Rangga yang masih tersenyum, terbuai dalam mimpi indah tidurnya. Aku masih sesegukan, sisa tangis masih tertinggal. Dengan penuh kasih, selayaknya seorang ibu, direngkuhnya tubuhku.
“Lihatlah, Lena… Dia adalah Rangga anakmu. Anakmu, Len?! Apa yang salah darinya?” ucap Ibu Retno kemudian.
Aku hanya bisa diam dan masih dalam sisa tangisku
“Jangan pernah kau lihat dia sebagai anak yang berbeda, Len.  Lihatlah dia sebagai anak yang sama seperti juga anak-anak yang lain dan dia adalah anak yang istimewa! Perlakukan dia selayaknya anak yang tidak terbelakang. Ajarkan dia tentang kemandirian hidup, bukan ketakutan. Jangan biarkan dia selalu tergantung kepadamu, Len”
Sesaat aku tertegun mendengar ucapan Ibu Retno. Dan beliau membalas tatapan itu dengan senyuman.
“Aku merasa tak bisa melakukan semua itu seorang diri, Bu” ucapku lirih.
Ibu Retno kembali tersenyum. Ditatapnya diriku lekat-lekat,”Ingat, Sayang.. Tuhan selalu memiliki tujuan atas apapun yang telah Dia ciptakan, tidak terkecuali Rangga. Mintalah.., minta pertolongan kepada-Nya. Mintalah perlindungan- Nya.. Untuk kehidupan Rangga hari ini dan esok. Percayalah.., Dia Maha Mendengar dan Maha mengabulkan”
Akupun terduduk di sisi tubuh Rangga yang tertidur. Aku belai rambut kepalanya. Airmatapun jatuh lagi satu-satu. Ku kecup kening Rangga. Maafkan Ibu, Nak..
“Kau tak akan pernah tahu apa yang dapat dilakukan oleh anak istimewa seperti Rangga, Len. Jika dirimu setiap saat  dihantui ketakutan” ucap Bu Retno lagi. Aku tatap sesaat Ibu Retno, kembali ia hanya membalas dengan senyuman.
Maafkan..,maafkan, Ibu, Nak” ucapku lirih mendekap kepala Rangga. Hari ini dan seterusnya, kamu adalah anak Ibu yang paling istimewa, spesial! Yang lebih hebat dari mereka. Kita akan merubah tatapan itu menjadi satu tatapan penuh kekaguman akan dirimu, Nak. Ya, mereka harus mengetahui bagaimana sempurnanya kamu diciptakan.
..


Jumat, 29 Juli 2011

Lelaki Pemberi Kabar





Lelaki itu masih suka memberi kabar kepada semua orang. Dengan sepeda tuanya, mendatangi setiap rumah penduduk di kampung ini. Masih sambil tersenyum kepada setiap orang, maka berita itu disampaikan kepada mereka. Namun bukan maksud hatinya, jika kemudian airmata, duka dan kecemasan menggelayut disetiap wajah-wajah itu, setelah kabar-kabar itu tersampaikan. Lelaki itu hanya melangkah gontai membawa sesal, meninggalkan pekarang rumah mereka yang kini tengah berkalang mendung dan juga hujan.
Ia berharap. Selalu berharap, bahwa kabar yang disampaikan senantiasa membawa kebahagiaan bagi semua penduduk kampung. Tapi, bukankah kehidupan selalu menjadi misteri bagi siapapun? Kecuali bagi Sang Pemilik Sekalian Alam.
Pernah disuatu waktu, dimana setiap kali dia datang ke setiap rumah penduduk, kabar yang dibawanya selalu saja menghantarkan kesedihan. Seperti kabar yang ia sampaikan kepada keluarga Bapak Saiful, dimana tersampaikan bahwa anak gadisnya yang tengah mengadu nasib-bekerja di negeri orang. Dikabarkan tengah berada dalam perawatan intensif di sebuah rumah sakit, setelah berhasil melarikan diri dari rumah majikannya. Karena selama bekerja, dirinya kerap mendapatkan siksaan dari sang majikan. Yang telah membuat hampir seluruh tubuhnya melepuh penuh luka dan koreng. Betapa hancurnya hati Pak Saiful, saat mendapat kabar yang demikian. Ia tak menyangka bahwa anak gadisnya, yang bercita-cita ingin merubah keadaan dan tarap hidup keluarganya yang miskin, malah mendapatkan musibah seperti itu.
Lalu kabar duka juga menghampiri keluarga Haji Duloh keesok harinya. Dimana Haji Duloh mendapat kabar, bahwa anak lelakinya yang tertua, yang tengah menuntut ilmu di sebuah sekolah pemerintahan di kota, telah meninggal dunia. Setelah mendapat hukuman dari para seniornya. Ditubuh anak lelaki Haji Duloh itu, penuh luka lebam dan juga tulang yang patah, setelah dihajar habis-habisan oleh para seniornya. Hancur sudah harapan Haji Duloh atas anaknya, yang memiliki cita-cita akan  membangun desa-desa yang terbelakang suatu saat nanti.
Lalu kabar-kabar serupa diterima oleh hampir seluruh penduduk kampung secara bergantian. Kepada Ijah, yang mendapat kabar dari suaminya yang seorang pedagang kaki lima, bahwa lapaknya dihancurkan oleh satpol PP dan kini tengah mendekam dalam penjara. Karena suaminya Ijah sempat membuat batok kepala seorang satpol PP berlumuran darah, dihantam sebuh botol.
Kepada Emak Rasti, tentang anak gadisnya yang menderita AIDS. Karena ternyata anak gadisnya itu selama ini, bekerja sebagai pelacur selama hidup di kota. Kepada keluarga Mbah Paijo, tentang anak dan menantunya. Yang tengah berusaha meminta pertolongan kepada rumah sakit di kota, agar mereka berkenan untuk mengobati anak mereka yang mengalami kelainan pada wajahnya. Namun setelah berbulan-bulan terlantar di rumah sakit. Anak menantunya dan juga cucunya meninggal dunia, sebelum mendapatkan perawatan apapun dari rumah sakit yang mereka datangi.
Melihat semua kejadian itu, betapa sedih hati Lelaki pemberi kabar itu. Pekerjaan yang begitu ia cintai ini, ternyata lebih sering menghantarkan kesedihan dan duka di hati para  penduduk, dibandingkan kabar yang membahagiakan. Tapi disaat para penduduk itu, meski mereka mendapatkan kabar duka itu, mereka selalu saja mengucapkan terima kasih yang begitu besar kepada Lelaki itu. Maka, sejenak kesedihan itu bisa terobati, hingga Lelaki itu kemudian mengerti. Betapa kabar itu harus tetap tersampaikan dalam keadaan apapun. Karena semua kabar itu selalu ditunggu dan diharapkan kedatangannya oleh para penduduk kampung.
Seperti yang terjadi pada seorang gadis bernama, Muthia, yang selama berbulan-bulan mendekati satu tahun. Kehilangan kabar dari kekasihnya yang pergi merantau meninggalkan dirinya dengan sebuah janji; bahwa kekasihnya akan segera kembali untuk kemudian melamar dirinya. Mewujudkan semua mimpi-mimpi mereka berdua dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci. Namun kabar dari sang kekasih tak kunjung datang. Sampai akhirnya Lelaki itu datang membawa kabar, tentang sebuah pernikahan yang akan segera digelar oleh kekasih Muthia, dengan gadis lain. Betapa hancur hati Muthia saat itu. Tapi bukankah hal itu lebih baik bagi kehidupan Muthia kemudian, di banding berlama-lama menunggu tak jelas berita. Dan akhirnya kemudian, beberapa bulan setelah itu, Muthia menikah dengan seorang pemuda yang juga mencintai dirinya. Hidup Muthia bahagia pada akhirnya.
Begitulah kehidupan Lelaki pemberi kabar. Semua dijalaninya, meski saat ini teknologi sudah sedemikian canggih. Namun, bagi mereka yang kehidupannya selalu terlupakan oleh pemerintah, tertinggal. Kehadiran Lelaki pemberi kabar begitu sangat berarti. Hati Lelaki itupun senantiasa bahagia menjalani tugasnya yang mulia itu, bersahabat dengan seluruh penduduk kampung yang ia datangi.
Namun, tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa, meski setiap saat Lelaki itu berkeliling kampung sebagai pemberi kabar. Tapi dalam kehidupannya, Lelaki itu sendiri tak pernah mendapatkan kabar dari orang-orang yang ia cintai. Anak-Istrinya yang telah meninggalkan dirinya bertahun-tahun yang lalu. Pada saat ia pulang ke rumah selepas tugas, dan ia mendapati rumahnya dalam keadaan kosong. Dan Lelaki itu hanya menemukan secarik kertas dari istrinya;
Maafkan aku, Pak. Aku tidak sanggup hidup terus menerus dalam kesulitan seperti ini denganmu. Mungkin Bapak bisa berbahagia dengan pekerjaan Bapak. Bisa menerima upah dari pekerjaan Bapak yang kecil itu. Tapi aku? Maafkan aku, Pak. Aku tidak bisa hidup seperti ini terus. Aku tidak sanggup, Pak.
Maafkan aku juga, yang telah lancang membawa anak-anak kita tanpa seijinmu. Karena aku tidak ingin masa depan mereka akan sama seperti kita, miskin. Aku ingin hidup mereka lebih baik dari yang sekarang.
Maafkan aku.
Wassalam
Istrimu, Lastri
Maka selama bertahun-tahun Lelaki yang selalu membawa kabar untuk semua orang itu. Ia sendiri selalu menunggu dan berharap ada kabar tersampaikan untuk dirinya, dari anak-istrinya. Hingga detik ini, harapannya tak pernah terpenuhi.
Betapa kemudian Lelaki itu semakin tahu akan arti menunggu sebuah kabar. Semangat untuk menjalani tugasnya itu semakin tinggi. Tidak pernah dia perduli akan panas terik matahari yang menyengat, atau hujan yang turun dengan deras  membasahi jalan tanah menuju rumah-rumah penduduk. Tidak pernah pula dia mengeluh lelah, meski jalan-jalan yang dilewati senantiasa becek penuh lumpur, penuh dengan batu-batu yang menghalangi laju sepedanya, jalan yang menanjak tinggi dan juga curam.
Tidak pernah pula dia merasa keberatan jika harus bolak-balik beberapa kali dalam sehari, ketika ada surat yang terlewat diberikan kepadanya, sedang dirinya dalam keadaan sakit dan lelah. Tidak pernah keberatan pula jika tiba-tiba kesialan menimpa sepeda bututnya, hingga ia harus berjalan kaki menuju rumah-rumah penduduk kampung. Lelaki itu tidak ingin para penduduk kampung terlalu lama menunggu kabar yang mereka harapkan datangnya. Sebagaimana dirinya yang masih saja menunggu.
Hingga suatu hari, hampir seluruh penduduk kampung berkumpul disebuah tempat pemakaman. Setelah malam tadi, sebuah kabar mengejutkan tersampaikan kepada mereka melalui angin malam. Tentang lelaki pemberi kabar, yang telah menghembuskan nafas terakhirnya sambil tersenyum bahagia.
Duka menghampiri semua wajah yang datang ke pemakaman itu. Isak tangis dan airmata jatuh atas rasa kehilangan dan juga rindu akan sosok Lelaki sederhana, yang senantiasa di harapkan kedatangnya. Sebuah ikatan persaudaraan penuh cinta, yang terjadi begitu saja diantara mereka. Telah membawa mereka dalam sebuah perpisahan abadi hari ini.
Seminggu setelah kepergiaan Lelaki itu. Para penduduk kampung disibukkan oleh pesan terakhir yang disampaikan Lelaki itu.
“Bagaimana jadinya ini? Bagaimanapun juga, permintaan dari orang yang sudah meninggal itu harus dipenuhi,” ucap Jamal, suami Ijah, yang telah kembali ke kampung itu. Ucapan Jamal itu kemudian di amini oleh hampir seluruh penduduk kampung. Sudah yang ketiga kalinya mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan. Membahas tentang pesan terakhir Lelaki pemberi kabar.
“Tapi, bagaimana caranya? Ada yang punya usul?!” tanya Pak Haji Duloh yang memimpin pertemuan itu. Seketika ruang pertemuan itu menjadi gaduh dengan suara-suara tak jelas, karena mereka semua berbicara secara bersamaan, sibuk sendiri-sendiri.
Tok!..Tok!..Tok!.. Palu di pukulkan ke atas meja. Haji Duloh merasa harus segera menertibkan suasana kegaduhan itu.
“Harap tenang..! Saudara-saudara, tenang! Tolong bicara yang tertib!” seru Pak Haji Duloh. Suara gaduh itu perlahan-lahan mulai berhenti.
“Saya mengerti akan perasaan saudara-saudara sekalian. Lelaki pemberi kabar itu memang sudah seperti keluarga kita semua. Kita tidak dapat memungkiri perasaan cinta yang kita semua miliki untuknya. Saya paham itu! Tapi masalah pesan terakhir dari Lelaki pemberi kabar itu, merupakan pesan yang sulit kita penuhi. Tolong bantu saya, saudara-saudara! Tolong jangan ribut seperti ini” ucap Pak Haji Duloh lagi.
Seluruh penduduk kampung diam. Mereka sendiri kebingungan dan tidak tahu bagaimana caranya mereka bisa memberi satu usulan yang akan membantu mereka. Untuk memenuhi permintaan terakhir dari Lelaki pemberi kabar itu. Sebuah pesan yang sederhana sebenarnya. Lelaki pemberi kabar itu hanya berpesan,”Tolong sampaikan kata maaf saya untuk anak-istri saya. Saya mohon, tolong penuhi permintaan terakhir saya ini. Biar saya bisa tenang di alam sana. Saya mohon..
Sebuah pesan terakhir yang sesungguhnya sangat sederhana untuk bisa dipenuhi. Namun mereka tidak pernah berfikiran saat itu, saat mereka menyanggupi permintaan terakhir dari Lelaki pemberi kabar itu, bahwa mereka akan mengalami kesulitan untuk memenuhinya.
“Itu salah Pak Haji sendiri! Kenapa kemarin itu Pak Haji Duloh menyanggupi permintaan dari Lelaki itu?!” teriak Pak Saiful. Dan kembali, ucapan itu di amini oleh para penduduk yang lain yang sudah putus asa. Ruangan itu kembali gaduh.
Entah siapa yang salah, tapi apakah salah bagi mereka semua, para penduduk kampung itu? Ketika saat ini mereka kebingungan dan tidak tahu, bagaimana cara untuk memenuhi satu pesan terakhir dari Lelaki Pemberi kabar itu. Lelaki yang telah mengabdikan diri untuk membahagiakan hati seluruh penduduk, yang setiap saat menunggu sebuah kabar tersampaikan kepada mereka. Lelaki yang tidak pernah mengeluh, yang tidak pernah perduli akan cuaca panas dan hujan selama menjalani tugasnya. Lelaki yang telah mereka anggap sebagai bagian dari keluarga mereka, yang mereka cintai pada akhirnya.
Meskipun mereka sangat ingin, untuk menyampaikan pesan terakhir itu. Menyampaikan kepada keluarga dari Lelaki Pemberi kabar itu, kepada anak-istrinya. Adakah mereka tahu, dimana kini anak-istrinya berada? Karena bahkan, sampai akhir hidup dari Lelaki pemberi kabar itu. Ia sendiri masih selalu menunggu datangnya kabar dari anak-istrinya itu. Adakah kiranya kamu tahu? Tolong sampaikan kabar ini untuk mereka; tentang sebuah permintaan maaf dari seorang Lelaki pemberi kabar yang telah mereka tinggalkan, yang kini telah pergi menghadap tuhan. Aku mohon, tolong sampaikan. Tolong..

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Daftar Isi

 

Daftar Isi





Labels


View My Stats

kampungblogs

ArtikelBlogs

Cerpen

Translator

Translate This Page To:

English

Powered by: ALS & Google

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Pengunjung Blog

Alexa

GebLexs

Muntahan Diri

KumpulanBlogs

Entri Populer

MatiJiwa

Awank Kening

Jiwa-jiwa

everything is about Reina Ally

BlogUpp

KutuBuku


Mas ukkan Code ini K1-3B6F99-D
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Followers


ShoutMix chat widget
 

Recent Comments

Templates by | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger